Sisi Lain Hadwan dan Arisha

1617 Kata
Arisha harus banyak mengelus d**a kalau bekerja sama dengan Hadwan. Dia sudah membuatnya susah payah, sampai jungkir balik di kasur karena typo terus. Dia ingin pekerjaannya terlihat sempurna. Di mata Hadwan, apapun yang dia lakukan, terasa tetap salah. Dia sampai mendownload KBBI online dan PUBEI online di app store. Menyesuaikan setiap kalimatnya dengan kedua aplikasi tersebut. Salahnya hanya ada di titik dua. Itu saja. Kenapa Hadwan harus menyuruhnya mengulangi pembuatan surat ini!? Lelaki itu benar-benar ingin membuat Arisha tidak nyaman berada di angkatan mereka. "Udah bener, lho, ini." Arisha kembali memutar laptop. Hadwan mampu melihatnya dengan jelas. Dan, ya. Kesalahan itu ternyata bisa dibenarkan. Arisha lumayan teliti orangnya. Dia tidak bodoh dengan langsung mengulang pekerjaan. "Oke, gue terima. Print sekarang. Masukin ke amplop juga. Senin kasih ke tamu, surat izin peminjaman barang ke Bu Dede, terus ... ke ketua OSIS!" Baru saja dia mau istirahat. Huh, Hadwan sangat menyebalkan. "Capek, gue mau nyemil sebentar," kata Arisha. Dia hendak mengambil kue di atas meja, tetapi dengan sengaja, Hadwan menarik piring itu. Mengangkatnya ke atas kepala. Tangan Arisha mengepal. Dia sangat lapar dan Hadwan membuat mood-nya kembali berantakan. "Gue laper, Wawan. Print bisa sebentar lagi. Senin pun masih lama." Arisha lekas melayangkan protes. "Nanti lo lupa. Jangan kebiasaan menunda pekerjaan. Bukannya makin cepat karena istirahat, justru makin lama, Arisan." Arisha memejamkan mata mendengar alasan Hadwan barusan. Dia menunjukkan kepalan tangannya pada muka Hadwan, uratnya sampai menonjol. "OKE. Ketua selalu bener." Dengan amat terpaksa, Arisha berdiri. Namun, dia lupa satu hal. "Sa, printer sebelah mana?" tanyanya menatap Khansa. Gadis itu menoleh cepat. "Printer rumah gue rusak. Ke tukang fotocopy Pikbi aja." "Pik—bi?" Arisha bertanya sangat pelan. Dia membuang muka. Pikbi. Dia sering mendengarnya, tetapi di mana!? "Iya. Yang deket bank." Sekuat apapun Arisha mengingatnya, dia tidak ingat. Lokasi setiap tempat pastinya sudah berbeda. "Tan, anter." Arisha merengek. "Intan lagi susun soal," jawab Hadwan seakan menyuruh Arisha agar tidak mengganggu pekerjaan orang lain. "Ya udah, Sa. Anter." "Dia juga lagi susun soal." Hadwan yang lagi-lagi menjawab. Ya terus, kalau seperti ini jadinya, dia harus berbuat apa? Kalau saja Adinda ada di sini, dia bisa menarik Adinda untuk mengantarnya. Sayangnya, Adinda sedang ada kumpulan OSIS. "Ikhwan sama Babang lagi mikir tempat pas buat pelantikan. Tempat kemarin kebanjiran." Ya Allah, Ya Rabb. "Ya udah, nanti aja." "Sekarang!" Dan Hadwan memberikan perintah kembali. Arisha berdecak dibuatnya. Hadwan sungguh menyulitkan. "Gue nggak tahu tempatnya, pikir sedikit dong!" Arisha duduk di sofa dekat pintu, wajahnya ditekuk kesal. Tatapan matanya menatap tajam Hadwan. Si biang kerok yang membuat dia bimbang. "Gue anter." Mendengar ucapan Hadwan barusan, Ikhwan dan Babang pura-pura batuk. Dia semakin curiga, kalau keduanya menyembunyikan rencana darinya. Daripada tidak sama sekali, lebih baik dia diantar Hadwan, kan? "Ya ... terserah." Kenapa jadi kaku seperti ini? Padahal, mereka tidak mungkin satu motor berdua. "Cepat dikit," komentar Hadwan sambil berlalu lebih dulu keluar rumah. Arisha hanya mampu mendengus. Sekali-kali, dia akan bawa obat naik darah agar darahnya kembali stabil jika sudah bertemu dengan Hadwan. "Cepet naik!" kata Hadwan lagi saat lelaki itu sudah duduk anteng di motor besarnya. "Gue bawa kendaraan sendiri. Nanti, gue ngikutin lo dari belakang." Dikira Arisha mau apa kalau boncengan dengan seorang Hadwan? Nanti dia dibawa terjun ke jurang. "Terserah." Akhirnya, Hadwan bisa mengalah. Daripada kumpulan semakin lama dan membuat dia bertemu Arisha pun semakin memakan waktu, lebih baik Hadwan menyingkirkan sedikit egonya. Saat naik motor. Arisha merasa kalau motornya tengah bermasalah. Dia melirik ban depan. Menghela napas kemudian saat menyadari bahwa bannya kempes. "Allahu, kempes lagi." Hadwan ikut melirik ban motor Arisha. "Bukan kempes, itu meleduk. Harus ditambal ke bengkel. Atau lo ganti ban dalamnya. Biasanya suka lama. Bengkel dari sini pun jauh, sih." Tidak mungkin kalau dia akan naik motor dengan Hadwan. Hih, tidak mau. Dia takut kecelakaan. "Ya udah, lo aja yang print." "Kok nyuruh gue? Yang Humas siapa?" Arisha mencebik. Hadwan senang sekali berkelit lidah. Humas saja terus ungkit. Tidak ada salahnya sebenarnya, kalau Hadwan membantu Humas ini. Artinya, Hadwan adalah ketua yang baik hati dan tidak sombong. Memiliki hati nurani yang masih berfungsi dengan baik. "Gue," liriknya pasrah. Dia melirik sepeda motor yang terparkir lainnya. Masih ada akal ternyata. "Gue pinjam motor Babang atau Ikhwan dulu." Hadwan hanya mengangkat bahu tak acuh, tersenyum miring setelahnya. Seiring dengan Arisha yang semangat masuk rumah Khansa kembali. "Bang, pinjem motor, lo. Ya? Boleh, ya? Nanti gue ganti bensinnya." Arisha mengerjapkan mata beberapa kali. Babang langsung garuk kepala. Dia kasihan pada Arisha, tapi agaknya gadis itu lupa satu hal deh. "Gue, sih, silakan aja kalau lo mau pinjem motor, tapi motor gue kan bukan matic, Sha." Penjelasan Babang barusan, mengundang dengusan kesal dari Arisha. Motor Ikhwan pun sama. Dia tidak bisa bawa motor seperti model mereka. Huh, sangat gaya sekali harus bawa motor seperti itu. Kali-kali matic saja biar Arisha bisa pinjam. "Hm, oke." Arisha balik lagi ke Hadwan setelah membawa tas. Lelaki itu menaikan alis saat dia melihatnya garang. "Jangan modus," ancamnya. Hadwan langsung mendelik. Kalaupun ingin modal dusta pada perempuan, dia juga akan pilih-pilih. Wanita semacam Arisha yang tukang marah, suka suudzon mulu padanya, tentu bukan kriteria Hadwan. Ransel yang dia bawa, diletakkan di antara mereka berdua. Hingga Arisha tidak bisa menyentuh punggung Hadwan kalau saja lelaki itu mengerem dadakan. Sudah payah untuk Arisha duduk di boncengan. Dia minta maaf lebih dulu, kemudian memegang bahu Hadwan. Hih, hatinya semakin tidak tenang kalau seperti ini. "Udah?" tanya Hadwan. Arisha berdeham pelan. Dia membuang muka. "Ya udah." Ih, apaan? Arisha sampai memukul kepala Hadwan yang terhalang helm. Telinga Hadwan langsung nyelekit gimana gitu. "Buruan, katanya cepetan." "Katanya udah, ya udah turun!" Arisha kembali menarik napas sangat panjang, mengeluarkannya kasar. Apakah Hadwan ingin membuat Arisha masuk rumah sakit? "Najis banget, gue sama lo," ucap Arisha mengeluarkan perkataan andalan. Tanpa sadar, Hadwan menarik senyum sangat tipis sebelum dia menjalankan motor. Hadwan sengaja membawanya pelan. Takut Arisha protes lagi dan marah-marah di jalan. Lalu, banyak yang mengira kalau dia melakukan hal tidak senonoh pada Arisha. "Motor doang bagus, jalannya kayak siput." "Oh, lo mau ngebut?" gumam Hadwan semakin menarik pedal gas. Tubuh Arisha sampai ingin terjungkal ke belakang, kalau saja dia tidak dengan cepat memegang bahu Hadwan. "Najis banget, gue sama lo." ••• Tidak bisa dipungkiri kalau Arisha tersentuh kala Hadwan rela nyebrang jalan raya untuk membeli dimsum dan nyokelat—minuman cokelat dingin yang diberi toping beragam—padahal Arisha tidak bilang apa-apa. Hanya perutnya saja yang keroncongan sangat keras sampai Hadwan bisa mendengarnya. Perlu diketahui, kalau antrian di sini lumayan panjang. Banyak anak sekolah yang lagi membutuhkan jasa mereka. Jadi, Arisha duduk di barisan terakhir. Di luar ruangan dan lumayan jauh dari etalase, tempat menyerahkan file. "Makan!" suruh Hadwan cuek memberikan sumpit. Lelaki itu membuang muka saat Arisha menerimanya. Baru satu suapan, Arisha kembali menoleh pada Hadwan yang rela berdiri karena tempat duduk tadi hanya muat untuk satu orang. "Lo nggak mau?" Pertanyaan itu membuat ludah Hadwan meronta. Dia sebenarnya ingin, tetapi gengsi mau bilang. "Gengsi jangan dipelihara, nanti lo bisa mati karena gengsi mau minta." Arisha mencocolkan dimsum pada chilli oil, kemudian memberikannya pada Hadwan. Bukannya menerima sumpit itu, Hadwan menunduk, dan memakannya langsung. Heh, demi apa. Barusan, Arisha menyuapi lelaki songong ini!? Meskipun masih aneh, bingung, speechless, Arisha tetap kembali makan. Sesekali meminum nyokelat. Dan bodohnya, dia tetap menyuapi Hadwan. Salah Hadwan sendiri yang langsung nyosor. Di dimsum terakhir, Arisha menuangkan minuman nyokelat pada atas dimsum tersebut sampai toping cokelatnya ikut nyangkut di sana. Hadwan akan biasa saja kakau Arisha memakannya langsung, tetapi ini ditambah cabai lagi. Bagaimana rasanya, dimsum ditambah cokelat, bubuk cokelat, dan cabai? Pantas Arisha suka marah-marah tidak jelas. Orangnya pun sangat aneh seperti ini. Hey, Hadwan tidak sadar diri sekali. Meskipun sebenarnya, dia agak senang. Ada teman yang sama-sama aneh kalau sedang makan. Ya meskipun tidak se aneh Arisha. Memalingkan wajah, Hadwan tersenyum cerah saat mendapati Randi—anak pemilik Pikbi. Teman satu kelasnya juga, sebenarnya. "Mana flashdisk-nya!" tagih Hadwan. "Buat?" "Sini aja cepet. Gue mau cara lain, nunggu lo lama. Nggak nyari solusi." Sangat enak sekali kalau membicarakan kejelekan Arisha rupanya. Dia mengambil flashdisk dari dalam tas, memberikannya pada Hadwan. Dia bisa lihat kalau Hadwan menepuk pundak lelaki yang duduk di rumah sebelah ruko ini. Namun, dia tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. "Gue lagi kejar deadline. Mau print surat. Tahu sendiri, ekskul gue bentar lagi mau ada pengukuhan anggota baru. Gue bisa minta tolong, buat dahuluin file punya gue dulu?" Bisa dibilang, kalau Hadwan pakai jalur orang dalam. Berhubung Hadwan dalah teman satu kelasnya yang suka memberi contekan tiap ada tugas, Randi mengangguk. Dia masih sadar diri untuk balas budi. "Boleh. Sini file-nya. Lo tunggu aja di sini." Hadwan berdeham, dia melirik Arisha sembari tersenyum miring. Gadis itu hanya mengerutkan keningnya, masih bingung. Lima menit kemudian, Randi datang membawa beberapa lembar kertas. "Oke, thanks, Ran." "Sans. Asal tugas seni send aja. Gampang sama gue mah." Randi tersenyum sambil menaikan kedua alisnya. "Sip, nanti gue send." Hadwan kemudian pamit. Dia menggerakkan kertas yang diwadahi plastik kasar di hadapan Arisha. "Make it simple." Gadis itu hanya mendelik. "Songong amat." Padahal, Arisha sendiri pun bisa, kok. Lihat saja nanti. Mereka kembali ke rumah Khansa. Selama di perjalanan, diam membungkam keduanya. Lagipula, mereka mau membicarakan tentang apa? Tidak ada topik khusus yang membuat mereka merasakan satu frekuensi. Hadwan tiba-tiba mengerem motornya tepat di perempatan. Gila, ya, ini orang. Untung dia tidak benar-benar jatuh. Arisha kembali menarik napas. "Bawa motor yang bener. Modus, ya, lo?" Tanpa menimpali ucapan Arisha, Hadwan turun. Dia hanya bisa melihat setiap langkah lelaki itu. "Ayo, Nek!" Hadwan mengambil tangan nenek-nenek yang akan menyebrang jalan. Dia sudah melihatnya sedari tadi, tetapi ternyata tidak ada yang membantu nenek ini. Arisha yang melihat itu pun mendadak bergeming. Ternyata, Hadwan memiliki sikap positif juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN