Berhubung abangnya itu mau pulang dan konflik antara Babang maupun dengan Intan sudah reda, malam ini Fatur mengajak mereka bertiga ke Cafe yang harga dan rasanya lumayan atas. Karena itu lah, mana mungkin mereka bertiga menolaknya. Kalau tidak ditraktir, memang mau kapan? Uang mereka memang cukup, tapi sayang. Kalau kata Intan, selagi masih ada yang lebih murah, kenapa nggak?
Lagipula jaraknya lumayan jauh dari rumah.
"Terserah, nih, Bang mau pesen apa aja?" tanya Babang setelah melihat daftar menu.
"Iya, asal abis. Anggap aja all you can eat."
"Berarti kalau nggak abis bayar, dong?" Sekarang Intan yang bertanya. Tentu Fatur mengangguk kecil. Beuh, pesona Fatur di mata Intan melebihi kapasitas. Padahal cuma mengangguk, tapi auranya tuh langsung menarik Intan untuk tetap menatapnya.
"Lah, harus hati-hati nih gue. Bisa-bisa dompet gue langsung kanker."
Arisha terkekeh kecil saat mendengar pernyataan Babang itu, lalu memesan minuman milkshake cokelat seperti biasa dan beberapa makanan. Setelah semuanya memesan, lelaki dengan kaus hijau itu kembali ke tempatnya semula.
"Temen gue lagi di sini juga, Bang. Nggak papa kalau ajak gabung?" Babang melihat Fatur setelah melihat layar ponsel. Di sana, ada Hadwan yang membalas statusnya yang menunjukkan foto cafe ini disertai caption yang lebay.
"Ya nggak papa, ajak aja biar lebih seru."
Arisha memicingkan mata saat Babang bilang 'teman'. Mau nebak Hadwan, tapi temen Babang itu lumayan banyak. Ralat, bukan lumayan lagi, tapi banyak, meskipun masih satu lingkup dengan Hadwan.
"Gue jemput dulu ke depan." Babang berdiri dan menuruni anak tangga. Mereka memang mengambil tempat paling atas dan dekat jendela. Karena dengan itu, mereka bisa bebas melihat pandangan di bawah sana yang serba hijau itu, sebuah taman bunga yang sepertinya milik salah satu warga.
"Bang Fatur, balik ke Jakarta kenapa harus besok? Nggak bisa, ya, kalau nanti-nanti?" Intan bertanya kembali. Dia duduk di depan Arisha, tapi bisa dengan mudah bisa melihat Fatur karena meja yang disatukan. Bahkan, meja ini masih bisa diisi oleh dua orang lagi.
"Lagi ada projects di sana. Jadi, nggak bisa diundur lagi."
"Oh."
Intan mengangguk kecil maklum. Sebenarnya, dia kagum sih pada Fatur. Wisuda juga belum, tapi udah dapat kerjaan. Padahal mah bukan mencari, dia cuma ikut papanya aja.
Beberapa menit mereka terdiam. Dengan Arisha yang menikmati lagu Favorite Girl dari Justin Bieber yang mengisi setiap sudut Cafe itu, Fatur dengan segala overthinking-nya karena tidak mendapat restu dari adik sendiri, sampai Intan yang tidak bisa mengalihkan tatapan dari Fatur.
Lepas dari Arian, feeling dia langsung nempel pada Fatur.
Teringat Babang saat makanan mereka sudah datang, Arisha menengok ke belakang, tepat ke jalan menuju masuk Cafe yang bisa dia lihat dengan jelas. Namun, tidak menemukan Babang sama sekali. Hal itu membuat Arisha memajukan kepalanya sedikit setelah mulai memotong chicken katsu miliknya.
"Temen Babang yang mana, sih, Tan?"
Intan yang lagi meminum milkshake lotus itu langsung mendongak, "Kayaknya Ikhwan, deh. Rumah dia kan sekitaran sini kalau nggak salah mah."
"Oh, Ikhwan."
Gadis dengan vest hitam itu menegakkan badannya kembali. Sesekali melempar pandangan ke tangga dengan kunyahan yang semakin pelan.
"Emang kenapa? Takut Hadwan?" Intan memelankan pertanyaan terakhirnya, bahkan tidak bersuara, hanya membuka mulut saja. Meskipun begitu, Arisha tetap paham dengan maksud wanita yang sedang pakai kemeja lilac itu.
Namun, Arisha tetap menggeleng pelan dan memilih fokus kembali dengan makanannya.
"Bang, kalau udah beres langsung pulang ke sini lagi aja bisa nggak?" Arisha menoleh setelah melayangkan pertanyaan itu dengan Fatur yang menoleh pelan. Bibirnya mengerucut membuat Fatur mengacak surai yang tertutup itu lembut.
"Iya, diusahakan."
Arisha tersenyum lebar, "Asik. Ajak papa juga. Apaan, masa ke sini sendiri."
"Iya, cerewet."
"Dih, si posesif!" Arisha mendelik dan membuang muka setelahnya. Namun, membuat Fatur semakin mengacak surainya gemas.
Seiring dengan suara Babang yang bilang, "Nah, di sana."
Mereka bertiga sama-sama menoleh kompak, melihat Hadwan yang terdiam membatu dengan tubuh Arisha yang membeku. Pusat tatapan Hadwan jatuh pada tangan Fatur yang berdiri di kepala Arisha.
"Buruan! Kapan lagi kumpul?"
Babang menarik Hadwan paksa menuju meja sampai duduk di samping Fatur. Sementara Babang di depan Abang Arisha itu. Jadi, Fatur bisa menjadi pembatas antara Hadwan dan Arisha.
"Yang waktu itu?"
Hadwan mengangguk kaku. "Iya."
"Oh, udah saling kenal?" tanya Babang menunjuk keduanya bergantian. "Bagus, deh, biar gampang. Ya nggak, Ar?" Babang beralih menggoda Arisha yang membuat gadis itu langsung berdecih tak suka.
"Belum sempet kenalan," jelas Hadwan lagi.
"Oh, kenalin, tuh, Wan. Itu Bang Fatur, abangnya Arisha."
Hah? Ternyata lelaki waktu itu, abangnya!? Pantas saja Arisha mau dipegang-pegang, bahkan sampai kelihatan nyaman dipeluk gitu.
"Nah, ini Hadwan. Musuhnya adik lo, Bang. Tiap hari, pasti berantem. Akhir-akhir ini doang saling diem-dieman."
Fatur melirik Hadwan sekilas, lalu beralih pada Babang setelah menarik tangannya dan langsung bertengger di bahu Arisha yang mendadak panas dingin.
"Udah tahu." Fatur tersenyum mengejek pada Arisha yang mukanya sudah kelihatan tidak nyaman. Memang sejak kapan, dia sebut nama Hadwan!? Atau dia pernah keceplosan!? Tapi, jawaban yang paling membuat dia yakin itu, Fatur dan Tio pasti mendapat laporan dari Dion dan bodyguard yang lain. Huh, menyebalkan. Berarti kalau dia cerita, sebenarnya Fatur cuma pura-pura tidak tahu gitu?
Mengenai Arshi, apa Fatur pun mencari penyebabnya? Atau memang sudah percaya kalau Arshi itu meninggal karena memang sudah takdirnya?
"Lo tumben di sini, Wan," komentar Intan bingung.
"Lagi anter abang gue."
Abang. Harusnya dia biasa aja, kan? Itu cuma kata Abang. Namun, rasanya sungguh menyakitkan. Ditambah, malam hari itu ditutup dengan acara makan-makan yang melibatkan Hadwan. Untungnya, Arian tidak menghampiri meja mereka.
•
"Kursi masih kurang berapa?" tanya Hadwan pada saat Rani kembali ke lab setelah merapikan ruang acara.
"Kurang banyak, Wan. Itu masih kosong banget."
Hadwan berdecak. Yang buat surat ini pasti Arisha. Memangnya tidak berpikir dulu atau cari peluang gitu? Dia lagi marah, jadinya tambah marah. Lelaki itu berlalu dari hadapan Rani dan menghampiri Intan.
"Arisha di mana?" tanyanya cepat.
"Hah?" Hadwan terlalu cepat ngomongnya.
"Arisha di mana, Intan?" Kali ini, Hadwan mulai kelihatan lamban dengan bicaranya.
"Warung si emak tadi mah."
"Oke, thanks."
Hadwan cepat-cepat keluar, berbelok ke kiri dan menghampiri Arisha di warung yang terletak di belakang kelas sebelas IPS itu. Biasanya di sana dipakai anak-anak yang lagi nggak punya kuota, karena ada WiFi. Semenjak kata sandinya jebol, beberapa orang yang tahu pasti beralih ke sana untuk jajan juga.
"Lo tulis berapa jumlah pas peminjaman kursi buat hari H?" tanya Hadwan saat sampai di depan meja Arisha. Gadis itu sedang terpaku di depan laptop. "Bisa ngomong, kan? Lo nggak mendadak bisu, bukan, Arisha?"
Dengan wajah datarnya, Arisha mendongak. Khansa yang duduk di samping Arisha dengan jarak agak jauh itu pun yang tadinya fokus pada alpukat kocok milo itu mendadak ikut mendongak.
"Lima puluh."
"Lo nggak ngitung? Ruangan gede gitu lo cuma pinjem segitu? Kenapa nggak konfirmasi ke gue dulu atau tanya pembina?"
Untung warung ini lagi kosong karena anak-anaknya pasti masih di kelas.
"Gue cuma ketik yang disuruh Kak Rahma. Kata dia langsung anterin aja."
"Harusnya lo bisa ikut menyangkal Rahma. Jangan terus dengerin dia. Kurang, kan, jadinya?"
Yang salah di sini siapa, sih, sebenarnya!?
"Tapi gue—"
"Lo tanggung jawab. Bikin lagi. Abis tuh balik lagi ke Bu Dede. Kerja sendiri!" Hadwan lebih percaya Arisha yang mengerjakannya sendirian daripada Nerima usulan orang. "LIMA MENIT HARUS BERES! KITA MEPET. Kita harus buru-buru, takut nggak diterima."
"MATA LO PICEK, HAH? LIMA MENIT?" Arisha terkekeh jumawa. "Satu menit juga beres!"
Padahal dia sudah mengerjakannya dari tadi. Makanya datang ke sini.
"Bisa nggak suaranya dikecilin? Heran. Kapan akur?" Tiba-tiba saja, pembina mereka muncul dari balik warung sambil bawa piring.
"Nggak ada jadwal untuk akur, Bu."
"Lagi marahan tuh, Bu, mereka sebenarnya. Harusnya alhamdulilah pas debat kayak gini lagi."
Khansa sungguh menyebalkan. Dan dari mana mereka tahu!? Seperti detektif aja.
•
"Bu Dede yang mana, sih?"
Hari baru, seragam baru, dan tentunya kerjaan baru. Arisha pusing mencari guru yang namanya Dede. Masalahnya, semua mukanya sama. Dan dia, cuma bisa tanya pada diri sendiri. Karena yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Sekadar jawab pertanyaan dia aja sampai tidak bisa. Sebel lihatnya.
Wali kelas. Kali saja itu. Arisha memang nekat. Dengan modal coba-coba, dia menghampiri beliau i ruang guru.
Namun, selepas mengutarakan niatnya mau apa datang ke sini, Bu Dede malah bilang, "Bukan ibu, Teh. Kalau surat izin kayak gitu ke Bu N Dede."
Hah? Ya Arisha ngelag lah. Dia salah fokus atau gimana, sih? Perasaan, mukanya tuh mirip semua. Namanya sama pula.
"Maaf, Bu, salah orang."
Selepas beliau bilang tidak apa-apa sambil tersenyum geli, Arisha pamit dan berjalan ke ruangan kesiswaan dua.
"Permisi, Bu. Bu N Dede nya ada?" Wanita dengan jilbab merah marun itu langsung menoleh. Lalu, bertanya pada teman kerjanya.
"Pak, saha Bu N Dede teh?"
Lho, jangan bilang kalau dia salah ruangan lagi!? Huh, maluuuuu.
"Ini Bu N Dede," jawab bapak-bapak dengan kumis tipis itu. Arisha tidak tahu namanya, karena jelas kalau beliau tidak mengajar di kelasnya.
"Oh, terima kasih."
Arisha perlahan maju menghampiri. "Maaf, Bu, sempat tidak mengenali."
"Nggak inget sama ibu? Pernah ketemu kan, kita?"
Arisha mengangguk, "Iya, Bu, maaf. Mirip-mirip mukanya."
"Anak baru itu, ya?"
"Iya."
"Oh, pantes. Gimana? Ada yang harus ditanda tangani lagi?"
Huh, untung ibunya baik. Kalau killer, habis lah dia.
"Untuk peminjaman fasilitas, masih kurang, ibu. Jadi, saya mau mengajukan penambahan kursi dan meja kembali. Lalu, ditambah dengan sound dan mic."
Arisha memberikan surat yang langsung dibuka beliau.
"Boleh, tapi langsung beresin lagi. Jangan sampai ada yang rusak. Ya?"
"Iya, Bu."
Gadis dengan seragam serba putih itu memberikan selembar kertas yang harus ditanda tangani, lalu pamit pergi setelah mengucap terima kasih.
"Dapat izin?" tanya Khansa langsung saat dia sudah sampai lab bahasa.
"Dapat lah." Arisha duduk di samping Khansa. "Ya kali nggak. So keras emang."
Hawa lab bahasa yang tadinya dingin mendadak panas.