"Mpok, kasbon dulu bisa?" Arisha meringis saat tidak menemukan selembar uang sama sekali di saku celana olahraganya. Dia lupa malah meninggalkan uang di saku seragam. Lagipula tadi dia buru-buru memasukkan pakaian ke loker karena takut sudah ada guru, menimbang kalau dia ditahan Hadwan pun cukup lama.
"Ini aja, Mpok."
Selembar uang lima puluh ribu tersodor ke hadapan Arisha, yang langsung diambil oleh perempuan dengan baju serba hijau tua itu. Arisha agak lemot sedikit. Gadis itu menoleh, mendapati Hadwan yang tersenyum menatapnya. Beberapa menit dia terpaku oleh senyum lelaki itu.
Sampai suara penjual tadi bersuara, "Ini, kembaliannya." Arisha langsung membuang muka dan berdeham beberapa kali.
"Nanti gue ganti!" ucapnya lekas pergi dari hadapan Hadwan, kemudian menghampiri Babang dan Intan meja paling belakang. Lelaki itu tentu memilih menyusul Arisha dan duduk di depannya.
"Nggak usah diganti."
Arisha memilih tidak menimpali dan malah menoleh pada Babang. Sepertinya, sepupunya ini pasti sedang bawa uang tidak sedikit.
"Lo punya dua puluh ribu nggak, Bang?"
Babang memang punya, tapi setelah melihat Hadwan yang memberi isyarat agar pura-pura tidak punya, Babang menggeleng.
"Lo jangan kehasut sama dia! Punya atau nggak?" tanya Arisha kembali dengan tegas.
"Nggak. Ketinggalan di baju."
Arisha berdecak karenanya, lalu melihat Intan. Gadis itu malah menggeleng sebelum Arisha bertanya apa-apa. Hadwan tersenyum puas melihat itu.
"Apa gue bilang? Nggak usah diganti, Arisan. Sama gue ini. Gue kan calon partner lo lagi di kepengurusan English Club, terus lagi jadi partner juga di event lomba lintas alam. Udah sepatutnya, gue nolong lo tanpa pamrih."
Ingin sekali Arisha menyumpal mulut Hadwan dengan cabe. Alasan Hadwan bersikukuh tidak mau uangnya diganti itu pasti ada maunya di pekerjaan nanti.
"Gue ke kelas duluan." Arisha memilih menenteng cup berisi cokelat ice itu, lalu menjauh dari mereka bertiga.
Arisha benar-benar menjauh. Dan rasanya sangat berbeda. Hey, sudah berapa Minggu dia dan Arisha sama-sama dingin? Ditambah saat Hadwan ingin meyakinkan gadis itu pun, Arisha masih menjauhinya. Sungguh sangat lama untuk membujuk Arisha.
"Gue nyusul dia dulu."
"Main yang mulus, Bro."
Hadwan mengangkat jempol mendengar ucapan Babang barusan. Lalu, berlari kecil sampai akhirnya berjalan di samping Arisha.
"Arisan."
Arisha tidak menjawab sama sekali selain mempercepat langkah kakinya. Dia sedang tidak ingin bicara dengan Hadwan lagi.
"Ar?"
"Arisan."
"Saaan."
Arisha berdecak mendengar beberapa panggilan berbeda dari Hadwan itu. Merasa tempat ini tidak terlalu banyak orang, Arisha berhenti dan menoleh dengan tajam.
"Mau lo apa lagi, sih, Hadwan!?" Tangan Arisha mengepal kuat sampai beberapa tetes minuman itu keluar sedikit.
"Ngejar lo, sampai lo maafin gue dan yakin, kalau gue ... nggak sama kayak Arian!" kata Hadwan terlihat sungguh-sungguh.
"Wan, please, yaaa. Cukup! Gue udah maafin lo dari awal lo minta maaf. Stop kejar gue. Gue risih lihatnya." Wajah Arisha kelihatan merah padam. Huh, kenapa gadis ini selalu berbanding terbalik dengan wanita lainnya? Contohnya Anida. Perasaan, membujuk Anida kalau lagi marah itu, gampang banget. Lah, Arisha? Susahnya minta ampun.
Sudah dia jelaskan beberapa dengan bukti pula, Arisha tetap keras kepala. Meskipun mulutnya bilang iya, tapi sikap Arisha tidak menunjukkannya. Arisha tidak mau berdekatan dengannya lagi. Walau sekadar makan bareng seperti biasa di kantin.
"Oke, omongan gue ... gue ubah." Hadwan maju sedikit, "gue bakal ngejar lo, sampai lo mau terima gue lagi kayak dulu. Gue mau cerita sama lo, Arisha. Gue pengen beli es krim campur yogurt lagi sama lo, nyoba nyampur makanan yang aneh banget, makan lemon, pergi ke danau, hujan-hujanan, makan bareng, olahraga bareng, sampai lihat lo salah tingkah terus. Gue pengen ngelakuin itu lagi bareng-bareng. Lo ngerti nggak, sih?"
"Nggak." Arisha mengangkat tangannya, seperti menyuruh Hadwan untuk berhenti. "Dan cukup! Lo jangan berharap, kalau semuanya bakal keulang. Vibesnya pasti beda."
"Iya, beda." Hadwan berhenti sejenak. "Kalau lo terpaksa ngelakuinnya."
"Nggak, semuanya akan tetap beda. Tiap sama lo, gue pasti langsung inget sama Arian. Di sisi lain gue nyaman tiap sama lo, tapi gue suka sakit hati tiap inget kalau Arian itu kakak lo. Dan bisa jadi, sebentar lagi pun ... lo bakal melakukan hal yang serupa. Gue takut!"
Napas Arisha naik turun tidak beraturan. Hadwan terdiam bisu mendengarnya. Sampai Arisha berlalu pergi pun, lelaki itu masih berpikir dan menganga kaget.
Tadi, Arisha bilang apa?
Nyaman? Dan apa tadi? Hadwan semakin tenggelam dalam spekulasinya sendiri atas ucapan Arisha barusan.
Hadwan mau terbang ke awan! Sayap, mana sayap. Dia ingin terbang sekarang juga dan tidak mau kembali lagi.
Di satu sisi, Arisha tengah menuju loker dan ingin ganti baju. Namun, langkahnya tiba-tiba harus tertahan oleh seorang laki-laki yang menghadangnya tanpa aba-aba. Kalau saja Arisha tidak segera menahan keseimbangannya, bisa jadi dia jatuh lagi untuk keempat kalinya hari ini.
"Gue suka sama lo."
Hah?
Arisha mendongak. Matanya semakin membola melihat Gino yang berdiri kaku. Karena biar tidak canggung, Arisha terkekeh pelan dibuatnya.
"Oh, makasih, Gino."
"Gue serius."
"Gue juga serius."
Hadwan yang mau ke loker pula mendadak diam lebih dulu di dekat dinding belakang kelas. Dia yang mengambil jalan berbeda dari Arisha membuat dia bisa melihat wajah keduanya dengan jelas.
"Ya, iya, sih. Tapi ... gimana? Gue suka sama lo, terus gimana? Ya ... apa, yaaa." Gino terkekeh, menggaruk kepalanya yang mendadak menjadi gatal. "Gue cuma pengen tahu, lo suka balik apa nggak. Biar nggak ngenes banget lah gitu."
"Gue juga suka sama lo."
"Hah, apa!?" tanya Gino kaget bukan main. Perasaan dia terbalas?
Hadwan memutar bola mata mendengarnya. Binar mata Arisha terasa nyata di penglihatan Hadwan. Dengan langkah lebar, lelaki itu loncat dari tempatnya sampai berdiri di tengah-tengah Arisha dan Gino. Lalu, menatap Arisha dengan senyum miring.
Sebelum akhirnya, kembali maju ke dalam ruangan loker.
Arisha kaget melihat aksi lelaki itu. Sejak kapan, Hadwan ada di sana?
"Kurang jelas, ya?"
"Nggak. Jadi, hah maksudnya gimana?"
Bohong kalau ternyata Hadwan hanya membawa seragam. Dia malah menguping di balik pintu yang terbuka lebar itu.
"Gini, Gin. Gue suka sama lo. Ya kali gue benci sama lo. Gue suka, ya ... suka sebagai temen. Lo tuh ramah, agak pelit, tapi gue suka. Ya kayak sama yang lainnya."
Harapan Gino langsung patah sudah mendengarnya. Dia kira, suka lebih. Ternyata hanya sebatas teman doang.
"Tapi maksud gue beda."
"Iya, makasih. Tapi maaf. Gue nggak bisa ngelakuin apa-apa untuk sekarang. Mencoba balas perasaan lo dan pacaran? Tetap nggak bisa, Gin." Arisha menarik napas. Dia sekarang mulai serius. "Keluarga gue punya komitmen; jangan pernah pacaran. Kalau bisa langsung nikah."
"Ya udah, kalau gitu nikah."
"Hah? Ngadi-ngadi ini anak."
"Maksudnya nanti. Nggak sekarang juga!"
Arisha mencebik, "Terserah. Tapi gue nggak bisa janji, lho, kalau diterima. Bisa aja gue tolak. Lagipula, perasaan lo pasti beda lah nanti. Cewek tuh banyak. Perjalanan lo juga masih panjang, pasti makin ketemu banyak orang-orang yang lebih dari gue."
"Dan gue makin suka."
"Terserah lo deh."
Arisha tertawa kecil, menggelengkan kepala dan bergegas mengambil seragam di loker. Namun, tunggu. Dasi dia ke mana lagi!?
"Nggak enak, ya, jadi gue—banyak saingan!" Hadwan mendengus seraya mendekat. "Nyari apa?"
Hadwan bertanya saat melihat Arisha yang panik.
"Nyari apa, hey?" Sejak kapan, Hadwan bisa berlaku lembut pada perempuan!? Biasanya pula kasar.
"Arisha. Lo oke?"
Arisha menutup loker dengan emosi. Lalu menoleh pada Hadwan. "Nggak!"
Saat gadis itu kembali berjalan keluar ruangan, Hadwan masih tetap setia mengikutinya dari samping.
"Boleh gue tebak?" Hadwan tidak mendapat respon apa-apa dari orang di sampingnya itu, "Dasi lo hilang lagi?"
Arisha berdeham kecil.
"Ya udah, pake punya gue." Hadwan menyodorkan dasinya yang tergantung bebas di leher dan memang belum dia pakai.
"Arisha." Hadwan kembali memanggil.
"Gue nggak papa banget kalau lo yang pake. Daripada dihukum, kan?"
Arisha tetap tidak menimpali tawaran Hadwan sama sekali. Huh, gadis ini kenapa sangat kepala batu, sih!?
"Intinya lo pake!" Hadwan sengaja menggantungkan dasi itu ke leher Arisha sampai gadis itu memekik beberapa saat dan mengundang anak kelasnya yang sedang berjalan ingin ke loker itu pun menoleh kompak.
"Wan!"
"Nggak, lo pake."
"Gue nggak mau pake barang milik lo, kapanpun kondisinya!" tegas Arisha melempar dasi itu ke d**a Hadwan. Membuat Hadwan terdiam lama di tempatnya, merasa ingin menyerah.
•
"Nih."
Babang menyimpan dasi di atas meja Arisha yang sedang menulis catatan di bor. Ah, iya, untungnya tadi guru biologi itu tidak melihat kalau Arisha tidak memakai dasi. Kalau tahu, huh dia pasti sudah dihukum dan dijemur di lapangan. Atau membersihkan kamar mandi.
"Dari siapaaaa?"
Jangan-jangan, dasi itu dari Hadwan?
"Pake aja lah, Ar. Nggak penting dasi ini dari siapa. Yang penting lo nggak kena hukum," jelas Babang seraya berlalu dari depan meja Arisha karena melihat guru Biologi yang sudah kembali.
Arisha menoleh dan bertanya sangat pelan, "Hadwan?"
Namun, Babang malah menggeleng dan menyuruhnya membalikan dasi itu dengan isyarat: membalikan dasi miliknya. Arisha menurut, lalu melihat nama Athalla di sana. Tulisannya terlihat cukup lama.
"Dasinya pakai, ya."
"Iya, Bu."
Daripada kena marah, gadis itu memilih menggunakannya. Lagipula, ini dasi milik Babang.
"Udah?"
Arisha mengangguk.
"Tolong bawa buku biologi jilid 3 warna hijau, ya, di perpustakaan. Hitung aja, untuk satu bangku satu, Arisha."
Ternyata mau nyuruh.
"Baik, Bu."
Arisha mengangguk kecil, berjalan ke perpustakaan diikuti Intan katena pasti akan butuh bantuan. Masalahnya, buku paket biologi itu suka berat.
Selepas membawa buku, Intan tiba-tiba menariknya ke ujung jendela. Mereka yang berada di lantai dua bisa melihat dengan jelas lelaki yang tengah berjemur di depan tiang bendera itu.
"Hadwan!"
"Hm."
Lelaki itu tidak pakai dasi. Pasti dihukum gara-gara itu. Bukannya, dasi Hadwan sudah dia lempar ke lelaki itu tadi!? Lalu, ke mana dasi Hadwan?
Padahal, dasi Hadwan sengaja dipakai oleh Babang untuk menggantikan dasi lelaki itu yang dipakai oleh Arisha.