Sudut Pandang Perempuan

2999 Kata
"Beyb! Beyb! Tunggu!" teriaknya. Kartunya sudah meluncur ke bawah saat Echa turun. Gadis itu tetap menolak. Usai mengucapkan terima kasih, Echa memang segera keluar dari mobilnya. Dan kini Ferril mengejar langkahnya yang terburu-buru. "Besok ke kantor Om aku aja ya. Nanti aku jemput pagi-pagi," tuturnya sembari menjajari langkah Echa. Gadis itu menghela nafas. Ia tak mau bantuan semacam itu. Bukannya sombong. Jika ia menerimanya, ia akan terus bergantung pada lelaki ini. Ia tak mau itu. Ia paling tidak suka melakukan hal semacam itu. Meskipun saat ini, ia sesungguhnya tak memiliki pilihan sama sekali. Bukan kah menyedihkan? Ya memang. "Kamu gak perlu repot-repot. Aku bisa cari kerja sendiri." "Aku kan mau bantu, beyb." "Gak perlu, Ferril." "Beyb," panggilnya dan anehnya Echa menoleh. Ferril menyembunyikan senyumnya. Lama-lama perempuan ini akan terbiasa dengan panggilan iseng itu. Hihihi. "Aku jemput pokoknya," tuturnya sembari melepas Echa yang hendak membuka pagar pintu rumah kosnya. Perempuan itu berdeham dan bukan berarti mengiyakan. Sementara Ferril hanya menatap tubuh yang perlahan menghilang lagi di balik pintu. Ia menghela nafas kemudian membalik badan dan berjalan pergi. Hal yang tak Ferril tahu adalah gadis itu menatapnya dari lantai dua. Dari balkon. Ia terus menatap Ferril yang berjalan menuju jalan raya. Kemudian ia menyandarkan punggungnya di dinding. Terakhir saat dibawa Ferril bertemu keluarga besarnya, Echa sadar kalau ia tidak pantas berada di sana. Ia justru semakin takut kalau semakin dalam Ferril mendekatinya. Ada banyak hal yang tak Ferril tahu tentang hidupnya. Ia tak ingin siapapun tahu tentang hal itu. Mereka hanya perlu tahu sedikit saja. Hidupnya menyedihkan. Ia malu? Ya. Ia kehilangan kepercayaan dirinya. Mungkin akan lebih mudah menerima jika lelaki itu bukan Ferril. Jika jarak mereka tak terlalu jauh. Iya kan? Sementara itu, Ferril baru saja menutup pintu mobil. Lelaki itu berhasil menyelipkan kartunya di dalam tas Echa saat gadis itu sedang membuka pintu. Kemudian ia mulai mengendarai mobilnya. Ia mengambil ponsel dan menghubungkan sebuah panggilan ke speaker mobil. "Bisa lacak Swastika Eka Graha?" tanyanya. Ia jadi ingin tahu bagaimana permasalahan yang sebenarnya. Ia perlu mendapatkan informasi yang lebih banyak untuk bisa membantu semampunya. Apapun ia lakukan demi gadis itu. Bukan kah dalam sekali rasa cintanya pada gadis itu saat ini? "Ya, Pak?" "Lacak kasus dua karyawan yang melaporkan pemalsuan data perusahaan." "Tunggu sebentar, Pak." Terdengar suara ketikan di seberang sana. Butuh beberapa detik agar data segera muncul. Ia membacanya terlebih dahulu baru kemudian menyampaikan hasilnya. "Ada?" Ia berdeham. Sepertinya, bos mudanya ini sudah tak sabar. "Ada, Pak. Kasus ditutup dengan pemecatan secara tidak hormat." "Ada tanggapan dari kementerian atau instansi lain?" "Sejauh ini hanya ada laporan kecurangan itu. Tapi tidak ada kelanjutan. Kasus sepertinya ditutup sepihak oleh pihak perusahaan." Ferril mengangguk-angguk. Ini yang membuat kubu Mabila dongkol sekaligus tak berdaya. Jelas kalau melawan perusahaan akan sangat sulit bukan? Tapi akan selalu ada jalan. Meski ia juga belum tentu dapat menyelesaikannya. "Mereka akan mengganggu karyawan yang bermasalah itu?" Hampir dua menit hening. Ferril masih menunggu sembari menikmati jalanan malam menuju rumah. Depok malam ini cukup ramai. Apalagi di sepanjang jalan Margonda. "Ada beberapa pesan. Sepertinya dari atasan yang memiliki banyak koneksi dengan perusahaan konsultan lain." "Isinya?" "Pemberitahuan untuk menolak dua karyawan yang keluar di mana pun mereka melamar kerja." Ferril mengangguk-angguk. Ia sudah menduga. Tidak akan mudah jika sudah seperti itu. Ia tidak menyayangkan sikap Echa yang terlalu berani. Ia malah sangat senang akan kejujuran gadis itu. Lebih baik dipecat secara tidak hormat jika alasannya adalah sebuah kebenaran. Boleh jadi hina dimata mereka tapi tidak hina dimata Tuhan. Bukan kah itu jauh lebih keren? Walau hasilnya begini. Keduanya jadi susah sendiri. Ya memang untuk berhadapan dengan kezaliman memang sulit. Terbayang dulu bagaimana kaum Bani Israil tak berdaya di hadapan Fir'aun. Fir'aun yang teramat zalim mungkin memang tak sebanding dengan ini. Tapi tetap saja kan ya? Meskipun akhirnya, Bani Israil menkhianati Tuhannya lagi. Ucapan mereka tak bisa dipegang sama sekali. "Oke. Ada posisi kosong di kantor kita untuk departemen lingkungan?" Terdengar suara keyboard lagi yang menemani perjalanan Ferril malam ini. Ia tampak santai mengemudi malam ini. Bukannya ke kantor, ia malah membolos. Tumben-tumbennya pula om-nya tak menganggu. Ya bagus lah. Barangkali tak ada hal darurat apapun yang terjadi. "Ada satu di bawah kantor Pak Regan." "Lokasinya di mana?" "Kantor pusat, Pak." Ferril menghela nafas. Ya setidaknya kalau Echa di sana, mereka tak terlalu jauh. Ia rela untuk selalu datang ke sana dan menemani gadis itu makan siang. Tampaknya itu akan menjadi sesuatu yang manis dan romantis. Ya andai gadis itu mau. Namun masalahnya adalah tak mudah menyentuh hati Echa. Kalau mudah, ia tak mungkin terus berjuang sejak dua tahun terakhir bukan? Memperjuangkan itu memang tidak mudah. Ia baru menyadarinya sejak bertemu gadis ini. Gadis ini memang mengajarkan banyak hal untuknya. Ia sangat berterima kasih walau menyedihkan juga dalam satu waktu. "Yang lain?" "Dua posisi kosong. Satu di Surabaya dan satu lagi di Medan." Ia mengangguk-angguk. "Kirim lowongan itu pada saya." "Baik, Pak." Ia menutup sambungan itu kemudian mencoba menghubungi Echa. Tapi tak diangkat. Akhirnya, ia mengirimi gadis itu pesan. Pesan yang berisi lowongan pekerjaan di kantor Regan. Kalau Echa tidak mau, ia terpaksa memberikannya pada Nabila karena sudah berjanji. Meski sesungguhnya, ia lebih menginginkan Echa. Lantas apakah dilihat gadis itu? Belum. Ia belum membukanya. Ebggan membukanya hingga akhirnya terlelap. @@@ Beberapa hari ini ia kembali lembur. Ia terlalu sibuk dengan urusan kantor jadi tak sempat mengurus asmaranya dengan Echa. Gadis itu tetap menolak lowongan pekerjaan yang ia tawarkan jadi pekerjaan itu sudah ia berikan pada Nabila. Dan gadis itu juga sudah terlihat hari ini di kantornya. Ia sempat mencari Echa dan menitipkan makanan di kosnya. Ia khawatir dengan kondisi gadis itu. Disaat sulit mencari pekerjaan seperti ini, ia malah tak bisa banyak membantu. "Jadi Echa keluar dari kantor?" Ferril mengangguk-angguk. Ia berjalan menuruni tangga. Hari ini ia tak berangkat ke kantor. Ya dan malah curhat pada bundanya. Bundanya sudah hapal karena Echa menjadi satu-satunya perempuan yang terus ia bicarakan. Perempuan lain? Tak ada. Sekalipun banyak gosip yang berkembang di luar sana entah ia jalan dengan perempuan ini atau perempuan itu. Bunda tak akan percaya. Ia tahu sekali bagaimana tipikal anaknya. "Terus mau cari kerjaan di mana? Biasanya bos perusahaan semacam itu punya banyak koneksi konsultan yang bergerak di bidang yang sama." "Iya, Bun. Echa dan temannya sudah masuk daftar hitam. Jadi sulit kalau melamar di bidang yang sama." Bunda mengangguk-angguk. "Kamu gak bantu dia, Dek?" "Dia nolak, Bun." "Dia nolak mungkin mau dipaksa." "Echa bukan perempuan kayak gitu, Bun." Bunda menoleh. "Lalu perempuan kayak apa?" Ferril tertawa. "Dia tengsin kayak Bunda." "Kamu ini!" Ferril melanjutkan tawanya kemudian bergabung di meja makan. Ia hanya jujur. Menurutnya sih begitu. Ya kan? Walau tak tahu juga. Mungkin ada banyak hal lain yang membuat Echa enggan menerima bantuan darinya kan? Padahal apa susahnya. Bukan kah gadis itu butuh? Ia bersedia membantu dengan ikhlas. Bukan semata-mata agar perasaannya terbalas. Ia bahkan tak berpikir ke arah sana. "Kalau begitu, sering-sering jenguk dia, Dek. Orang nganggur itu tingkat stresnya tinggi. Apalagi anak rantau kayak Echa." Ferril mengangguk-angguk. Ada beban keluarganya juga, pikirnya. Ia menghela nafas. Ia tak tahu banyak tentang kekuarga gadis itu. Echa tak terbuka seperti perempuan lain. Cenderung membatasi bahkan menjaga jarak jika berhubungan dengannya. Ia juga tak paham kenapa. Yang jelas, ia tak menyukai hal itu. Tapi mungkin Echa ingin pelan-pelan. Gadis itu taj seperti gadis lain yang akan langsung tertarik padanya. Yang dalam sekejab saja bisa langsung luluh. Semua butuh waktu dan proses jika berhubungan dengan Echa. Dan ia rela menunggu juga mengikuti ritmenya. Ia yang akan menyesuaikan diri untuk Echa. Dan hanya akan melakukan semua ini demi Echa. "Makan sendiri ya, Dek," tutur Bunda usai menaruh sepiring nasi di atas meja. "Iya, Bun." Bunda berjalan ke halaman belakang. Seperti biasa, mengurus rumah dijam-jam seperti ini. Saat Ferril sedang duduk santai sambil menyantap makanannya terdengar suara cempreng mengucap salam. Ferril terkekeh mendengar suara itu. Tak lama, pintu rumah terbuka. "Lah?" Fara tentu kaget saat membuka pintu rumah Bundanya dan mendapati ada Ferril di sana. Cowok itu nyengir saja. Adik iparnya yang sableng satu itu sedang malas ke kantor. Pantas saja Fara melihat mobil yang biasanya dibawa Ferril ke kantor malah terparkir rapi di garasi rumah. "Sudah makan kakak ipar?" tanyanya sambil mengambil nasi untuk kedua kalinya. Ia lapar sekali. Bawaannya hanya ingin makan. Ya mumpung masih bisa makan. Fara terkekeh. Dengan riang ia menaruh roti-roti yang ia beli di minimarket depan. Ia bosan sendirian di rumah. Makanya sengaja datang ke sini. "Roti-roti ini Bunda beli di mana sih? Kok aku gak liat di minimarket depan ya?" tanyanya sambil melihat-lihat roti yang ada di rak Bunda. Pasalnya, ia sudah mengubek-ubek isi minimarket depan tapi tak ditemukan. Mana merk-nya memiliki nama yang mirip dengan salah satu di keluarga ini. Yeah sepupu suaminya. Si Ardan. Cowok aneh yang pernah ia kira bahkan sempat menggodanya. Kini ia baru paham kalau itu adalah tipikal lucu bukan aneh. Namun ia sungguh melihat dunia Ardan begitu berbeda. Ferril malah terkekeh. Cowok itu dengan santainya duduk kursi makan. Ya lah namanya juga sedang makan. "Itu beli di toko rotinya Kak Dina. Ingat Kak Dina yang mana?" tutur Ferril. Cowok itu sengaja bertanya seperti itu karena mungkin Fara masih bingung dengan banyaknya sepupu-sepupu perempuannya. Belum lagi yang kecil-kecil. Fara hanya ingat nama Adel karena gadis kecil itu paling berisik. Ya paking berisik, bawel, tapi juga menggemaskan bukan? Fara tampak berpikir. Ia tidak begitu ingat tapi nama itu sepertinya tidak asing. Melihat kening Fara mengerut, Ferril kembali memberi jawabannya. "Itu, Far, saudara kembarnya Bang Ardan." Aaaah. Kalau itu sih ia ingat. Karena pertama kali tahu mereka adalah saudara kembar, Fara tak bisa berhenti tertawa. Pasalnya, wajah keduanya begitu mirip meski jenis kelaminnya berbeda. Dan hal lucu lainnya adalah Fara selalu tertawa teringat wajah Ardan. Wajah tengilnya mendominasi. Ah maksudnya, ekspresi wajah lelaki itu. Entah apa yang membuat lucu tapi jenis muka Ardan adalah muka lawak menurutnya. Cocok sekali kalau jadi komedian. Sayangnya Ardan malah meneruskan perusahaan Papanya. Ah, Fara juga baru ingat kalau beberapa waktu lalu, ia sempat datang ke rumahnya bukan? "Terus Bunda mana?" tanyanya sambil celingak-celinguk. Bunda tak terlihat. Rumah ini agak sepi karena tak ada Bunda. Farras juga tak ada padahal ia mengira Farras ke sini. Karena tadi pun, ia ke rumah adik iparnya itu dan tak ada orang di sana. Kosong. Ia kira Farras datang ke sini. Ia kan kesepian. Siang-siang begini enaknya kelayapan. Bosan kalau hanya di rumahnya yang besar dan sendirian. Sementara Ferril masih ganteng dengan baju kokonya. Cowok itu kan baru pulang dari solat Jumat di masjid komplek. "Nyetrika palingan di belakang," tutur Ferril. Akhirnya Fara menghampiri Bunda di halaman belakang. Ia melihat Bunda tampak asyik menyetrika baju di halaman belakang rumah. Di terasnya tentu saja. Sembari duduk, menikmati lagu dan angin sepoi-sepoi. Bunda terkekeh melihat kedatangan menantunya itu. Fara itu menurut Bunda rada bawel dan tak ada kalemnya sama sekali semenjak resmi menjadi menantunya. Ya mungkin memang karakternya seperti itu. Tapi kalau melihat yang lain rusuh, ia biasanya hanya tertawa. Mungkin kalah rusuh kalau sendirian. Sementara itu, Ferril bersantai ria di ruang keluarga. Ia berbaring di atas sofa sambil menikmati tontonan televisi. Sesekali ia melihat layar ponselnya. Barangkali ada pesan balasan dari Echa. Alih-alih pesan dari Echa, yang masuk malah pesan di grup. Farras baru saja mengirim gambar pohon mangga milik Tante Airin yang sedang berbuah ranum. Ia terkekeh. Dasar cewek-cewek, pikirnya. Ia justru memindahkan channel televisi. Berusaha mencari hiburan yang jauh lebih seru. "Ril! Tahu rumah Tante Sara?" Tahu-tahu kakak iparnya muncul. Perempuna ini dikirimi pesan oleh Farras. Mau diajak ke mana? Hohoho. Tentu saja Ferril langsung tahu. Ia perlu bergabung lebih sering dengan para sepupunya biar lebih akrab. Walau menurutnya, Fara termasuk cepat akrab dnegan keluarganya. Mungkin karena luwes? Atau karena karakter yabg tak begitu berbeda jauh? Ah entah lah. "Mau ke sana?" Fara mengangguk. Ia ingin ke sana karena mendapat kabar kalau Farras di sana. Jadi ia ingin menyusulnya. "Sama gue aja," tuturnya lantas mengantongi ponsel dan dompetnya. Ia berjalan lebih dulu dan Fara mengikuti dari belakang. Ya dari pad aia hanya berbaring di depan televisi. Hiburan tak ada yang bagus. Lebih baik ia keluar bukan? Ia berjalan menuju bagasi lalu mengeluarkan sepeda dari sana. Kalau naik mobil atau motor, terlalu cepat sampai. Lebih seru kalau naik sepeda. Dan lagi, ia bisa dijitak abangnya kalau membonceng perempuan yang satu ini. Hahaha. "Aku bawa sepeda Abang loh," tuturnya sembari berjalan menuju sepeda yang terparkir tepat di belakang mobil Ferril. Fara terkekeh melihat sepeda cowok tapi warna pink itu. "Warna kesukaan," candanya yang membuat Fara terpingkal. "Abang juga suka," bohongnya yang tentu saja ditepis Fara mentah-mentah. "Abang gak suka warna cewek." Ferril terkekeh. Memang benar sih. Ia juga sebetulnya. Hahaha. Hanya bercanda saja. Lantas tak lama keduanya mengendarai sepeda berdampingan melintasi jalanan komplek. "Gimana sama Abang? Aman?" tanyanya. Ia tak pernah tahu perkembangan hubungan keduanya semenjak menjadi suami-istri. Yang ia tahu, abangnya bahagia. Mungkin ya seperti itu. Tanpa tahu kalau abangnya mungkin menyimpan sesuatu. "Apanya yang aman?" "Malam pertama lah! Uhuk-uhuk-uhuk!" Ia pura-pura terbatuk. Fara terkekeh-kekeh menanggapi ledekannya. Ia juga sudah memerah saat digoda Farras beberapa minggu lalu. Ya malam pertama yang menyenangkan karena sesungguhnya hanya diisi dengan obrolan. Tak lebih dari itu. Ia juga sungguh grogi malam itu. Maklum lah. Ia tak pernah berduaan dengan lelaki. Apalagi sampai satu kamar dan benar-benar hanya berdua. Aneh juga ketika harus melepas kerudung dan mengenakan baju selutut bersama lelaki yang belum dikenalnya. "Farras bilang kamu lagi deketin cewek." Ferril terkekeh. Farras pasti cerita banyak hal. Ia tak masalah sih. Sudah hal lumrah di dalam keluarga mereka. "Mau tahu?" Fara mengendikan bahu dengan cool. Ferril terkekeh-kekeh melihat reaksi itu. Baginya, kalau Ferril enggan bercerita juga tak masalah. Ia tak mau memaksa. Itu kan terserah pada Ferril. Karena memang haknya. "Ada sih cewek. Tapi dia galak terus jutek banget," curhatnya. Fara tertawa mendengarnya. Kasihan, pikirnya. Cowok ganteng model begini digalakkin sama cewek. Hihihi. Tapi mungkin lebih cocok. Karena pembawaan Ferril tengil dan terlalu ramah pada perempuan. Biar tak dikira gampangan ya mungkin si perempuannya bersikap seperti itu. Atau mungkin memang tipikalnya yabg seperti itu? Kalau ia? Jika dibandingkan dengannya mungkin agak berbeda ceritanya. Atau mungkin sama? Ia menilai suaminya dulu sama saja dengan Ferril. Ya dengan segala pemberitaan yang mengungkapkan kalau lelaki itu juga dekat dengan beberapa perempuan. Jadi, ia sempat tak mau karena di dalam pikirannya ya, cowok-cowok semacam ini hanya ingin mempermainkan perempuan lugu sepertinya. Ya kan? Apakah salah jika ia berpikir seperti itu? Ia hanya tak mau sakit hati. Tak mau tertipu. Walau akhirnya luluh juga setelah mengenal Farrel dari dekat. Mengenal keluarganya yang juga membuat nyaman. Lalu ternyata suaminya benar-benar jauh dari imej yang ditampilkan di televisi atau media lainnya. Memang benar kalau media massa itu bahkan bisa membunuh karakter baik di dalam suaminya. Ia bahkan tak percaya setiap suaminya memimpin solat. Tartilnya begitu merdu dan menghanyutkan. Itu benar-benar indah dan menyenangkan baginya. "Ditelpon jarang diangkat. Kalo balas pesan apalagi. Kalo gak penting-penting banget, gak akan dibalas." Fara tampak berpikir mendengar itu. Itu sama sepertinya? Hahaha. Tapi ia cenderung barbar ketika tidak menyukai sesuatu dan berhasil menyerang suaminya berkali-kali. Ia sudah meminta maaf soal itu dan tentu saja dimaafkan karena bersedia menjadi istrinya. Walau perjalanan mereka juga tak semulus itu. Sejauh ini setidaknya memamg masih begitu. "Mungkin dia emang gak suka. Aku juga gitu kalo gak suka sama cowok." Ferril mengangguk-angguk. Barangkali kenormalan itu setidaknya memberikannya cukup kelegaan. Walau bukan hal yang patut membuatnya senang juga. Ia perlu mencari tahu kenapa Echa bersikap seperti itu padanya bukan? "Kira-kira kenapa tuh cewek gak suka?" Fara tak perlu berpikir lama untuk menemukan jawabannya. Jawabannya terasa sangat mudah. "Gue ganteng," pujinya pada diri sendiri. Fara yang hendak menjawab malah tertawa lagi. Cowok narsis di sebelahnya ini memang patut mendapat karma akan sikap songongnya. Walau kesombongannitu adalah persoalan fakta. "Mapan. Punya segalanya. Hidup sama gue akan aman." Fara geleng-geleng kepala sambil terkekeh kecil. Fara tidak menyangkal kebenaran dari sikap narsis Ferril. Toh memang benar. Itu bukan lah sebuah kebohongan. "Gak semua cewek melihat cowok dari itu. Ada yang mungkin mencari kesederhanaan. Alih-alih hidup serba ada dan terkenal. Hidup sederhana dengan seorang lelaki dicintai di sebuah desa terpencil sekalipun akan membahagiakan." Kening Ferril mengerut-ngerut. Ya ia tak pernah susah. Kadang juga pernah terpikir untuk hidup sederhana. Meski ukuran sederhananya tetap terasa mewah bagi orang-orang yang ekonominya jauh di bawah mereka. "Terus itu alasan dia gak mau?" Fara menggelengkan kepala lagi. "Kalau persepsiku melihatmu pertama kali.....," ia menghentikan kata-katanya sebentar. "Mungkin bukan tipe lelaki yang dia cari." "Ah, masa?" Ia tak percaya. Hahaha. Skaing percaya dirinya. Sbeagai seorang lelaki yang tak pernah ditolak, ia berhak bersikap searogan ini? Hahaha. Tidak juga. Pembawaannya memang begitu. Fara tertawa. "Serius, Ferril. Kamu itu...." "Playboy?" Fara mengangguk sambil tertawa. Ia tak bisa menyangkal itu. "Itu terlihat dari sikapmu. Sekali orang melihat mereka tahu bagaimana kepribadianmu." Fara tak perlu berbicara lebih panjang bukan? Karena semua tampak jelas. Ferril itu ganteng, ramah, dan yaaa sikap gentle yang ia tunjukan justru membuahkan persepsi lain bagi para perempuan. Akhirnya membuat mereka cenderung terbuai. Ya? Benar sekali. Tapi ya Ferril memang seperti itu. Kadang ia justru memanfaatkan sifatnya sendiri untuk hal itu. Tapi semenjak menhenal Echa, semua berubah. Dunianya juga berubah. Fokusnya hanya perempuan itu. Yang lain? Perempuan lain? Hanya sekedar lewat. Ia tak benar-benar ingin dekat dengan mereka. Hanya sebatas keramahan. Tak pernah lebih. Walau masih tak menjaga jarak. Dan apakah Echa perduli dengan hal itu? Ia berharap begitu. "Kalo kata orang, don't judge people by its cover." "Tapi persepsiku benar bukan?" "Udah tobat," ia berkilah dan Fara tertawa lagi. Ferril tidak pandai berbohong di depan Fara. Wajahnya terlalu jujur. Dan bagaimana mungkin lelaki jujur ini bisa menjadi playboy? Nah itu lah..... "Mungkin itu yang membuatnya takut. Perempuan yang pernah terluka sekali, pernah dikhianati, akan sulit memercayai lelaki lagi, Ferril. Mau ia playboy atau tidak." Ia menghela nafas. Ini kejujuran saja. "Tapi bukan berarti tidak ada kesempatan. Ini hanya persoalan kamu bisa meyakinkannya atau tidak untuk mau hidup sama kamu. Kalau memang kamu serius sama dia." Perkataan Fara terakhir itu memberikan makna yang sangat dalam. Lalu keduanya sama-sama berbelok masuk ke sebuah rumah. Haaaah. Ia menarik nafas dalam. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN