Beberapa hal yang membuat Arisha sakit hati, tetap bersangkutan pada keluarga. Entah kenapa. Tadinya dia ingin pergi ke ruang auditorium untuk melihat lomba, tapi sebelum itu, dia harus dipertemukan dengan Anida dan Hadwan yang sedang mengobrol dengan Arian di samping lab kimia. Tentu saja rasanya amat menyakitkan saat melihat Hadwan seakrab itu dengan Arian.
Bahkan, lelaki itu rela melakukan apapun untuk melindungi kakaknya sendiri. Sama hal dengannya. Dia rela tidak hidup sekalipun untuk menggantikan Arshi. Kakak bagi mereka berdua adalah yang paling berharga untuk dijaga.
Karena meskipun sering ribut, tetap aja kakak lah yang membela saat orang tuanya marah padanya. Atau saat berada di luar rumah, mereka tetap saling melindungi untuk tetap bertahan.
Dan anehnya, kenapa sikap Hadwan yang dekat dengan Arian itu baru terlihat di matanya saat sudah terungkap? Padahal harusnya dia sadar saat awal-awal Hadwan bercerita mengenai kehidupan lelaki itu.
Dan dengan Hadwan yang serba tahu tentang pemberian Arian padanya. Oke, dia yang tidak peka di sini.
Daripada harus melewati ketiga orang itu, Arisha lebih memilih berbalik arah dan mengambil lab biologi untuk tiduran. Tidak lupa dia mengirim pesan lebih dulu pada Intan, takutnya mencari lagi seperti yang telah lalu.
"Arisha, mau ke mana?"
Duh, kenapa harus ada Khansa! Mau maju, tapi gimana. Mau jawab juga gimana.
"Lab." Arisha menyengir setelahnya.
"Ih, mending nonton, yuk. Sekalian bantu dokumentasi."
Khansa menarik tangannya dengan gerakan cepat. Arisha sempat terkesiap sejenak, tetapi tidak bisa menolak. Mau bagaimanapun, dia harus solid, kan? Kalau memang untuk membantu dokumentasi, bisa lah didiskusikan dengan mata agar tidak melihat mereka bertiga saat melintas.
Kalau saja ada jalan lain, maka Arisha akan mengambilnya. Posisi ketiganya yang berada di tengah-tengah itu lah yang membuat Arisha serba salah mengambil jalan, karena akan tetap melewati mereka.
"Eh, Wan. Ayo ke auditorium," ajak Khansa pada Hadwan dengan santai membuat dia mau tidak mau harus ikut berhenti. Mukanya selalu berpaling dari Arian maupun Hadwan. Namun, beda dengan Arian. Lelaki itu malah setia curi-curi pandang pada gadis itu.
Kalau Arian ternyata menyukai Arisha sungguhan, bagaimana?
Ah, tidak. Arian tidak mau kejadian dulu kembali terulang.
Bisa saja dia merasakan 'rasa' itu lagi karena Arisha yang mirip dengan Arshi.
"Duluan aja, nanti gue nyusul." Hadwan tersenyum.
"Oh, ya udah, duluaaan, Wan, An." Tangan Khansa melambai ceria seperti biasanya masih dengan tangan yang satunya lagi menggenggam tangan Arisha.
"Iyaaa."
Arisha sempat ingin berbalik saat menyadari kalau ada yang memperhatikannya. Namun, dia masih bisa berkompromi dengan kepalanya ini agar tidak menoleh. Dia tidak boleh melihat wajah Arian. Kalau dia emosi lagi di sini, bagaimana?
Ancur.
Capek lama-lama kalau punya musuh. Meskipun cuma Arisha yang menganggap kalau Arian dan Hadwan itu musuhnya, tapi tetap aja rasanya di Arisha itu hawa mereka mulai berbeda.
"Udah dipikirkan yang kemarin?" Eh, buset. Circle Arian kenapa senang sekali muncul tiba-tiba begini, sih?
Iya, itu Zikri. Lagipula buat apa, sih, emang? Arisha heran lihatnya. Ya terserah dong mau melakukan apapun terhadap dirinya dan pada Hadwan.
"Udah," jawabnya supaya lebih cepat. Lalu, mengeluarkan ponsel untuk memotret lelaki yang berdiri di panggung itu.
"Bagus deh."
Setelah itu, Zikri langsung pergi. Hih, tidak jelas. Sama kayak Jagat!
Setelah cukup bosa berdiri terus di sini, Arisha melangkah sendirian menuju kelas saat melihat kalau Anida, Arian, dan Hadwan sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Namun, mungkin karena memang dia yang salah, hampir saja Arisha akan kembali terjatuh ke bawah dari anak tangga itu. Untungnya masih ada tangan yang mau menahannya sampai dia bisa berdiri sempurna kembali.
"Maka .... " Ucapan Arisha tergantung begitu saja saat menoleh ke arah lelaki yang sudah menolongnya itu. "sih."
"I ... ya. Sama-sama."
Hadwan terlihat ikutan kaku karenanya. Arisha hanya melihatnya sejenak, lalu melanjutkan perjalanannya kembali. Akan tetapi, lagi-lagi langkahnya harus tertahan dengan ucapan Hadwan. Tapi saat dia berbalik, Hadwan sudah tidak ada di sana. Ah, mungkin dia salah dengar. Atau tadi cuma halusinasinya doang.
•
Hadwan bisa gila sendiri kalau lama-lama seperti ini terus. Mau sejauh apapun dia berusaha untuk pergi dari hidup Arisha, nyatanya Hadwan tidak bisa melakukannya. Dia masih sering mengikuti Arisha dari belakang. Takut kalau gadis itu kenapa-kenapa dan sering jatuh lagi seperti tadi. Mengenai omongan Zikri dan Arisha kemarin pun, Hadwan tahu, karena dia ada di belakang mereka dengan jalan kaki pula.
Iya, Hadwan sering mengantar Arisha pulang tanpa sepengetahuan siapapun. Perlu Hadwan akui, cokelat saat di mini market itu ... dari dirinya.
"Gue juga bilang apa. Jangan gengsi. Arisha itu udah kemakan gengsi juga, udah nggak percaya sama lo pula. Kalau lo emang suka sama dia, ya udah lo harus ngelakuin sesuatu yang membuat dia yakin kalau temenan sama lo itu nggak akan membawa pengaruh buruk," kata Babang saat dia bercerita tadi malam. Lebih tepatnya mungkin dini hari.
"Tapi gue merasa bersalah sama dia, Bang."
"Makanya ... lo minta maaf sama dia. Bujuk dia. Lo pasti udah tahu lah, dia lemah sama apa?" Hadwan mengangguk pada saat itu. "Ya udah, gaskeun."
"Lo beneran nggak marah sama gue?"
"Marah lah. Tapi kan, Wan. Kita tuh temenan lama. Gue tahu lo orangnya kayak gimana. Gue yakin banget kalau lo tuh nggak sama kayak kakak lo. Meskipun kalian adik kakak, satu rahim, nggak mungkin sifat keduanya pasti sama juga."
Waktu itu, Hadwan langsung tertawa mendengarnya. Kalau sudah serius, Babang itu suka tiba-tiba menjadi anak yang kelihatan waras.
"Terus lo dapet kemajuan apa tadi, pas main kembang api?" tanya Babang lagi.
"Nggak ada. Gue sama dia cuma saling diem aja."
Babang langsung menoyor pada saat itu juga.
"Ngajak ngomong, dong. Nggak tahu banget, perjuangan si Intan buat ajak itu anak ke lapangan."
Hadwan hanya mendengus pada saat mendengar omongan itu.
"Duh, ini si calon ketua. Keliatan galau mulu dari kemarin. Mikirin apa? Visi misi? Nyontek aja sama Arisha." Suara Rani langsung masuk ke telinga Hadwan saat kembali ke ruangan auditorium dan bergabung dengan panitia yang lain.
"Dikira kita nggak saingan, sampe bisa nyontek!" kata Hadwan mendengus.
"Ya kenapa harus saingan, kalau sebenarnya bisa jalan barengan tanpa saling menjatuhkan?" Khansa yang duduk di tengah-tengah antara Rani dan Intan itu menyambung.
"a***y, quotes of the day, nih." Sherly terkekeh. "Tulis, Tan, tulis di IG English Club."
Intan mengangkat jempol kanannya sambil bilang, "Sabi, bisa nambah konten."
"Konten lagi, konten lagi." Babang yang kebagian sewot karena bagian ngedit. Sementara Intan cuma bagian post doang karena akunnya ada di dia.
Hadwan menoyor kepala Babang untuk keseribu kalinya. Sampai lelaki itu mendengus tak terima dan mau membalas lagi, tapi keburu ditegur oleh Rahma karena takut menganggu yang lain.
Ah, tidak asik.
"Ya emang kenapa atuh, Bang?" tanya Intan so polos. Hih, Babang ingin sekali menyentil jidat Intan melihat ekspresinya itu.
"Gue lagi lah yang direpotin sama kalian."
Intan tersenyum manis. Sialnya, emang beneran sangat manis di mata Babang.
"Kan sahabat gue satu ini emang suka banget disusahin. Apalagi dijadiin babu. Iya, kan?"
Babang mendengus. "Kagak lah, Malih!"
"Duh, dianggap sahabat doang. Sakit nggak, Bang?" Khansa malah semakin memancing.
"Sakit lah, masa nggak!" sambung Rani sambil terkekeh kecil setelahnya.
Sementara di sisi lain, setelah mengambil buku novel untuk dibaca di lab biologi, Arisha kembali ke lab itu dengan tenang dan bisa tiduran. Meskipun seram sebenarnya, karena saat menoleh, langsung kerangka manusia yang dia lihat.
•
Hadwan pamit lagi untuk mengecek yang lain. Dia tidak bisa diam seperti biasanya. Entah tidak betah karena tidak Arisha. Ditambah Anida yang semakin mau mendekatinya berlebihan dan mulai terang-terangan mengejar cintanya Hadwan.
"Semua itu akan mudah, kalau emang dianggap mudah." Langkah Hadwan kembali mundur saat mendengar suara itu.
Jelas dia tahu siapa pemilik suara tersebut. Begitu masuk ke lab biologi, dia langsung mendapati Arisha yang tiduran di lantai dengan buku yang diangkat lumayan tinggi, sejajar dengan leher.
"Lo ngapain, sih, di sini?"
"Hah?"
Arisha langsung bangkit saat mendengar pertanyaan tersebut. Jelas lah dia kaget. Lagi enak-enaknya ngadem sambil baca buku, eh tiba-tiba diganggu. Baru mau ke akhir cerita yang lagi bahagia—karena dia memang pernah baca, jadi tahu endingnya—tapi vibesnya sudah mulai kurang hanya karena ini. Bukannya senang, malah bete dan makin sedih yang ada.
Begitu menoleh pada Hadwan sesudah berdiri, Arisha memutar bola mata malas saat melihat wajah tak ramah yang Hadwan berikan.
"Terserah gue mau di mana aja. Apa urusannya sama lo!?" tanya Arisha semakin tidak suka melihat Hadwan di sini. Lagipula pekerjaan dia sudah selesai, lho. Membantu panitia lain juga udah tadi. Dan kelihatannya, tidak ada lagi panitia yang kerepotan saat ini. Semuanya santai menikmati acara.
"Harusnya lo di sana, Arisha. Bantu-bantu yang lain! Bukannya di sini dan enak-enak sendiri. Jangan mentang-mentang tugas lo udah beres, sampai nggak mau cek dan bantu tugas panitia lain."
Arisha mengusap wajah frustasi, lalu memejamkan mata. Daripada harus berurusan dengan Hadwan lebih lama kembali, Arisha memilih berjalan keluar lab. Namun, lagi-lagi langkahnya harus terhenti dengan suara Hadwan.
"Apalagi, sih?" Tadinya dia ingin teriak, tetapi sadar diri kalau dekat ruangan auditorium. Dan di sana sedang banyak orang tentunya. Nanti dia malah mempermalukan dirinya sendiri, seperti Anida. Mengenai Anida, kayaknya bendera perang dingin yang sempat turun itu kembali dikibarkan oleh gadis itu. Mengingat tentang perlakuan Anida padanya saat di lapangan. Ya tidak apa-apa, sih. Dia tidak rugi ini, kan?
"Apa? Gue nggak mau ngomong-ngomong apa. Bersihin tuh telinga."