Dipaksa

1513 Kata
Arisha menubruk pundak Hadwan cukup keras agar bisa lolos dari lelaki itu. Membuat Hadwan memanggil namanya sekali dan hanya berani melihat punggung Arisha yang semakin menghilang. Lelaki itu hanya memejamkan mata sesaat, lalu memilih pergi ke kelasnya sebelum jam masuk berdering. Sementara langkah Arisha mulai menuju kelas dengan tidak ramah. Sampai Intan dan Novi yang sedang diskusi tugas bahasa Indonesia itu pun mendadak silih pandang saat Arisha membanting tasnya ke kursi, lalu berjalan ke belakang menghampiri Babang. "Heh, Athalla!" Babang mendongak mendengar itu, melihat Arisha yang kalau digambarkan, pasti ada tanduknya. Dia memang sedang duduk di kursi paling belakang dengan Fikri. Kalau Arisha sudah memanggil namanya aslinya, kejadian gawat akan segera tadi. "Fik, bisa pindah dulu nggak?" Fikri menelan Saliva, mengangguk takut dan lekas berlari ke bangkunya kembali. "Lo kan yang nyuruh Hadwan?" tanya Arisha pelan dengan menunjuk Babang sangat emosi sampai mukanya merah padam. Biasanya, Babang yang suka punya ide gila untuk menyuruh lelaki itu. "Nyuruh apa?" Babang benar-benar tidak tahu maksud Arisha. Dia hanya menyuruh Hadwan maju doang, tidak tahu apa-apa lagi setelah itu. "Jangan so b**o, deh, lo. Lo kasih solusi ke Hadwan buat ganggu gue, kan?" Arisha menarik napas, memukul tangan Babang dengan buku paket merah tua di atas meja itu. Sepupunya ini kenapa selalu terlihat menjadi penggemar nomor satu dengan hubungan orang lain!? "Hah? Aaaaw! Nggak, sumpah!" Babang meringis, mengusap lengannya beberapa kali. "Fitnah aja, lo. Emang kenapa, hah? Gue mulu yang disangkut pautkan. Nggak semua langkah Hadwan, pasti dari gue. Biasanya juga lo!" Dih, memang sejak kapan dia sering memberi solusi pada Hadwan? Jawabannya pasti sejak lama, jikalau Babang mendengar pertanyaan dalam hati itu. "Bohong! Dia ngejar-ngejar gue terus. Gila! Selain lo, siapa lagi yang suka kasih ide nggak waras?" Arisha mendengus, mencoba mengatur napasnya yang memburu. "Ya cara itu masih waras kali, b**o. Lo yang nggak waras. Wajar lah cowok ngejar cewek." "Tahu, ah. Lo nggak ngerti gue!" "Idih, sialan." Arisha lagi-lagi dibuat mendengus karenanya, lalu kembali lagi ke bangkunya saat Intan mengajak ganti baju. Hari ini memang jadwalnya olahraga. Ah, iyaaa. Mana jam olahraganya sama dengan Hadwan. Sampai setelah ganti baju pun, wujud Hadwan langsung ada di tangga menuju kamar mandi, membuat Arisha mundur kembali dan maju sedikit ke depan, pura-pura berkaca dan membenarkan baju. "Si Arisha teh lagi kenapa, sih, dari tadi? Abis lihat setan?" tanya Intan seraya melipat baju seragamnya. Sebentar lagi mereka akan ke loker dan ... ah, harus melewati Hadwan! Lelaki itu entah memang sedang menunggunya atau menunggu teman-teman lelaki itu di ruangan sebelah. "Lebih parah dari setan!" jawab Arisha tegas. "Mantan dong?" Ayang yang baru keluar bilik pun menyahut. "Hey, mantan juga manusia yang sempat membahagiakan kita. Mantan itu pernah jadi tukang ojeg gratis untuk kita. Jangan menjelekan mantan kayak gitu, ah. Nggak baik. Apalagi kan mantan juga—" Omongan Ela itu harus terhenti dengan Ayang yang menaruh telunjuk di bibirnya. "Stop, Ela. Gue nggak mau mendengar lo bahas tentang mantan yang baik-baiknya. Nanti gue makin susah move on!" Ayang mendengus, melihat kaca dan memakai bedak tabur kembali. "Berarti, kalau yang ngejelekin mantan itu sebenarnya ... belum bisa move on?" tanya Arisha polos. Dia tidak punya mantan. Ya gimana rasanya coba? "Nah, right!" Intan akhirnya menyahut kembali. "Yuk." Novi keluar dari bilik dan langsung menggaet Ela untuk lekas keluar dan mengajak mereka agar bisa lebih cepat ke lapangan. Sekarang, dites bola volley lagi. Demi apapun, Arisha sekarang bingung mau bagaimana. Ya mungkin, wajah Hadwan atau Arian akan menjadi sasarannya kali ini. "Kalian duluan, deh," kata Arisha bimbang. Namun, Intan malah berdecak dan menariknya keluar dengan cepat sampai Hadwan yang masih berdiri di sana pun menoleh gesit ke arah mereka. Apa mungkin kalau Intan dan Hadwan kerja sama!? Menimbang kalau Intan dan Babang itu sebelas dua belas sifatnya. "Oh, pantes balik lagi." Ayang berkata lumayan keras, kemudian sengaja menarik Arisha yang kian memberontak sampai di hadapan Hadwan. "Mau ngobrol, ya?" Ayang! Ingin sekali dia mendorong gadis itu ke rumput. "Iya, makasih." "Yo, santai." Ayang menaikkan kedua alisnya, memberi kode pada teman-temannya yang masih di bawah agar cepat pergi, membuat mereka berlari kecil meninggalkan Arisha. Gadis itu memekik dan ingin menyusul, tetapi Ayang menarik tangannya kembali sampai hampir menubruk Hadwan. "Yang!" "Apa?" sahut Hadwan yang sungguh ingin membuat Arisha menonjok mukanya. Dia bukan mau manggil Hadwan. Tapi, kok ... dia mendadak ehem, kangen dengan kepercayaan tinggi lelaki itu? Ah, sudahlah. "Apa, sih? Gue mau ke loker!" Arisha menatap Hadwan tajam, sebelum akhirnya memilih membuang muka. "Cuma sebentar, Arisan." "Nggak." Arisha melepas paksa tangannya yang Ayang apit erat, sampai gadis itu hampir mau limbung ke bawah saat Arisha menariknya. Sampai kedua gadis tersebut harus silih tarik menarik. Ayang berada di kubu Hadwan, sementara dirinya ingin sekali pergi dari hadapan lelaki itu. Hey, kenapa orang-orang sangat mendukung Hadwan!? "Arishaaaa. Kapan selesainya, kalau kabur terus?" Oh, ternyata Ayang juga tahu. Ya iya lah. Bahkan, gosip mengenai Hadwan dan Arisha yang tidak pernah ribut itu lagi pun sampai meluas ke penjuru sekolah, sampai muncul beberapa teori kenapa keduanya kentara sekali silih menjauh. Kadang, Arisha merasa jadi artis. "Selesai apanya, sih, Ayang?" Arisha kembali menarik tangannya sampai Ayang kebawa maju. "Ih, ayo ngobrol dulu. Gue udah ter-Hasha Hasha, nih!" "Apa, sih, ah. Gue nggak suka." Arisha yang menarik tangannya kuat dengan Ayang yang sedang kehilangan tenaga, membuat Arisha terdorong sendirian ke lantai. Huh, sudah berapa kali dia jatuh? Bahkan tulang ekornya ini terasa mau patah saja rasanya. "Duh, Aaar." Ayang menarik Arisha untuk bangkit. Gadis itu berdecak, melihat ke samping—pada Hadwan yang mengulurkan tangan. Melihat tangan Hadwan pun, Ayang kembali melepaskan tangannya membuat Arisha hampir jatuh lagi kalau saja tangan Hadwan tidak sangat gesit menggantikannya. Selepas berdiri sempurna, Arisha mengusap tangannya seolah telah memegang barang yang kotor. "Makasihnya mana?" tagih Hadwan tersenyum geli. Huh, baru kali ini dia melihat lagi senyum itu. Meskipun ... agak menginginkannya, tapi ya berasa aneh. Dia bingung dengan perasaannya ini. Oke, dia yang menang rumit. Dia yang memperumit sendiri. "MAKASIH!" Selepas mengatakan itu, Arisha berlalu dari sana tanpa berkata apapun lagi. Hadwan yang hendak menyusulnya pun, Ayang tahan. "Nanti juga dia pasti nengok, Hadwan." Oke, kita lihat. Satu menit berlalu sampai Arisha berjalan cukup jauh, tapi kok gadis itu tidak menengok!? Sampai Arisha berbelok, Hadwan menghela napas kecewa. Arisha tidak sama dengan wanita lainnya. "Nanti aja deh di lapangan, Had. Kasihan dia, takut telat kali." Hadwan memang akan melakukan itu. Dan benar saja, saat Arisha berusaha latihan karena ternyata gurunya malah tidak masuk, Hadwan berdiri di sampingnya dan memberi solusi biar masuk seperti terakhir kali Arisha latihan. Melihat Hadwan, bukannya makin mau latihan karena diberi saran, dia malah berpindah tempat ke samping Babang dan menyuruh lelaki itu yang mengajarkannya. "Lo kelihatan banget lagi menghindar dari itu cowok!" bisik Babang sambil memukul bola yang langsung Fikri ambil di ujung sana. "Bodo amat." Hadwan tidak penat mendekati Arisha. Bahkan, lelaki itu ikut berpindah tempat. "Mau lo apa, sih, Wan!?" Arisha yang kepalang kesal melempar bola ke Babang dan mengubah arah ke hadapan Hadwan. "Setelah buat gue tercengang, lo mau apa lagi!? Minta maaf, ngulang lagi, terus aja mengulang siklus itu sampai ribuan kali?" Tangan gadis itu berkacak pinggang, menatap Hadwan tajam yang terlihat lemah. Mata lelaki itu tidak bisa berbohong. Namun, dia tidak boleh kena manipulasi lagi. "Apa? Khilaf? Kata khilaf udah jadi pembenaran, ya, sekarang. Udah beda arti lagi." Upi berdeham beberapa kali. Dia mau main volley dengan yang lain dan butuh tempat, tapi malah terhalang oleh perbucinan mereka berdua. "Permisi. Untuk urusan rumah tangga bisa diselesaikan di pinggir lapangan atau di kantin, biar seger, yaaa. Nggak perlu pake otot gitu, dong. Sambil minum sama makan-makan, kan enak. Ya, nggak?" Arisha melirik temannya yang lain, terlihat lagi mau main bola. Dengan malunya, dia menjauh ke pinggi lapangan dan meninggalkan Hadwan yang melayangkan protes pada Upi dan yang lain. "Ar?" "Gue nggak mau dengerin lo!" Arisha duduk di belakang lapangan bersama para perempuan. Tentu Hadwan tetap mengikutinya. Dan itu, sungguh membuat dia jengkel dan malu bukan kepalang. Bahkan, mereka seakan sengaja menjauhinya agar bisa bicara dengan tenang bersama lelaki itu. Namun, dia tidak mau. "Gue harus gimana lagi?" tanyanya terlihat frustasi. "Datang ke rumah lo terus nyamperin ibu?" Idih, ibu. Arisha langsung menoleh mendengarnya. "Nggak perlu dan jangan panggil ibu gue dengan sebutan ibu. Sejak kapan ibu gue jadi ibu lo!?" Setidaknya ada kemajuan. Arisha mau lagi, kan, ngomong untuk menjawab ucapannya!? Coba tadi, boro-boro ngomong. Menatap dia pun seakan tidak mau. Sepertinya tidak ada cara lain untuk membujuk Arisha selain membuatnya kesal dengan hal kecil sekalipun. "Kan ibu lo, itu calon mertua gue. Jadi, wajar kalau gue panggil ibu!" Arisha melepaskan sepatu biru putihnya itu, lalu memukul kaki Hadwan lumayan keras. Telinga dia mendadak geli mendengarnya. Apalagi tubuh dia berasa kesetrum dadakan. "Jangan panggil nyokap gue ibu!" "Ya udah. Terus lo ngapain manggil nyokap gue mama? Selain ... emang udah dekat dan bentar lagi—" "Buset, bentar lagi apa?" Ternyata mereka mendengarkan. Ih, dia mau pulang. Arisha malu. "Eh, masuk akal nggak, sih, kalau sebenarnya ibu Arisha dan nyokap gue udah merencanakan perjodohan!?" tanya Hadwan. Tentu mereka akan langsung bilang iya. "Bisa jadi tuh, kayaknya seru." "Seru dari Hongkong."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN