Action!

2998 Kata
"Sial!" makinya. Ia bahkan baru saja hendak pulang setelah lembur beberapa jam di kantor. Tapi rencananya untuk pulang terusik dengan panggilan darurat. Ia berlari menuruni tangga darurat hingga akhirnya tiba di basemen, tempat di mana mobilnya terparkir. Ia tidak turun dari lantai 8 dengan lift karena di jam segini, lift sudah mati. Dan lagi, kantor mana yang buka di jam sebelas malam seperti ini? Ia melempar tas sekenanya. Kemudian segera melompat duduk ke atas kursi kemudi. Tangannya dengan cekatan menyalakan mesin mobil. Tak lama, mobil itu mencicit ketika berbelok ke kiri dan berdesing kencang melewati palang parkiran yang nyaris turun ke bawah. Ia menghela nafas. Hampir saja, pikirnya sembari melirik kaca spion, ia hanya melihat kondisi palang yang sudah kembali turun. Kemudian matanya kembali fokus ke depan sementara tangan kirinya dengan cekatan menyambungkan ponsel pada speaker. Tak lama, layar kecil di mobilnya menyala. Terdengar suara yang sama persis dengan suaranya namun dengan aura yang berbeda. "Empat puluh lima derajat dari tenggara." Ia berdeham. Matanya begitu serius melihat ke jalanan raya yang masih tampak ramai. Ia mulai menaikan kecepatan usai memajukan kursi kemudi. Tangan kirinya masih sibuk menyambungkan beberapa nomor lain dalam satu panggilan telepon. "Posisi?" Suara lain muncul. Lelaki itu tampak lelah namun tubuhnya dipaksa berjaga lagi malam ini. Mereka kembali menembus heningnya malam aaah tapi jika lokasinya masih di Jakarta maka tidak ada istilah hening. Bisnis malam justru baru dimulai. "Standby!" sahut yang lain. "Kosong!" seru lelaki lain yang juga mengemudikan mobilnya dari arah Lenteng Agung. Cowok itu baru beberapa menit yang lalu keluar dari pagar rumah. Terpaksa meninggalkan istri dan anak-anak yang masih kecil. "Gha?" panggil lelaki yang duduk di depan komputer. Ia satu-satunya orang yang tidak mengemudi. "Aman, Bang!" Lelaki yang tadi dipanggil menyahut. Sementara lelaki ini mulai agak rileks karena semua telah siaga. Ia baru saja memasukan permen karet ke dalam mulutnya hingga berhasil membuat balon besar. "Bandara?" tanyanya. Ia hanya memastikan kalau tujuannya yang sedari tadi diarahkan oleh lelaki di depan komputer itu tidak salah. Lelaki di depan komputer itu berdeham. Ia baru saja mau berbicara saat pintu ruang kerjanya terbuka. Kepala seorang wanita muncul dibaliknya. "Ayang gak tidur?" tanya perempuan itu yang kontan saja membuat semua orang yang tersambung dalam satu telepon itu menahan nafas. Yang terdengar hanya lah suara desingan mobil tapi tentu tak akan sampai ke telinga wanita itu. "Duluan aja, Love," jawab lelaki yang duduk di depan komputer. Perempuan itu hendak berjalan masuk namun anehnya, terdengar suara kran yang mengeluarkan air dari arah dapur. Lelaki di depan komputer itu menahan nafas seraya memohon maaf dalam hati. Ia bukannya tak sayang apalagi tak cinta, hanya saja kondisinya sedang genting seperti ini. Dan lagi, banyak telinga yang mendengar dan sedang menahan senyum di depan masing-masing kemudi. Yeah, namanya juga asmara pengantin baru. "Oke, Ayang," tutur perempuan itu kemudian menutup pintu ruangan. Lelaki itu menghela nafas lega. "Di mana, Bang?" tanya lelaki pertama yang baru saja tiba di bandara. Ia menghentikan mobilnya di pinggir sebelum memutuskan untuk kembali melajukan mobilnya. "Tiga, landasan biasa. Tujuan lo, nol derajat enam belas menit dua puluh lima detik," infonya. Lelaki itu kembali menekan pedal gas. Ia tahu harus ke mana. "Kenapa bukan Halim?" tanyanya. Biasanya ia akan berangkat dari sana. Apalagi kalau menaiki pesawat pribadi bukan komersil. Apakah hari ini naik pesawat komersil? "Besok presiden akan terbang dari sana." "Itu kan besok, Bang," ia malah mengajak berdebat. Tiga orang lain hanya menyimak sembari fokus pada kemudi masing-masing. Seboso amat presiden mau terbangnya kapan. "Bersih-bersih." Aaaah. Ia paham. Lalu tak lama, sambungan telepon miliknya terputus dari mobil. Kini ia sudah melompat keluar dan segera berlari menuju ruang tunggu dan masuk menerobos antrian panjang. "Tiga belas," kodenya begitu hendak lewat dari pemeriksaan. Sang petugas melirik dan lelaki itu mengeluarkan paspornya. Tak lama, ia sudah masuk ke dalam sebuah ruangan untuk mengganti bajunya. Baju yang tentunya sudah disiapkan di sana. Usai berganti baju dengan cepat, ia kembali ke luar tapi begitu membuka pintu, seseorang mengulurkan tas hitam. Ia mengambilnya dengan cepat kemudian berlari masuk menaiki pesawat khusus. Tiba di sana, ketiga orang yang tadi bersamanya di telepon sudah duduk santai. "Cepat juga," tuturnya. Satu lelaki hanya tersenyum kecil kemudian tatapannya teralihkan pada suasana gelapnya alam yang terlihat melalui jendela. Melupakan sejenak kepenatannya di kampus. Lelaki lain sibuk dengan teleponnya. Berpasrah diri karena diomeli istrinya yang terpaksa ia tinggal begitu saja. Satu lelaki lain sudah mendengkur padahal pesawat baru saja bergerak, hendak naik ke langit malam. Ia menggelengkan kepala. Aaaah kenapa ia harus terjebak dengan dua orang tengil ini? Eeh ia juga tengil sih. Tapi levelnya berbeda. Hahaha. Masih sempat menyangkal juga ya? Adit dan Ardan. Bukan orang asing. Ardan telah lama menjadi partnernya dalam hal semacam ini. Tapi aksinya kadang berakhir seperti drama action-komedi. Jadi lucu. Walau yah cool-nya hilang. Adit? Meski belum lama bergabung tapi sepertinya lelaki ini lebih cepat menguasai dibandingkan dengan perkiraannya. Makanya bisa ikut misi yang lebih ekstrim lagi. Ia menatap malam dari jendela pesawat. Memandang langit gelap dan tak memperlihatkan apapun. Sekilas muncul perempuan yang ia rindukan. Padahal baru beberapa hari yang lalu bertemu dan tetap diacuhkan. Yaah namanya juga cinta, memang akan ada pertaruhan. Tidak ada yang mudah di dalam hidup. Kata orang memang begitu. Ditambah, ia terlahir sebagai orang yang katanya memiliki privilege. Wajah ganteng dan orangtua yang kaya. Hidupnya terasa mulus sejak kecil. Ekonomi jelas bukan beban persoalan baginya. Lalu apa? Asmara yang dipersulit. Meski ia tak mencari yang sempurna. Ia hanya mencari perempuan yang hatinya bergetar ketika melihatnya pertama kali. Ya ada banyak perempuan memang yang membuatnya bergetar. Jangan tanya pula jumlahnya. Ia saja tak pernah berani menghitungnya. Hahaha. "Tidur woi!" Ardan mendorong sedikit wajahnya ke arah sandaran kursi. Ia berdesis. Lantas menggelengkan kepala. Tahu kalau Ardan mengigau. Itu bukan pertama kalinya. Sudah terlalu sering dan tampak nyata karena situasinya menyatakan demikian. Sementara ia kembali memalingkan wajah ke arah jendela. Menatap dan berpikir banyak hal tentang apa yang akan terjadi pada hidupnya. Ia tahu, ini jelas pertarungan nyawa. Bukan hal mudah bagi Papanya untuk memberikannya beban tugas seperti ini. Setiap kali pergi dalam misi, tak ada yang pernah tahu apakah ia akan kembali dengan selamat atau hanya tinggal nyawa. Papanya lebih dari gugup dibandingkannya. Bahkan tak bisa tidur pula. Ia akan berakhir mati dua kali kalau sampai terjadi sesuatu pada Ferril. Pertama menghadap istrinya dan kedua menghadap Maminya. Bagaimana pun si tengil ini adalah anak Bunda dan cucu kesayangan Omanya. Siapa yang rela jika terjadi sesuatu padanya? Puas menatap jendela yang gelap itu, ia akhirnya berakhir dengan tidur. Mengistirahatkan tubuh memang kewajiban. Apalagi rasa-rasanya ia tak berhenti sama sekali sejak berangkat meninggalkan rumah pagi hari tadi. @@@ Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya 1,5 jam dengan pesawat malah molor hingga hampir empat jam. Karena pesawat itu transit dulu di Surabaya. Yeah nasib naik pesawat komersil. Sepertinya mereka dikorbankan karena adanya penerbangan untuk presiden di Bandara Halim Perdanakusuma. Ya sudah lah. Yang penting, mereka sudah tiba di Surabaya. Kemudian baru terbang lagi menuju tempat tujuanya, ya tujuan akhirnya memang bukan Surabaya. Satu dari ketiga lelaki tadi sudah turun di Surabaya. Sisanya, ikut bersamanya. Tapi ketiganya berpisah di pintu kedatangan. Dua lelaki tadi kembali melanjutkan penerbangan dengan tujuan yang berbeda. Sementara ia hendak ke hotel begitu tiba di sini untuk beristirahat sebentar. Niatnya sih begitu. Tapi.... Lo gak punya waktu! Kembarannya mengingatkan. Lelaki itu seolah tahu pola pikirnya dan itu sangat menyebalkan. Ia hanya bisa berdesis pelan kemudian segera berlari dan menyambungkan perjalanan dengan menaiki taksi. Padahal ia hanya ingin memperpanjang waktu istirahat di hotel. Setidaknya sampai jam dua belas siang. Tapi sialnya, malah diteror begini. Yeah, Farrel pasti punya alasan kenapa ia melakukan ini. "Ambawang!" tuturnya pada sang sopir dan lelaki itu sudah tahu ke mana ia haris pergi. Sementara penumpangnya ini memejamkan mata. Ia bahkan tak bisa tidur dengan nyenyak di pesawat tadi karena sibuk mempelajari apa yang sedang terjadi. Di sepanjang penerbangan ia terus mendengar pemaparan kembarannya yang tak berhenti mengoceh. Yaa lelaki itu membangunkannya setelah sempat tertidur. Meski ujung-ujungnya tetap ditinggal tidur namun hal itu membuat kepala Ferril menjadi pusing. Karena berada di zona antara tidur dan mengawang. "Sampai, Pak!" Ia berdeham. Kemudian membayar ongkosnya dan keluar dengan cepat. Ia mengeluarkan tiket bus dri tas hitam yang ia bawa. Sang petugas terminal menunjuk bus yang akan ia tumpangi hari ini. Ia menghela nafas. Tiba di dalam bus, ia semakin tak bisa tidur. Bisa bahaya pula kalau ia tertidur. Terpaksa ia mengeluarkan beberapa obat penahan kantuk kemudian memasukan headset ke telinganya. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi. Kemudian memejamkan matanya seolah-olah ia tidur. Ganti kartu lo! Pesan baru masuk lagi. Ia berdesis pelan kemudian mengeluarkan ponsel lain dari dalam tas hitam. Ketika ia hendak mematikan ponsel merahnya, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Akhirnya, ia tak jadi mematikan ponsel itu dan mengetik pesan. Morning, Echa! Hanya menyapa. Walau tahu mungkin, pesan itu hanya akan dibaca. Tapi setidaknya, ia sudah menghubungi perempuan itu sebelum kembali menghilang karena tak bisa dihubungi. Beberapa jam kemudian, bahunya ditepuk kernet bus yang memberitahu kalau ia harus turun. Ia tidak tidur tapi ia juga malas membuka mata sejak tadi. Begitu turun dari bus, ia pergi ke toilet sebelum mengantri di Imigrasi perbatasan Indonesia dan Malaysia. Yaa tahu-tahu ia memang sudah berada di sini. Bukan sesuatu yang ajaib tapi perjalanannya sangat panjang untuk menghilangkan jejak. Karyawannya hanya tahu kalau ia berangkat ke Surabaya hari ini. Sementara beberapa karyawan tertentu tahu ke arah mana ia berangkat meski tak pernah tahu tujuan rincinya seperti apa. Setiap perjalanan yang dilakukan hanya diketahui segelintir orang. Kecuali kalau sesuatu yang darurat terjadi. Kalau menyangkut membahayakan nyawa, apapun akan dilakukan. Yang sopan kalo manggil orang! Ia terkaget membaca balasan yang baru masuk itu. Padahal ponselnya tak bersinyal. Tapi tersambung pada Wifi, aaah ia terkekeh-kekeh pelan. Merasa bodoh sendiri. Ia lupa kalau ponsel canggih ini bisa menerobos password wifi kantor pemerintahan. Ah, bukan hanya password wifi, keamanan penting lainnya pun bisa ia bantai. Tapi kali ini, ia hanya menggunakannya untuk keperluan perasaan. Tidak akan ia gunakan macam-macam. Tenang saja. Karena urusan hati juga tak lebih rumit dibandingkan dengan urusan negara. Namun masih bisa diselesaikan dengan jalan tengah. Oke, nuna! Ia tertawa tanpa suara begitu membaca balasan pesannya sendiri. Kemudian ponsel itu secara otomatis kembali mati dan ia harus berhadapan dengan pihak Imigrasi. Ia tak punya banyak waktu, seperti yang dikatakan Abangnya selama berjam-jam ini. Tapi eh tapi, ia baru sadar. Tumben pesannya dibalas oleh gadis itu? Hahaha. Ada apa dengan gadis itu? Merindukan pesan darinya kah? Uhuy! Echa mendengus. Entah lah. Ia hanya sedang sebal saja. Beberapa hari ini, mood-nya begitu buruk. Meski sudah dipecat dari kantor, bukan berarti ia menyerahkan? Ia bahkan baru saja diusir dari Kementerian Tenaga Kerja. Yeah, harapan apa yang berani ia gantungkan pada pemerintah? Kalau hasilnya, mereka hanya berpihak pada yang mempunyai uang? "Udah lah." Nabila berusaha menghiburnya. Ia tahu kalau Echa kecewa. Ia juga sama. Tapi mereka juga tak punya pilihan. Echa yang menahan emosi sampai menangis sambil berkata-kata dengan marah. "Mereka apa kerjanya coba? Nolong orang lemah kayak kita aja gak bisa?!" Nabila menghela nafas dalam. Ia saja tak melanjutkan pekerjaan di kantornya Ferril. Meski sempat ikut seleksinya. Namun ia akhirnya memutuskan untuk mundur saja. Balik ke Bandung adalah pilihan baginya. Tak ada jalan lain untuk tetap hidup. Nabila menepuk-nepuk bahunya, berusaha menenangkan hatinya. Ia tahu kalau Echa sedang kalut. Ia juga tak terima dengan apa yang terjadi pada hidup mereka saat ini. Ia mungkin juga tak bisa merasakan apa yang Echa rasakan. Perempuan itu juga menjadi tumpuan ekonomi keluarganya. Kalau ia sudah tak bekerja, bagaimana ia bisa membantu? Itu yang membebani Echa. Sementara Nabila? Ia masih memiliki Oma yang kaya yang bisa menghidupinya. Tak perlu pusing memikirkan akan makan apa esok hari karena sudah tersedia. Nabila memang tak pernah merasakan hidupnya sesusah Echa. Namun kemandirian Echa juga membuatnya salut. Perempuan itu tahan banting dan berjuang keras untuk keadilan pada dirinya sendiri. Meski kini mereka kembali pulang dengan tangan kosong. "Apa gue harus nyerah?" Nabila tak berani bersuara. Ia juga tak punya jawaban. Tapi jujur saja, bagi Nabila, masih ada jalan keluar lain. Ya meski tak mencari pekerjaan, ia masih bisa hidup kan? Kalau Echa? Itu juga yang ia pikirkan. Bahkan Echa lebih stres lagi memikirkannya. Gadis itu memiliki tabungan. Yaah setidaknya ia punya lumayan banyak selama tujuh tahun bekerja bukan? Tapi berapa lah uangnya dibandingkan Nabila? Karena ia harus berbagi dengan ibunya dan keluarga ibunya. Adik-adiknya juga perlu uang untuk biaya sekolah. Ia bahkan tak berani memikirkannya. Ini hanya membuatnya akan semakin kalut saja. Semakin frustasi dan lingkaran ini akhirnya malah bisa membunuhnya dengan perlahan. "Coba kita tenangin pikiran dulu yuk. Kalo adem dan tenang, akan enak mikirnya," tutur Nabila. Ia mengajak Echa untuk kembali pulang. Nabila memberhentikan taksi kemudian meminta sang supir untuk membawa mereka ke gedung apartemennya. Perjalanannya tak begitu jauh dari sini. Tapi bukan itu yang dipikirkan Nabila. Ia bingung dengan solusi atas permasalahan Echa. Mencari pekerjaan terasa sangat sulit. Ia juga sudah memikirkan pilihan lain untuk berpindah profesi. Tidak harus bekerja sesuai bidangnya bukan? Ya. Ia yakin Echa juga bisa melakukan itu. Mungkin sekarang belum dipikirkan saja. Karena Echa masih kalut sendiri dengan apa yang dialaminya. Gadis itu bahkan menangis tanpa suara di sepanjang perjalanan menuju apartemennya. Nabila menarik nafas dalam. Ia bingung harus berbuat apa untuk menenangkan Echa. @@@ "Mission completed," lapornya. Ia baru saja menuntaskan pekerjaannya. Kali ini apa? Aaah tentu saja melakukan sesuatu untuk keamanan perusahaan. Lelaki di seberang sana yang selalu terhubung dengannya menghela nafas lega. Ia akhirnya bisa tenang juga setelah semalam suntuk ikut bergadang. Ia bahkan tak sempat tidur sama sekali. Khawatir juga dengan apa yang terjadi hari ini. Juga khawatir dengan perjalanan adiknya. Ia terus memantau karena takut ada yang mengintil semua pergerakan mereka. "Gue bisa cabut sekarang, Bang?" tanyanya. Ia berjalan pelan menuju taksi yang menungguinya. Jujur saja, perjalanan kali ini tidak seru karena perjalanannya terlihat begitu lancar. Tak ada hambatan seperti biasanya. Biasanya ada banyak scene-scene film action yang membuatnya tampak keren. Misalnya, bergelantungan di ranting pohon seperti monyet. Itu keren? Menurutnya sebetulnya tidak. Tapi kalau Ardan yang melakukan akan tampak keren sekali. Benar-benar keren untuk ditertawakan. Selintas nama Ardan muncul di kepalanya dan itu memang selalu sukses membuatnya ingin menyemburkan tawa. Ia juga tak paham kenapa setiap ada kejadian konyol, nama Ardan lah yang akan terlintas pertama kali di dalam kepalanya. Hanya terdengar deheman di sana. Ia menyimpulkannya sebagai pertanda oke. Baru saja hendak mematikan telepon.... "Jangan langsung pulang dengan pesawat." Ia mengeluh dalam hati, mendengar kata-kata itu. Oke, ia tahu ini satu-satunya cara untuk menghilangkan jejak. Urusan passpor? Jejak perjalanan sudah terhapus. Ada laporan dari yang lain. Keningnya berkerut-kerut, mencoba berpikir sejenak. "Ke mana, Pak?" Ia tersadar. "Bandar Sri Begawan." Sang sopir itu ternganga mendengarnya. Perjalanan dari sini ke sana jelas bukan sebentar. Makanya lelaki itu benar-benar kaget. "Hanya sampai perbatasan, imigrasi," janjinya yang membuat lelaki itu menghela nafas lega kemudian dengan cekatan mengemudikan mobilnya. Sementara ia memejamkan matanya sebentar. Berpikir bahwa ketenangan akan selalu menghiasi perjalanannya hari ini yang tampak lancar sekali. Namun tak lama, ia malah terkaget dengan suara letupan dari belakang. Ia berbalik dan melihat apa yang terjadi. "Sial," makinya. Ia terpaksa mengalungkan tasnya kemudian membungkuk. Sementara sang sopir malah panik. "Geser!" tukasnya lantas menarik sopir itu hingga tersungkur ke samping sementara ia melompat duduk ke kursi kemudi lalu menaikan kecepatan mobil dengan dahsyat. "Inget, Ril. Masa depan lo masih panjang," gumamnya pada diri sendiri. Ia sudah sering berada di dalam tahap hampir mati namun tetap selalu ketakutan. Yeah, siapa yang tak takut mati? Dosanya masih banyak lagi. Belum sempat meminta maaf pada Ardan pula. Hahahaa. Sepertinya, dosa terbesarnya berada pada lelaki itu. Ia terus mempercepat laju mobilnya hingga hampir terbang bebas ketika ia membelokannya tiba-tiba. Andai tak melihat dengan cermat, ia pasti sudah mati. Kini ia hanya bisa fokus sambilt terus melirik ke arah kaca spion. Namun sialnya, kali ini tembakan menghantam kaca spion kanannya. Ia banting setir ke kiri. Lalu melompat ketika mobil itu terus menuruni bukit. Beberapa mobil yang mengejarnya tadi mendadak menghentikan laju mobil. Tahu kalau target mereka baru saja melompat turun dari taksi yang sedari tadi mereka jadikan target. Ferril sebetulnya agak curiga. Jangan-jangan mereka ini adalah orang-orang yang berada di Imigrasi? Apa Imigrasi sudah disabotase? Itu hal umu terjadi di negara-negara tidak aman yang ada di Benua Afrika. Rasanya jarang terjadi di sekitar sini. Iya kan? Atau itu pertama kalinya? Aaah! Ia tak punya waktu untuk berpikir. "Liat ke atas!" Ia baru bisa fokus mendengar suara saudara kembarnya yang sebetulnya sedari tadi memberikan perintah. Tapi ia tak bisa mendengar karena fokus dengan suara tembakan-tembakan yang menghantam mobil tadi. Kini ia baru saja berlari usai terguling hingga sepuluh meter di tengah-tengah hutan. Ia tak tahu kalau sedari tadi ada helikopter mengikuti laju mobilnya. Saat mendengar deru angin yang semakin kencang, ia baru tersadar. Sialnya, beberapa orang yang mengejarnya tadi muncul tak jauh dari belakangnya. Ia berdesis kemudian menguatkan tali tas dibadannya. Sementara dari atas sana, terulur tali hingga ke bawah dan ia melompat untuk meraih tali itu tapi sialnya, suara tarikan semapan membuatnya bersiaga. "Rendahkan sedikit!" teriak salah satu kru dari helikopter. Mereka harus menyamakan tinggi tali dengan kemampuan Ferril untuk meraihnya agar operasi ini berlangsung sangat cepat. Urusan keberadaan ini tentu saja ide Farrel. Ia tak pernah memberitahu persoalan rencana darurat. Karena khawatir ponsel Ferril disabotase. Sementara akan terjadi pemblokiran jika pihak sabotase mencoba mencari keberadaannya. Alih-alih mengejar tali itu, Ferril malah berhenti. Lelaki itu mengeluarkan petasan anak-anak yang ada di dalam tas hitam serbagunanya. Kemudian melemparnya ke arah beberapa laki-laki yang mengejarnya. Para lelaki itu kompak berguling guna menghindari petasan dadakan itu. Sementara Ferril memanfaatkan kesempatan itu untuk naik ke atas helikopter. Ia bersiul menggoda dan mengedip dengan matanya. Saat helikopter sudah naik ke atas dan terbang menjauh, ia baru bisa duduk dengan lega. "Lo dateng tepat waktu, Bang," tuturnya pada Adit yang duduk di samping pilot. Lelaki itu hanya mengacungkan jempol dengan senyuman tipis. Ia sudah keren bukan? Sampai harus membawa helikopter dan bernegosiasi dengan banyak pejabat penting hanya dalam beberapa jam. Semua dilakukan sendirian. Karena mereka tak punya waktu banyak untuk bermain-main. Yeah, dia memang dikirim ke Surabaya untuk misi ini. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN