4

1523 Kata
"Memangnya kamu bisa?" "Apa?" "Buat enggak suka lagi sama Rona?" Terdiam, Aruna kemudian memeluk keras sambil menggeleng. "Enggak bisa, Bang! Di mata aku, cuma dia yang kelihatan. Huwaaa!" Arsha tertawa, menyentil kening adiknya itu dengan cukup keras sampai Aruna mengadu. "Makanya jangan terlalu sombong. Kamu boleh tetep suka sama dia, boleh tetep usaha buat bikin dia suka sama kamu, tapi lakuin dengan cara yang benar. Jangan lagi asal pacaran sama orang cuma buat bikin Rona cemburu, harusnya kamu berhenti ngelakuin itu pas sekali enggak berhasil, bukan malau ngulangin itu terus." Aruna mencebik, dia melipat tangannya di d**a kemudian. "Ya kan aku pikir lama-lama pasti bakalan ngaruh juga buat dia. Tapi nyatanya, dia sama sekali enggak tertarik. Dia malahan tadi ikut-ikutan marah sama aku." Arsha menggeleng, "Dia bukannya marah sama kamu, karena kalau dia marah dia enggak mungkin sampai minta Abang buat hibur kamu begitu Abang pulang ke rumah. Sama halnya seperti Abang, dia juga khawatir sama kamu, Runa." Itu benar. Karena meskipun terkadang sikap Rona padanya begitu dingin dan cuek, namun Rona tidak pernah sekalipun marah apalagi berteriak padanya. Lagipula perkataan yang dikatakan oleh Rona tadi siang memang benar, memang Aruna yang keterlaluan sudah mempermainkan perasaan orang lain hanya untuk kepentingan pribadinya. "Yaudah, kamu mandi ya? Habis itu keluar, kata Mama kamu sama sekali belum makan dari siang." Mengangguk, Aruna kemudian tersenyum sambil memegang tangan kakaknya itu. "Makasih ya, Abang," ucapnya sedikit malu. Arsha tertawa, tangannya mengusap kepala Aruna pelan sebelum kemudian keluar dari kamar. Sedangkan Aruna langsung beranjak, mengikat rambutnya yang berantakan dan kemudian bergegas masuk ke kamar mandi. Dia sudah bertekad untuk berubah. Setidaknya dia tidak ingin asal menerima pria-pria yang menyatakan cinta padanya. Mau bagaimana pun sikap yang Rona tujukan, walaupun pria itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dirinya tertarik pada Aruna, namun Aruna tidak akan lagi melakukan hal memalukan. Dia tidak ingin menyakiti siapapun lagi. Andika adalah yang terakhir. Melilit tubuhnya dengan handuk, Aruna lantas keluar dari kamar mandi dan memilih pakaian rumahan yang dirasa nyaman. Dia hanya akan makan, setelah itu dia akan kembali masuk ke kamar untuk melanjutkan skripsinya. Harusnya makan malam baru akan dilakukan setelah sholat maghrib, waktu yang biasa digunakan oleh keluarganya. Tapi karena sejak siang Aruna memilih ber drama di dalam kamar dan melewatkan makan siang, maka dia memutuskan untuk makan lebih dulu daripada anggota keluarganya yang lain. "Sudah meditasi nya?" Lontaran sindiran berbalut candaan yang terdengar dari Mamanya itu membuat Aruna mencebik. Dia berjalan mendekat ke dapur, mengambil piring bersih dan kemudian membuka tudung yang ada di meja makan. "Sudah ngobrol sama Abang?" Aruna mengangguk sembari tangannya mengambil nasi ke dalam piringnya. Ia juga menambahkan ayam goreng berbentuk paha dan juta sambal terasi buatan Mamanya. "Sudah ngobrol sama Rona juga?" Kali ini gerakan tangan Aruna yang sedang mengaduk nasi dengan sambal langsung terhenti, dia menatap ibunya dengan mata menyipit. "Maksudnya gimana, Ma? Aruna cuma ketemu sama Rona pas siang doang di tempat futsal," tanyanya heran. Mamanya menatap dengan sama heran nya, secara reflek mata Linda menatap ke arah pintu rumah yang memang selalu dibiarkan terbuka jika ada orang di rumah mereka. "Tapi beneran kok Rona kesini pas kamu lagi ngobrol sama Abang di kamar. Dia kelihatannya baru pulang banget." Mendengar itu, mata Aruna langsung melebar. dia bergegas bangun meninggalkan piring makannya dan berlari keluar. "Mau kemana?!" "Ke Rona!" Bahkan Aruna hanya memakai sandal rumahan yang tipis dan akan sakit saat menginjak batu, dia sudah penasaran ingin menanyakan kenapa Rona datang ke rumahnya namun tidak langsung menemuinya. "Rona Senja!" Aruna berteriak, menggoyangkan pagar rumah Rona hingga menimbulkan bunyi berisik. Jika saja orang-orang di komplek belum mengenal bagaimana sifat seorang Aruna Kinta Nada, anak dari Papa Angga Darmawan seorang pengusaha di bidang real estate dan juga Mama Linda yang merupakan ibu rumah tangga yang bisa melakukan apapun, mungkin kini Bapak RT dan segala jajarannya sudah menyeret Aruna untuk disidang. "Rona! Rona-nya Aruna!" Matanya langsung berbinar saat pintu utama mulai terbuka. Rona yang mengenakan kaus abu-abu tanpa lengan dan celana futsal yang pendek, menatapnya dengan tatapan jengah seperti biasa. "Ini malam loh, kamu ngeganggu tetangga lain," tegur pria itu. Aruna hanya menyengir lebar, menunggu hingga gerbang dingin yang sedang dia pegangi segera terbuka. "Kenapa malam-malam kesini? Kenapa enggak chat aja?" Walaupun tampak enggan, namun pria itu tetap membukakan gerbang rumahnya untuk Aruna. "Rona udah makan?" tanya Aruna. Rona menggeleng, "Rencananya baru mau makan setelah ngerjain Bab 3." "Oooohh." Bergerak grasak-grusuk masuk ke halaman rumah, Aruna kemudian meringis saat tidak sengaja menginjak batu yang ada di jalan setapak di halaman rumah Rona. "Kamu bahkan cuma pakai sandal rumah. Sebenarnya mau apa sih?" Rona bergerak memegangi tangan Aruna saat gadis itu dengan konyol lebih memilih lewat jalur batu daripada jalan rata yang ada di sampingnya. Tapi ini bukan hal aneh bagi Rona, karena Aruna memang akan lebih menyulitkan dirinya sendiri daripada melakukan hal-hal yang mudah. "Kata Mama, kamu tadi datang ke rumah. Tapi kenapa enggak langsung nemuin aku?" tanya Aruna sambil mendudukkan bokongnya di undakan teras. Berbeda dengan dirinya yang duduk, Rona malah lebih memilih berdiri di depannya. "Aku ada urusan mendadak, dapat telepon kalau anak-anak Futsal udah nunggu aku jadi aku langsung pergi." Mengangguk paham, Aruna kini melipat kaki dan memeluk lututnya. "Terus, memangnya pas datang itu kamu mau ngomong apa?" Kini Rona terdiam, menatap Aruna dengan mata datarnya. "Jangan lagi pacaran kalau kamu enggak suka sama orangnya." Aruna mengerjap pelan mendengar ucapan Rona, dia kemudian memiringkan kepalanya dengan gerak sok imut. "Rona cemburu?" "Kamu pikir masuk akal kalau aku cemburu?" Aruna berdecih, memalingkan muka dengan melipat tangannya di d**a. "Ya kan bisa aja kalau selama ini kamu sebenarnya suka sama aku tapi enggak mau bilang." "Jangan menyakiti diri kamu sendiri dengan prasangka enggak berarti seperti itu." Kini Aruna memilih tidak menjawab. Berdebat dengan Rona bukan hanya membuatnya sakit hati, namun juga kesal. "Kamu udah makan?" "Belum." "Yaudah, ayok!" Aruna menatap Rona dengan sebelah alis terangkat, "Apanya?" "Katanya belum makan, ayo makan sama aku!" ajak Rona. Terdiam, Aruna merasa bersalah pada sepiring nasi dan ayam goreng yang dia tinggalkan. Tapi bagaimana pun juga walau waktu terulang kembali, dia akan tetap lebih memilih makan bersama dengan Rona walaupun hanya makan dengan nasi dan garam. Oke, yang satu ini memang Aruna yang terlalu berlebihan. "Kalau emang Rona maksa, yaudah aku mau." Rona menyeringai, dia kemudian meminta Aruna untuk menunggu dirinya sedang ia berniat untuk mengganti bajunya. Sembari menunggu, Aruna tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Ini memang bukan pertama kali dia makan bersama dengan Rona, tapi mau berapa kali pun dia makan bersama Rona bahkan sampai tidak terhitung, rasa senang dan debaran di jantungnya tidak akan pernah berubah. "Nih!" Aruna terkejut, dia langsung menatap ke arah Rona. "Apa ini?" "Sandal." "Oh." Aruna tidak ingin memperpanjang urusan, dia tahu bahwa Rona berniat agar Aruna mengganti sandal rumahnya dengan sandal yang pria itu bawa dari dalam rumah. "Yuk!" Aruna bergegas bangkit, dengan percaya diri menggamit lengan Rona. Dia semakin merasa senang saat Rona tidak menolak aksinya itu. "Kita mau makan apa, Sayang?" Rona mendelik, "Jangan ngomong yang aneh-aneh, atau aku tinggal di sini," ancam nya. Aruna mendengus keras, memilih untuk menutup mulutnya daripada dia benar-benar akan ditinggalkan oleh Rona. Berjalan beberapa lama, Rona kemudian melepas pegangan tangan Aruna di lengannya saat tiba di sebuah warung tenda Nasi goreng. "Nasi goreng enggak masalah?" tawa pria itu. Aruna mengangguk tanpa keberatan. Dengan langkah ringan, dia langsung masuk ke warung tenda dan duduk di salah satu kursi yang berjejer di meja panjang. Sedangkan Rona bergerak ke arah penjual, memesankan makanan untuk mereka. Menopang kan wajahnya menggunakan tangan, Aruna jadi heran kenapa ya Rona harus memiliki gengsi yang tinggi? Kenapa pria itu tidak langsung mengatakan pada Aruna jika Rona menyukainya? Dengan begitu kan, Aruna jadi senang. Mereka juga bisa langsung jadian. Toh mereka sudah saling mengenal satu sama lain, Aruna menghapal semua yang Rona suka dan begitu juga sebaliknya. Lalu mau tunggu apa lagi? "Pasti lagi mikir yang enggak-enggak!" Tersentak, Aruna kemudian menyengir lebar saat melihat Rona sudah kembali bergabung bersama dengannya, duduk di kursi samping yang sejak tadi Aruna amankan demi Rona. "Aku enggak mikir yang enggak-enggak, aku cuma mikirin kenapa sih, kamu enggak langsung bilang kalau kamu suka sama aku?" Kening Rona berkerut dalam, "Memangnya aku suka sama kamu?" "Memangnya enggak?" "Enggak." "Cih!" Melihat bagaimana wajah Aruna yang cemberut dengan lucu, Rona hanya terkekeh pelan. Dia duduk dengan nyaman, sesekali melihat ke arah Aruna yang masih cemberut Sedangkan Aruna tidak membuka mulut sekali pun bahkan hingga pesenan mereka berdua datang. "Jangan lupa baca doa," peringat Rona. Aruna diam. Dia memilih berdoa dalam hati di saat biasanya dia menyuarakan dengan keras. Dia juga berulang kali mengabaikan Rona yang mengajaknya bicara, padahal sifat asli Rona adalah pendiam yang paling tidak suka diajak banyak bicara apalagi saat makan. "Aruna, aku enggak habis. Mau makan punya aku?" Melirik sebal, Aruna mendengus kemudian. "Kamu sengaja mau bikin aku gemuk biar enggak ada orang lain lagi ya yang suka sama aku?" Terkejut, Rona sama sekali tidak berpikir jika Aruna akan mengatakan hal itu. Dia menawarkan makanan miliknya hanya karena biasanya Aruna tidak akan kenyang hanya dengan satu porsi nasi goreng saja. "Bukan begitu, aku cuma..." "Udah deh, enggak usah ngajak ngomong aku! Aku lagi enggak mau ngomong sama Rona!" **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN