Selain menyendiri, satu hal suasana kesukaan Arisha adalah hujan. Di saat yang lain memilih untuk berteduh lebih dulu di tepian jalanan, gadis itu nekat menerobos hujan dan berlari kecil ke arah jembatan kayu dengan kawasan yang sangat sepi. Tangan gadis itu terlentang sembari memejamkan mata, menikmati setiap desir angin yang menyapa dan air yang seolah mengalir di wajahnya. Jembatan ini tampak kokoh. Jadi, dia tidak perlu khawatir kalau tiba-tiba terjatuh. Lagipula di bawahnya itu bukan air, tapi tanah. Posisinya pun tidak terlalu tinggi.
Namun, kalau sampai jatuh ya kayaknya lumayan sakit juga.
"Maaf."
Hah?
Tidak mungkin. Merasa kalau dirinya sedang berhalusinasi, Arisha tetap memilih diam. Namun, lagi-lagi suara itu mengusik pendengarannya kembali.
"Perlu gue sebut kalau telinga lo emang belum dibersihin?"
Gadis itu membuka matanya perlahan, menoleh lambat pada orang di sampingnya. Jarak lelaki itu lumayan jauh, Arisha tidak perlu mendorongnya sampai terjun ke bawah. Itu agak kriminal, tapi dia suka melakukannya jika saja sedang tidak berada dalam posisi seperti ini.
Mata Arisha memicing setelahnya, melihat Hadwan tidak suka. Ngapain ini cowok di sini!? Hadwan mengikutinya!?
"Santai." Hadwan menghela napas. Kedua manusia itu sudah sama-sama basah kuyup. "Gue cuma mau minta maaf."
"Arisan?"
Arisha tidak menjawab sama sekali. Untuk apa?
"Mungkin lo takut setelah mendengar itu, lo takut pas gue bentak, dan lo ikutan nggak suka sama orang yang satu darah sama Arian ini."
"Itu lo tahu!" Ingin sekali Arisha bilang seperti itu. Memangnya tidak sakit hati apa, saat Hadwan membentaknya di depan orang lain!? Boro-boro itu, meskipun hanya merek berdua pun, Arisha tidak suka mendengarnya. Kalau teriak, ya oke. Lah, ini?
"Oke, maaf. Gue nyesel."
"Nggak, Wan." Hadwan langsung menoleh. Maksudnya, Arisha menyangkal apa? Atau tidak mau memaafkannya?
"Nggak ampuh penyesalan lo itu."
Arisha perlahan menjauh dari jembatan kembali dengan langkah lebar. Namun, lagi-lagi harus tertahan oleh Hadwan yang membuat dia membeku di tempat.
"Gue nggak sama kayak Arian. Kita emang adik kakak, tapi gue nggak pernah kayak gitu sama cewek."
Hadwan berjalan mendekati Arisha sampai berdiri di depan gadis itu. "Kalau iya, gue sama kayak dia, mungkin lo udah habis sama gue pada saat gue ajak ke gedung waktu itu. Ah, atau pas kita kerja bareng saat jadi Humas dan kerjaan lain yang dilakuin berdua. Kalau emang bener gue pemikir pendek, lo beneran udah terpuruk banget sekarang. Tapi nyatanya?"
Hadwan sengaja menggantungkan ucapannya cukup lama. Sampai melihat tatapan jengah Arisha, lelaki itu kembali melanjutkan penjelasannya itu.
"Lo baik-baik aja sampai sekarang. Gue nggak melakukan pelecehan apapun, apalagi sampai rusak diri lo, Arisha."
Tidak, Hadwan sudah memporak-porandakan dirinya.
"Lo masih nggak percaya?"
Arisha mengangguk tegas. "Gue nggak akan percaya."
"Kenapa saat tahu keburukan kakak gue, malah gue yang kena? Oh, ini arti dari seribu kebaikan hilang karena satu kesalahan?"
Tangan Hadwan terlipat di depan d**a. "Mau lo apa biar bisa maafin gue? Gue pengen hidup tenang tanpa merasa bersalah lagi."
"Gue bener-bener nyesel pas bentak lo waktu itu. Meskipun belum percaya kalau gue beda dengan Arian, setidaknya maafin kesalahan gue yang bentak lo, Arisan."
Jika tidak termasarkan oleh air hujan, mungkin Arisha bisa melihat mata Hadwan yang berkaca-kaca, penuh penyesalan.
"Oke."
•
Jika ada penjelasan, di situ lah sesi galau Arisha juga dimulai. Dan balkon kamar selalu menjadi pelarian gadis itu setiap malam untuk menyapa angin dan gelapnya langit. Begitu menoleh ke kamarnya, tidak ada lagi Intan di sana.
Ya meskipun, ternyata gadis itu pindah rumah ke sebelah Babang, rasanya masih berbeda. Aura Intan sekarang pun beda. Dia kelihatan lebih bahagia. Akhirnya, gadis itu terlepas dari keluarga tiri dan kembali ke keluarga kandung.
"Sha?"
"Iya, Bu?" Arisha menoleh pada Lastri yang muncul di tengah pintu. Pintu kamarnya memang tidak ditutup.
Lastri maju dan mendekati Arisha, sampai berdiri di sampingnya.
"Udah berapa momen yang ibu lewatin? Kamu udah punya kisah apa aja di sekolah?"
Arisha hanya tersenyum. Baru mau menjawab, Lastri kembali bersuara.
"Ternyata banyak banget, ya, yang ibu lewatin. Ibu bahkan nggak tahu hari pertama kamu sekolah di sana bagaimana. Temen-temen kamu siapa aja, selain Intan sama Babang. Terus masalah apa yang kamu punya."
"Temen deket aku emang cuma mereka berdua, Ibu."
Lastri menatap Arisha penuh. "Yakin? Nggak ada gitu cowok selain Babang?"
Arisha menggaruk kepalanya kaku. Ya ada, sih. Namun, masa dia harus bilang ke Lastri tentang Hadwan? Ya agak gimana aja gitu.
"Ada, ya?" tanya Lastri lagi.
"Ada, tapi nggak sedeket kayak Babang, sih. Aku sama dia cuma satu organisasi aja, jadinya sering kerja sama. Nggak lebih dari itu." Ya lebih dikit paling lah, tentang curhat dadakan Hadwan tentang keluarganya dan tanpa sadar, sampai langsung mengenal dekat satu sama lain. Entah dari kesukaan sampai yang tidak disukai.
Hadwan tahu semuanya, sepertinya.
"Awas, jangan suka sama Babang."
Dahi Arisha mengernyit. Ya kali dia suka dengan Babang, sepupunya sendiri. Meskipun memang tidak apa-apa, tapi ... agak gimana. Kalau nikah, keluarganya itu lagi itu lagi, dong. Oke, lupakan pikiran konyol Arisha ini.
"Nggak akan, Bu."
"Ibu ke kamar dulu, ya. Cepetan tidur, nanti kesiangan."
"Iya, Ibuuu. Cantik banget deh kalau lagi bawel."
Lastri mendengus, berlalu keluar.
Arisha sampai tertawa melihatnya, lalu menatap pintu yang tertutup perlahan oleh Lastri dengan suara wanita itu yang menyuruhnya kembali untuk lekas tertidur. Dengan Arisha yang perlahan merebahkan diri di kasur, memeluk penjelasan Hadwan sampai terbawa dalam mimpi.
Di satu sisi, ada Hadwan yang sedang beradu mulut dengan Arian di kamar dengan tembok serba hitam itu. Jelas kalau ruangan itu adalah kamar Hadwan. Dan perdebatan mereka bukan karena hal yang penting banget, tapi karena Jagat yang membuat mereka harus berpikir mengenai teori gila terhadap Arisha.
Ketiga Manusia yang sama-sama menyukai Arisha itu bersatu pada akhirnya. Namun, Jagat dan Arian malah mendukung Hadwan. Meskipun tadinya, Jagat tidak suka saat Hadwan bersama Arisha.
"Gue karungin lo lama-lama!"
"Terserah. Karung goni banyak tuh di gudang. Eh, ngapain juga lo di sini? Ini kamar gue." Hadwan melempar bantal gambar rasi bintang ke muka Arian.
"Gue rebut Arisha, nangis lo."
"DIH, GABUT LO NGGAK JELAS."
•
Entah ini mimpi buruk atau memang kenyataan. Baru aja dia keluar rumah dan mau memanaskan motor, Hadwan sudah ada di teras rumah sambil membawa sekotak cokelat Royco yang lagi viral itu.
"Eh, Arisan!" panggil Hadwan seraya berdiri saat Arisha melewatinya begitu saja tanpa sepatah kata apapun. Jangan aneh kalau Hadwan tiba-tiba datang. Tadi malam, Arian menyuruhnya untuk melakukan ini. Iya, Hadwan sering pulang akhir-akhir ini. Bukan karena Kailla, mengenai Arian yang sering memaksanya.
"Gue udah jemput. Masa mau tetep bawa motor?" Hadwan menghalangi motor Arisha yang akan keluar gerbang. Tidak adil, dia sudah jauh-jauh ke sini, masa ditinggal, sih!? Dia pula sudah mengesampingkan egonya agar bisa berbaikan kembali dengan Arisha.
Gadis itu tetap terdiam dan malah menekan klakson panjang sampai lelaki itu memekik dan sontak menutup kuping dan minggir beberapa langkah, membuat Arisha bisa dengan bebas melajukan motornya.
"Lagi latihan nggak bisa ngomong, hah?"
Dengan langkah lebar, Hadwan menghampiri motornya dan menyusul Arisha sampai motor mereka berdampingan. Bukan hanya di situ, saat sampai sekolah pun, Hadwan terus mengikutinya.
"Arisan. Buat lo, tolong terima." Hadwan menyodorkan kotak cokelat biru tua itu. Butuh perjuangan lebih untuk mendapatkannya sampai dia rela ke perbatasan kota ini malam-malam.
"Kalau lo nggak terima, berarti lo nggak menghargai pemberian seseorang. Dan itu nggak boleh, kan?" Hadwan tetap mengikuti ketukan kaki Arisha.
"Lo masih bisa ngomong, kan, Arisan!?" geram Hadwan pada akhirnya karena merasa terlampau kesal.
"Katanya udah mau maafin gue, tapi kenapa malah masih kayak gini, sih, hm? Gue nggak terima ini, kalau kayak—aaaaaaw!"
Karena terus melihat ke arah Arisha sampai melupakan jalanan di depannya, Hadwan kejedot tembok lorong menuju kelas gadis itu. Arisha meringis, berhenti sesaat sebelum akhirnya melaju kembali saat Hadwan meringis dan menyengir kuda ke arahnya.
Rasanya seperti jadi iron man. Beneran sakit, woy. Arisha tidak akan melihat perjuangannya ini, kah?
"Arisaaaaan!"
Mari kita kembali pada Arisha yang semakin mempercepat langkah ke kelasnya sambil sesekali menoleh ke belakang. Hadwan kenapa jadi agresif gini, ya? Apakah efek dari marahnya bisa membuat sifat orang lain berubah drastis? Bahkan, Hadwan yang biasanya malu-malu memberikan dia barang pun jadi terang-terangan seperti tadi.
Semoga Hadwan cepat bangun, deh, supaya makin waras lagi.
"Buset!"
"Aduuuuh!"
Sudah tahu kan kalau dia sering jatuh? Dan sekarang jatuhnya karena ketabrak oleh Jagat. Baru juga pagi hari, tapi sudah jatuh begini.
"Eh, maaf, Ar. Gue nggak lihat."
Setelah mengatakan itu, Jagat lekas berlari kembali seolah sedang cemas karena dikejar depcoletor. Setelah Jagat yang lumayan jauh berlalu, baru ada Tia yang ngos-ngosan.
"Lihat Jagat nggak?" Mereka kayaknya sedang kejar-kejaran. Entah karena apa, tapi Tia terlihat sangat marah. Sampai-sampai dia kena kesinisan gadis itu.
"Ke sana, Kak." Arisha menunjuk arah Jagat berlari. Selepas Tia pergi, dia baru berjalan kembali dengan cepat saat melihat batang hidung Hadwan yang kembali muncul. Ah, Hadwaaaan!
"Tunggu!" Hadwan menarik tasnya, membuat dia mau tidak mau harus berhenti. Gadis itu mendengus, saat Hadwan berubah posisi menjadi di depannya.
"Mau lo apa, sih? Emang harus kayak gitu?" tanyanya sinis.
"Iya, harus. Gue mau lo maafin gue dengan bener. Serius, dan bukannya terpaksa kayak kemarin."
Arisha menendang lutut Hadwan emosi. Bisa tidak, sih, anak ini jangan terus membuatnya baper!?
"Why? Kenapa malah lutut gue yang ditendang!?"
"Gue benci sama lo."