Tawaran Tak Terduga
Langkah kaki yang terdengar santai menuju ke arah lift, memecah keheningan yang seakan terperangkap dalam lobi sebuah gedung tempat para pemangku jabatan kampus bekerja. Di sana, waktu seolah berjalan lebih pelan dan tenang, udara di dalamnya sejuk, tidak hanya karena pendingin ruangan, tapi juga karena atmosfer formal yang nyaris membuat siapa pun merapikan postur duduknya secara otomatis.
Lalu di sudut lain lobi tersebut, seorang gadis dengan sweater rajut berwarna krem pucat memencet tombol lift, dengan sabar menunggu pintu terbuka. Lengan panjangnya dia lipat santai sampai siku, cukup memberikan kesan effortless tapi rapi. Rambut hitam tebalnya dibiarkan tergerai alami tanpa hiasan apapun. Penampilannya sederhana, tetapi dari cara ia berdiri, tegak namun tidak kaku, terlihat jelas bahwa ia bukan seseorang yang butuh sorotan--namun tetap mencuri perhatian dengan caranya sendiri.
“Lantai berapa, Bu?” tanyanya sopan kepada seorang wanita yang masuk ke dalam lift bersamanya. “Biar saya bantu.”
“Ah, saya lantai 8 juga, Mbak. Terima kasih, ya.”
Setelah saling melemparkan senyum, tidak ada suara yang keluar. Bagaimanapun, kotak besi itu adalah panggung kecil tempat manusia berperan. Entah dengan diam, saling tatap, atau berpura-pura sibuk melihat angka lantai yang menyala.
Setidaknya, selalu seperti itu sampai kemudian…
“Kinara Asih?”
Suara lembut yang menyebut nama panjangnya dengan sedikit ragu itu membuat sang gadis dengan sweater rajut itu menolak, terkejut, lalu ikut tersenyum ketika wanita yang ia tebak berusia 50 tahunan itu tersenyum.
“Benar, kan? Kinara Asih.”
“Ya,” Kina sempat tertegun sebelum menerima uluran tangan Ibu itu. “Maaf, Ibu kenal saya?”
“Tidak mungkin saya tidak mengenal mahasiswi psikologi yang terkenal ini,” jawabnya dengan tawa ringan. “Kamu S1 di sini juga, kan?”
Keduanya berbincang santai, bahkan ketika pintu lift sudah terbuka, mereka masih berjalan beriringan. Tanpa sadar, Kina mulai menilai. Menurutnya, nada suara Ibu itu hangat, tapi tak berusaha ramah. Seperti orang yang sudah terlalu lama berada di ruang-ruang formal, terlalu paham bagaimana berbicara tanpa harus menundukkan diri.
Mereka banyak bertukar kalimat ringan. Tentang cuaca, tentang jadwal kuliah. Tapi dari cara Ibu itu memilih diksi, cara tertawa yang tak terlihat berlebihan, dan bagaimana senyumnya muncul seperti keputusan dan bukan kebiasaan--Kina tahu, ibu ini bukan perempuan sembarangan.
“Oh, saya di ruangan ini,” kata Ibu itu sambil tersenyum. “Sampai bertemu lagi, Kina.”
Kina tersenyum, mengucapkan terima kasih sebelum menunduk sopan. Dia masih berdiri di depan pintu di mana Ibu itu masuk selama beberapa detik, seolah ingin menyimpan memori pertemuan tidak terduga tadi. Lalu, perlahan dia membalikkan badannya, berjalan lurus ke arah satu ruangan dengan pintu berwarna cokelat. Sebenarnya itu bukan pintu yang menakutkan, tapi cukup untuk membuat siapa pun menata napas sebelum mengetuk.
Jujur saja, Kina tidak tahu alasan dia dipanggil. Hanya saja, kemarin sore ketika dia baru selesai dengan kegiatan tutoringnya, ada satu pesan masuk dari staf fakultas. Inti dari pesan itu sederhana, “Besok, jam 09.00, dimohon menemui rektor di ruangannya.” Ada sesuatu yang bergetar halus di dadanya, rasa tidak tahu yang membuat gerakannya sedikit lebih lambat. Bukan gugup, hanya berhati-hati.
“Ya, silahkan masuk.”
Ketika pintu dibuka, udara dingin langsung menyapanya. Ruangan itu sunyi, pendingin suara di sana nyaris tidak bersuara. Langit-langitnya cukup tinggi, dindingnya dipoles warna krem pucat dengan kesan hangat kayu di berbagai sisi. Lantainya dilapisi karpet cokelat yang lembut untuk meredam langkah kaki. Sementara di sisi kanan ruangan, menjuntai tirai putih tipis untuk menghiasi jendelanya yang besar, membiarkan cahaya matahari pagi menerobos masuk dan menyinari sela-sela rak display yang berisi buku dan beberapa penghargaan.
Tidak ada lukisan besar. Hanya foto hitam-putih rektor-rektor sebelumnya yang digantung sejajar, seperti garis waktu yang menyelinap diam-diam di dinding, meminta untuk diingat, dikenang.
Kina berdiri beberapa detik, matanya menyapu ruangan. Rapi, efisien, mahal--tapi tidak dingin. Seperti seseorang yang tahu apa yang ia punya, tidak perlu pamer.
“Kinara Asih. Benar?” sapa Rektor Universitas Kartawijaya itu, senyumnya hangat. “Silahkan duduk.”
Kina tersenyum kecil, mengangguk sopan lalu duduk dengan hati-hati. Gerakannya tidak terlalu cepat, tidak pula ragu. Kedua tangannya diletakkan di atas paha, punggungnya tegak. Dia tidak banyak bicara, hanya menunggu kalimat berikutnya. Tapi matanya awas, memperhatikan ritme suara Rektor dan isyarat kecil di wajahnya. Apa pun yang akan disampaikan, Kina tahu kalau dia harus siap--dengan telinga yang utuh dan hati yang jernih.
“Kamu sudah diterima di program S2 kamu. Psikologi pendidikan, benar?”
Mengangguk dan tersenyum sopan, Kina menjawab. “Benar, Pak. Saya sudah resmi diterima semester ini.”
“Dan kamu mengajukan beasiswa yayasan.”
Bukan pertanyaan, lebih pada sebuah pernyataan yang sudah diketahui pasti.
“Benar, Pak. Saya mencoba segala kemungkinan untuk meringankan biaya studi.”
Bapak Rektor, Prof. Nugroho Wicaksana mengangguk pelan sebelum melontarkan kalimat mengejutkan. “Kamu mendapat undangan dari pihak yayasan.”
Mata Kina membulat, terkejut. “Saya, Pak?”
“Ya, kamu.” Prof. Nugroho menatapnya lurus. “Sebenarnya bukan saya yang ingin bertemu kamu hari ini. Teman saya, sekaligus direktur yayasan sangat ingin bertemu dengan kamu.”
“Direktur yayasan?” lirih Kina. Dia belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Ada maksudnya ini?
“Ah, itu dia.”
Suara Prof. Nugroho menyadarkan Kina, ketika Rektor kampusnya itu menatap ke arah pintu, secara otomatis Kina juga melakukan hal yang sama.
Namun, saat Kina menoleh, ia nyaris berdiri karena refleks. Sosok wanita yang masuk… adalah wanita di lift tadi. Wanita dengan senyum santai dan tatapan hangat. Ternyata, beliau adalah Direktur Yayasan Sosial, Seni dan Pendidikan Kartawijaya Group, Dr. Malika Nurmala Kartawijaya.
Tetapi seolah kejutan itu belum cukup, Kina yang kini duduk berhadap-hadapan dengan Dr. Malika, malah dikejutkan oleh penawaran yang menjungkirbalikkan dunianya. Wanita itu tidak berbicara seperti pejabat yayasan yang formal atau seorang filantropis yang hendak mencairkan dana. Dia menatap Kina dengan tenang, bahkan lebih tenang dari saat mereka bertemu di lift. Seolah kalimat yang akan diucapkannya telah dia pikirkan selama bertahun-tahun.
“Saya tahu kamu pintar dan punya masa depan yang cerah, Nak Kina.” Ucap Dr. Malika, suaranya rendah tapi mantap. “Tapi bagaimana kalau saya menawarkan sesuatu yang bisa mengubah hidupmu… dan hidup anak saya?”
Dunia di sekeliling Kina seketika sunyi.
Mengubah hidupmu… dan hidup anak saya?