Terjatuh

1583 Kata
Baru kali ini Arisha mendapatkan kebebasannya kembali. Tidak adanya Pak Endang yang menjemput karena harus balik ke Jakarta atas permintaannya, lalu tidak ada lagi bodyguard yang kesannya menjadi CCTV-nya tiap detik dan langsung dilaporkan pada Tio. Dia benar-benar bebas dan bisa berjalan sendirian dari jarak yang lumayan jauh dari rumah. Meskipun sesekali dia harus melihat maps karena buta jalanan. Kakinya sesekali menendang batu gabut dan bersenandung kecil. Intan pun masih ada urusan di sekolah, karena masih mencari beberapa makanan yang nyaman di kantong, tapi juga kelihatan mahal. "Arishaaaa!" Langkah Arisha berhenti, kepalanya menoleh ke belakang dengan hati-hati setelah berpikir keras mengenai siapa yang memanggilnya. Suara itu, masih asing di telinga Arisha. "Tumben jalan?" tanya Zikri selepas menghampirinya. Namun, dia malah ingin bertanya, kenapa Zikri ada di sini? Ini bukan rencana Arian lagi!? Terlalu banyak drama yang Arian buat sampai dia lupa mana yang iya atau bukan. Jangan-jangan, perasaan Jagat sebenarnya juga bersangkutan dengan drama lelaki itu. "Iya." Arisha menjawab singkat dan kembali berjalan. Diikuti oleh Zikri yang berjalan di sampingnya. "Gue tahu lo marah sama Arian, tapi kayaknya nggak berhak buat marah sama Hadwan." Arisha mendengus. Datangnya Zikri, pasti ada sangkut pautnya pula dengan Arian. Padahal, Hadwan pun berhak kan dia jauhi? "Kenapa tiba-tiba? Disuruh Kak Arian?" tanya Arisha tidak suka sembari menoleh pada Zikri. Tatapan itu, baru pertama kali Zikri lihat. Dan ternyata benar kata Jagat, serem. "Iya." Zikri kepalang jujur. "Lagipula kenapa harus marah sama Hadwan? Dia nggak ikut terlibat. Justru gue yang terlibat." "Maksudnya?" Arisha semakin bingung dengan pembicaraan Zikri kali ini. "Gue tahu kalau Arian itu kayak gimana sama Arshi. Gue tahu mengenai apapun tentang Arian. Termasuk terlibat, kan?" Arisha terdiam. "Tapi nggak mungkin, kalau gue tiba-tiba bilang ke lo tentang aib temen gue sendiri. Termasuk Hadwan. Dia nggak mungkin, tiba-tiba ngobrol sama lo dan bilang kalau Arian itu cowok yang merusak kakak lo. Yang ada Hadwan malu buat bilangnya." Arisha tidak mampu berkata-kata lagi. "Hadwan juga pasti mikir, gimana konsekuensi yang harus dia tanggung kalau jujur sama lo. Dia bakal tanggung malu, terus lo bakal benci sama kakaknya, atau bahkan menjauh dari Hadwan karena merasa kalau adik kakak itu, sikapnya sama persis." Zikri mengambil jeda sejenak saat Arisha berhenti berjalan kembali. Lalu, menoleh pada Zikri. "Lo juga. Nggak mungkin bilang kalau kakak lo meninggal itu secara bunuh diri, karena hamil di luar nikah ke semua orang yang lo kenal dekat. Iya, kan?" "Iya." "Sebenarnya gue juga nggak mau bilang ini. Buat apa? Takut kena cakar. Kata Hadwan, lo galak soalnya." Jadi, ceritanya Hadwan suka cerita pada Zikri gitu? "Tapi gue percaya. Arisha ini pasti mikir dulu sebelum bertindak. Termasuk omongan gue. Lo pasti serap baik-baik dulu. Nggak mungkin asal hajar." "Iya." "Iya, iya terus dari tadi. Nggak punya kosa kata lain apa?" Arisha mencebikan bibirnya kesal, "Bingung mau ngomong apa." "Speechless kan sama gue?" "Nggak juga." "Sialan." Arisha tersenyum tipis, kembali berjalan memasuki jalanan komplek saat Zikri pamit padanya. • "Nggak enak, ya, diem-dieman gini." Ceritanya Arisha sedang dijebak. Tadi Intan mengajaknya main petasan di lapangan jam setengah delapan malam. Dan katanya cuma bertiga dengan Babang. Eh, ternyata ... si Hadwan juga ditarik. Sekarang mereka lagi duduk di rumput. Arisha main kembang api sendirian, Intan yang duduk di tengah-tengah antara Hadwan dan Arisha, dan Babang yang barbar. Lelaki itu menyalakan petasan yang biasanya meletus di langit. Arisha tidak tahu apa namanya. Dia jarang bermain seperti ini. "Babang, mau cobaaa!" Intan tiba-tiba berdiri membuat Arisha memekik tertahan. "Diem di sini! Nanti kena. Udah diem. Laporin nih ke Bang Fatur." "Lapor apaan, sih? Lo sendiri yang ngajak. Nggak masuk akal." "Beda lagi. Jauh-jauh!" Arisha berdecak mendengarnya. Gadis itu pasrah dan memilih dia di tempatnya dengan memutarkan kembang api itu. Keduanya sama-sama hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Hadwan tidak mau mengawali pembicaraan, dengan Arisha yang masih bingung dengan dirinya sendiri. Iya, dia tahu kalau belum tentu Hadwan pun sama. Mengenai Hadwan yang menyembunyikan aib Arian pun, oke dia terima. Namun, dia masih belum percaya tentang pernyataan yang pertama tadi. Gadis itu sesekali melirik pada Hadwan yang melihat langit. Tatapannya lurus, dan kosong. Ah, iya. Sekarang Hadwan sering cerita pada siapa? Apa keadaan lelaki itu sudah membaik? Apa Hadwan sudah diterima oleh mamanya? Masih banyak pertanyaan Arisha yang harus dilontarkan. Ternyata, dia masih peduli pada lelaki itu. "Diem-dieman wae. Ayo, buka mulut!" teriak Intan heboh. Bertepatan dengan Hadwan yang menoleh padanya, Arisha mendelik dan membuang muka ke depan. "A. Tuh buka mulut!" Arisha membalas dengan jengkel, membuat Intan melayangkan protes. Tentu yang Intan maksud bukanlah hanya sekadar membuka mulut, tapi membuka topik gitu, lho. "Heh, tahu nggak? Marahan lebih dari tiga hari itu pamali. Takut apa, Tan?" Babang bertanya pada Intan di akhir kalimat. Dia agak lupa dengan omongan yang sering orang tua ucapkan saat Babang masih kecil. "Bisi pajauh Huma!" Arisha tidak paham artinya! Meskipun agak lama di Jawa Barat, tapi dia beneran nggak tahu tentang bahasa seperti itu. Paling banter ya bahasa sehari-hari. "Ya terus gue harus ngomong apa, Ngab? Emangnya kalau cuma ngobrol udah baikan? Udah saling memaafkan? Belum tentu!" Akhirnya Hadwan bisa membuka suara. Babang tertawa sembari mendekat. "Duh, Abang jago grogi ternyata. Sini gue ajarin!" "Apa, lo? Gue mau balik." Hadwan mau berdiri, tapi Babang menariknya lagi. "Gue ngantuk, Bangsat." "Hey, Anak Tua." Babang menunjuk Hadwan emosi. "Tidur lo aja jam satu malam. Mana ada jam segini udah ngantuk." Bohongnya Hadwan terlalu kelihatan oleh Babang. "Ya udah, oke." Akhirnya, Hadwan kembali duduk dan mengambil kembang api di depan Arisha tanpa berbicara apapun. Keduanya hanya silih terdiam di sepanjang acara main dadakan itu. • "BABANG BALIKIN! s****n, LO, AH!" Beberapa kali Arisha mengejar Babang yang mencuri buku tugas kimianya. Buku itu aset baginya. Bukannya dia mau belajar pelit akan tugas dan tidak mau dicontek, masalahnya ada kupon makanan dan tiket nonton bola yang nyelip di sana dan surat rahasia dari seseorang. Ingat makanan yang sering tiba-tiba ada di bawah meja? Di dalamnya ada barang itu semua. Cuma kupon makanan aja yang pemberian Fatur waktu di rumah Jefan. "GUE SANTET, LO, YA, BANG. MESKIPUN LO SEPUPU GUE, GUE BAKAL TEGA SAMA LO." Dia malu kalau surat itu sampai Babang temukan. Masalah kupon dan tiket, terserah mau Babang ambil juga. Dan kalau suratnya dibaca bagaimana!? Iyuh, di kepalanya makin kebayang aja anak-anak yang menggodanya lagi. Hidupnya tidak akan tenang dengan omongan anak kelas ini. "Hari gini masih santet!" teriak Babang sembari berlari kembali. Mereka itu masih ada di dalam kelas. Beberapa kali Babang harus naik meja dan mengganggu banyak orang sampai banyak yang melayangkan sumpah serapah untuk lelaki itu. "BANG, SERET NIH, SERET. SINIIN BURU. CAPEK GUE NGEJAR LO!" Babang hanya tertawa tanpa beban sama sekali. Lalu menjalankan aksinya kembali. Demi apapun, dia mendadak ingin menjadi flash atau bukan punya sapu ajaib. Berilah dia kekuatan untuk satu jam ini saja, maka dia akan membawa buku itu tanpa menyentuh sama sekali. Ah, percuma dia ngehalu. "Bang, please. Ya?" Sebenarnya ogah juga sampai merengek seperti ini pada sepupunya itu. Hey, sejak kapan dia seperti itu pada orang selain Tio dan Fatur!? "OGAH. HAHA. ADA APA, SIH, EMANGNYA, ARISHAAAA!?" Babang sengaja semakin menaikkan bukunya saat dia berjinjit ingin mengambil. "Harta Karun? Gue cuma mau nyontek, anjir." "Ada ... ada itu. Sini cefaaaat." Babang kembali berlari ke depan kelas. Lalu berjalan keluar dengan cepat layaknya flash. Arisha bergerak menyusulnya. Bahkan sampai tak sadar, kalau di depan kelas itu ada anggota OSIS yang mau masuk sambil bawa kotak amal. Gerakan itu seolah begitu cepat. Arisha menubruk Hadwan sampai keduanya terjatuh berdampingan di depan pintu kelasnya itu. Dadanya lumayan sesak saat terbentur dengan lantai, soalnya lumayan keras juga. Arisha sampai meringis pelan karenanya. Matanya sudah berkaca-kaca. Namun, sekuat tenaga dia tepis dan perlahan terduduk sambil mengatur rasa sakit itu dengan melamun. Hadwan yang masih terlentang di lantai melihat Arisha sejenak. Kenapa gadis itu terlihat menahan sakit? Hadwan ingin sekali bertanya mengenai keadaan Arisha, tetapi lagi-lagi selalu gengsi yang menjadi pemenang dalam seleksi di diri Hadwan. "Kalau mau cari perhatian lihat-lihat sekitar. Jangan sampai membahayakan orang lain kayak gini!" Ujungnya Hadwan malah marah. Dia menghela napas dan berdiri. "Punggung gue jadi sakit gara-gara lo!" Padahal, itu cuma trik Hadwan untuk memancing Arisha agar gadis itu pun bicara mengenai sakitnya sebelah mana. Namun, gadis itu malah tetap terdiam dan berjalan pelan ke mejanya. Arisha beneran sakit? "Jangan so kuat. Ruang kesehatan tiap hari kekurangan pasien. Kali aja lo mau biar nggak kosong," katanya datar saat melintasi bangku gadis itu. Lalu, meminta sumbangan dengan senyum Hadwan yang menjengkelkan seperti biasanya. Sikap lelaki itu sungguh berbanding terbalik pada dirinya dan orang lain. "Lo, sih, nggak lihat-lihat!" Babang menyimpan bukunya di atas meja. "Telat! Kirim foto, tahu-tahu gatel-gatel lo, Bang." "Si anjir. Gue buang lo lama-lama ke kali." Babang duduk kembali di mejanya. Lalu memberikan uang lima ribu selembar ke kotak amal yang disodorkan Hadwan. Setelah lelaki itu berlalu ke belakang, dia memajukkan kursi menjadi dekat dengan Arisha. "Kenapa megang d**a terus, sih? Kena efek samping tabrakan sama Hadwan sampai segitunya? Deg-degan, ya, lo, Ar?" "Gila si Babang mah. Gimana kalau Arisha emang sakit?" tanya Intan melotot tak terima. "Gue nggak papa, sih. Cuma .... " "Cuma?" tanya Babang penasaran. Kalau Arisha kenapa-kenapa, dia juga nih yang kena karena Fatur telah menitipkan Arisha padanya. Nanti, Tio pasti bilang, "Ngapain, sih, nitip sama Athalla?" "Kebentur doang." "Iya, sakit, kan maksudnya?" Arisha menggeleng tidak setuju. Padahal isi hatinya berkata iya. Ingat, dia hanya ingin terlihat baik-baik saja. Cukup kemarin dia bersikap seperti itu. Setelah itu, Arisha tidak mau lagi. "Nggak. Nyesek aja." "Sama aja, Dodol!" "Beda!" Intan mendengus, membiarkan keduanya berdebat cukup lama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN