Anak Ambis

1659 Kata
Arisha berjongkok di depan lobi, tali sepatunya ternyata tak terikat sempurna sampai membuat dia hampir terjatuh. Kepalanya menunduk, membenarkan tali hitam tersebut. Selang beberapa menit kemudian, dia mendengar seseorang yang mengaduh di belakangnya. Arian—lelaki yang tak sengaja hampir menubruk Arisha karena fokus melihat ponsel—hendak mundur, tetapi Arisha yang terlalu cepat berdiri membuat kepala mereka silih beradu. "Aw." Arisha meloncat ke depan, memegang kepala yang terasa perih. Kemudian, menoleh pada Arian yang bergeming di depannya. "So-sorry," kata Arian memasukkan ponsel ke saku celana. Arisha hanya mengangguk. Dia masih ingat betul lelaki ini. "Aku juga minta maaf, Kak." Arian berdeham lebih dulu, sebelum akhirnya mengangguk dan melenggang pergi. Kaki panjang itu menapaki setiap undakan anak tangga. Mata Arisha menelisik kertas yang kembali terjatuh. Apa ini punya lelaki tadi? Kenapa senang sekali menjatuhkan barang? Tangan Arisha mengambil lembar kertas itu, membaca setiap tulisan di sana. Sepertinya, ini tugas sekolah. Lalu, ada foto Arian sebagai lampiran. Oh, iya. Ini pasti tugas lamaran pekerjaan. Di bagian atasnya ada nama pendek Arian memakai kertas terpisah, hingga identitas yang biasanya ditulis di surat lamaran Arian terhalang. Kelas dua belas, ternyata. Takut kalau Arian mencarinya, Arisha dengan nekat mencari letak kelas Arian. Yang membuatnya kebingungan, terlalu banyak ruangan dan jalan yang berbelok. Sekolahnya bagai labirin bagi Arisha. Detik selanjutnya, Arisha menoleh ke dekat taman depan Wakasek. Di sana ada Arian yang mengobrol dengan kedua lelaki lainnya, kemudian lelaki itu membalikan tas dan mencari sesuatu sampai wajahnya terlihat panik. Ah, mungkin kertas ini. Dengan langkah tergesa, Arisha menghampiri mereka. "Permisi." Ketiga orang tersebut menoleh. Arisha mengigit bibir bawahnya saat ada lelaki yang terang-terangan memberikan tatapan terpesona. "Weh, adek manis. Ada apa?" tanya lelaki berambut gondrong. Itu Jagat. "Tugas Kak Arian tadi jatuh," ucap Arisha menyodorkan kertas tadi. Arian menghela napas lega, mengambilnya. "Makasih." "ARISHA!" Intan berteriak dari lorong. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan dan berlari ke arahnya, menepuk bahu Arisha sekali. Intan belum sadar kalau orang di hadapan mereka adalah kakak kelas yang sering cari ulah. Arian menoleh sejenak pada Arisha. Tatapan matanya berubah bingung. Sebenarnya, siapa gadis ini? Entah kenapa, Arian seperti pernah melihatnya. Dia terasa dekat, tapi tidak nyata. Namanya pun tidak asing di telinga Arian sendiri. "Eh, barusan gue ditinggal lagi, masaaaa. Jahat bener punya adek." Intan langsung berbagi kisah. Arisha hanya tersenyum tak enak pada ketiganya, kemudian pamit sambil memberi kode pada Intan lewat tangannya yang menusuk pinggang gadis itu agar cepat pergi. "Lain kali bisa, ya, jalan." Jagat memainkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar. "Minta nomor WA-nya sekalian," kata Zikri mendelik. Dia paling waras di antara Jagat dan Arian. Mata Intan langsung membola kaget, menatap Arisha memelas. Dia baru sadar, lho. Duh, kenapa dia bisa ceroboh seperti ini!? "Permisiiii." Arisha tersenyum tak enak, berjalan tergesa dengan Intan. Kepala keduanya menempel untuk saling menyalahkan diam-diam. Hal tersebut tak luput dari pandangan Arian yang terus menatapnya sampai hilang tertelan tembok. "Kenapa, lo, Yan?" tanya Zikri aneh. Ikut menoleh pada fokus Arian. Lelaki itu hanya menggeleng dan beranjak tanpa sepatah kata apapun, membuat Zikri dan Jagat saling pandang sejenak. Kemudian, menyusul Arian. "Lo, iiih. Arisha mah. Kok nggak bilang kalau itu kakak kelas?" "Lo yang nyerocos mulu. Kenapa jadi gue?" Intan merengut masam, kepala mereka kembali menjauh. Sampai akhirnya, keduanya menuruni anak tangga. Namun, Arisha lekas terdiam. Matanya kembali menelisik pada orang yang berdiri di ambang pintu kelas. "Ada Hadwan, males." Intan ikut berhenti, menoleh. Dia jadi bingung dengan mereka berdua. Bisa-bisanya saling benci berkelanjutan. Padahal, baru beberapa lama ini kenal. "Nggak papa kali. Ayooo. Takut disuruh kumpulan." Arisha hanya bisa menghela napas, pasrah ditarik oleh Intan menuju kelas. "Nah, ini orangnya!" kata Hadwan menunjuk Arisha. Tak pernah terbayang dalam hidupnya kalau Hadwan mau menunggu dia di sini. Dia pasti ada maunya. Gadis itu mengernyit, bertanya lewat gerakan dagu dengan songong. "Ketua OSIS mau pergi lomba bentar lagi, besoknya dispen. Lo kasih sekarang. Mumpung dia masih di sekretariat." Hadwan melipat kedua tangan depan d**a. Sekretariat OSIS di mana, masalahnya. "Lo dicari Khansa di lab kimia." Hadwan memberikan amanah dari temannya itu pada Intan. "Oh, ya udah. Gue duluan, Shaaa." Intan melambaikan tangan, melempar tas ke mejanya dan lekas berlari. Arisha hanya mampu mendengus, memejamkan mata. Dia sangat curiga kalau Hadwan akan menjebaknya lagi. Contohnya kemarin. Mengingat hari itu, dia sebenarnya punya hutang budi pada Hadwan. Lelaki ini membantu Arisha membawakan motor sampai bengkel yang ternyata, letaknya memang sejauh itu. Sedangkan dia hanya duduk di rumah Khansa, tinggal terima beres. "Ngapain natap gue kayak musuh gitu? Cepetan!" Hadwan melotot. Sangat persis seperti boss killer yang tidak disukai oleh karyawan. "Emang kita musuh. Lo kira kita temenan?" Arisha mengambil amplop untuk Tegar—ketua OSIS—kemudian menyimpan tas di kursi. "Sekretariat OSIS di sebelah mana?" Hadwan mengernyit. Arisha kurang update anaknya. Masa sudah lama sekolah di sini, tetapi masih belum tahu letak setiap ruangan? Sepertinya, Arisha perlu diajak keliling oleh Hadwan atau dia kasih tugas di luar kerjaannya supaya Arisha hapal. Ide bagus, Hadwan. "Lurus. Ada lab olahraga, belok. Di atas WC, itu sekretariat. Deket lapangan, Arisan. Gini doang lo nggak tahu." Sabar, sabar. Arisha mendelik, lalu beranjak. Dia meneliti setiap identitas ruangan yang menggantung. "Lab Olahraga, Lab olahraga—mana, sih, Ya Allah," gumamnya. Tanpa dia tahu, Hadwan mengintil dari belakang. Bilang saja kalau dia memang tidak ada kerjaan sampai bingung dan akhirnya lebih memilih mengawasi Arisha. Dia ketua yang baik, bukan? "Halo." "Astaghfirullah." Arisha sontak memundurkan langkah saat tiba-tiba ada lelaki yang muncul dari balik tembok. Itu lelaki yang tadi, ya ampun. Kok, dia jadi gemeteran, ya? Tanpa memedulikan Jagat yang terus bicara padanya, Arisha lekas berjalan. Namun, Jagat tetap ikut berjalan di sampingnya. "Lo udah punya pacar?" "Aku—" "Gimana, Sayang? Ketemu?" Tunggu. Hadwan? Pada saat Arisha menoleh, Hadwan tersenyum tulus. Senyum yang baru dia lihat pertama kali ini. Matanya melotot, tetapi Hadwan semakin gencar bicara kebohongan. "Lo?" Jagat menunjuk Hadwan. Lelaki itu mengangguk. Mengundang decakan kesal dari Jagat. Lelaki itu berdecih, perlahan mundur ke belakang. Hingga akhirnya menghilang. Arisha langsung berhenti. Mau bilang makasih atau marah. "Makasih," katanya ogah-ogahan. "Ikuti gue!" Meskipun tidak tahu, Hadwan akan ke mana, bodohnya dia tetap ikut. Mungkin saja, kalau Hadwan berubah sangaaat baik padanya, kan? Siapa yang tahu? "Naik. Lo yang kasih. Gue tunggu di sini." Hadwan duduk di undakan anak tangga. Tanpa menjawab apapun, Arisha bergegas naik ke ruangan sekretariat. Tegar hampir berangkat. Untungnya, dia tidak telat. "Tanda tangan di sini," katanya memberikan selembar kertas. Tegar mengambil bolpoin, mencoret namanya di sana. "Sorry, lupa bawa pulpennya tadi," kata Arisha merasa bersalah. Tegar mengangguk sambil memberikan kertas itu. "Santai-santai. Gue juga ada, kok." Seandainya, Hadwan sama dengan Tegar. Sabaaaar. Pengertiaaaan. Enak, sepertinya kalau kerja di bawah Tegar. Arisha lekas pamit, memberitahu Hadwan kalau dia sudah memberikannya. Keduanya mulai berjalan berdampingan dengan jarak lumayan jauh di lorong. "Cepat jalannya. Bentar lagi masuk. Gue nggak mau telat hanya karena nganterin lo doang." Padahal, guru pun pasti memaklumi. Menimbang bahwa jam pelajaran pertama di kelas Hadwan adalah pembinanya sendiri. "Sekalinya baik, ngoceh mulu." "Gue masih punya telinga yang normal. Bisikan lo kegedean." Ih! ••• Pertemuannya dengan Hadwan bagai telah direncanakan. Demi apapun, dia bertemu lagi dengan Hadwan di kelas. Bukan orangnya sebenarnya. Hanya lembar jawaban Hadwan saja. "Tolong diperiksa yang kelas IPS, ya. Nanti hasilnya dibagi 3." Itu yang guru Matematika Wajib bilang sebelum akhirnya, ketua kelas membagikan setiap lembar. Dan sialnya, dia dapat milik Hadwan. Untung, lho, dia jujur. Kalau tidak, mungkin jawaban Hadwan akan sengaja dia salahkan. Atau akan salah meskipun Arisha jujur? Memang, Hadwan sepandai apa sebenarnya? Kelihatannya saja tidak pernah serius, hanya bosy doang bisanya. Lho? Nilai Hadwan kok gede? "Hadwan," panggil Pak Cahya. "Punya Hadwan, berapa? Siapa yang cek?" Arisha mengangkat tangan. "Seratus, Pak." "Ah, udah ketebak." Dia jadi semakin penasaran. Hadwan ranking berapa, sih, sebenarnya? Cukup lama, Arisha bergelut dengan pikirannya sendiri. Dan dia menyerah sampai bertanya langsung pada Intan. "Hadwan pinter?" Intan lekas menoleh. "Pinter. Dia juara umum di angkatan kita." What? Rasanya sangat tidak percaya. Si Hadwan, lelaki songong yang kerjaannya marah, ternyata se pandai itu? Mengagetkan sekali. "Jam bapak sudah habis. Silakan istirahat. Terima kasih. Assalamualaikum." Pak Cahya keluar setelah semua murid menjawab salam. Akhirnya, dia bisa makan. Setelah menyerahkan kertas tadi pada Tian yang berdiri di depan mejanya sambil merapikan kertas itu, Arisha mengambil air mineral dalam tas. "Sekalian kasih ke kelas IPS 1 satu dong, Sha. Gue kebelet. Sorry." Belum juga dia membalas, Tian sudah kabur. Dia? Dia ke kelas Hadwan? Bagaimana kalau mereka bertemu? "Lo aja. Gue duluan ke kantin. Ya?" Wajah Arisha memelas. Dan Intan sungguh tidak kasihan sama sekali. Gadis itu malah mengambil tumpukan kertas, mengapit tangannya menuju jajaran kelas IPS—di belakang sekretariat English Club. Intan memberi salam. Atensi penghuni kelas langsung berubah pada mereka berdua. Dia bisa melihat kalau Hadwan tengah menulis di buku. Di depannya ada buku Sosiologi, sepertinya. Padahal, temannya lain lebih memilih makan. Ternyata Hadwan anak ambis. Bagaimanapun caranya, dia harus mengalahkan Hadwan. Menggeser peringkat lelaki itu. Lihat saja, Hadwan. Anak baru ini akan mengubah peringkatmu di sekolah ini. "Ini nilai ulangan dari Pak Cahya, udah diperiksa." "Oh, ya. Bentar." Hadwan, selaku ketua kelas, berdiri setelah menutup bukunya. Mengambil kertas dari Intan. Lelaki itu beralih menatap Arisha. "Kesambet apa, lo, mau ke sini?" tanyanya sinis. Hih, mukanya sangat menyebalkan. Dia menginjak kaki Hadwan sekali, membuatnya mengaduh tertahan beberapa detik kemudian. "Ck! Sekali aja akur, bisa nggak, sih?" Intan berkacak pinggang. Mendengus sebal. "Gue? Gue harus akur sama dia?" Arisha menunjuk muka Hadwan, "ogah banget." "Gue juga nggak mau. Lo pikir gue mau apa, hah?" tekan Hadwan merasa tersentil. "Tanpa sadar, kalian teh udah mendeklarasikan persetujuan boleh jatuh cinta." Terdiam sejenak, keduanya saling pandang, melotot pada Intan. Kok jadi seram seperti ini, ya? Bulu kuduk Intan berhasil meremang dibuatnya. "Cinta sama benci itu udah kayak satu helai rambut. Sama-sama tipis. Gue yakin banget, ini mah. Suatu saat, kalian bakal timbul perbenihan rasa suka!" "DIH, AMIT-AMIT, YA ALLAH." Keduanya berteriak bersamaan. "Lo ngapain niru gue!?" kata Hadwan melotot. "Lo yang niru. Kok jadi gue!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN