Tak pernah terbesit dalam benak Intan jika dia dan Arisha akan berjauhan selama ini. Lima hari, seakan satu abad baginya. Dan bukannya dia tidak mau melihat Arisha bersama teman yang lain, ya rasanya aneh saja saat melihat gadis itu bersama Luiz. Arisha pun pasti mencari teman lain biar tidak sendirian banget atau emang terpaksa. Namun, beda aja lihatnya. Biasanya dia yang ada di samping Arisha tiap hari.
Apa-apa pasti ngelakuinnya barengan. Dan sekarang? Sungguh berbanding terbalik. Arisha bukan yang dia kenal pertama kali mereka bertemu lagi. Arisha sudah berubah. Entah karena masalah yang datang padanya, sampai membuat Arisha seperti itu.
"Ar." Iya, Intan memberanikan diri untuk menghampiri Arisha yang duduk di pintu antara lapangan dan menuju taman. Namun, gadis itu hanya menoleh dengan muka datar. "Anter ke kamar mandi, yuk."
Dia bingung mau ngomong apa. Dan Arisha juga bingung, kenapa dari banyaknya topik lain harus kamar mandi?
"Lagi sibuk. Sendiri aja," jawabnya santai, tapi menusuk Intan sampai dalam.
Luiz yang berada di tengah-tengah mereka pun sampai bingung jadinya. Tidak Babang, tidak Intan, tidak Hadwan, pasti Arisha langsung berubah. Apalagi, sekarang mereka jarang dekat lagi.
"Ar?" Mata Intan berkaca-kaca mendengarnya. Dia tidak mau marahan lagi. Dia tidak suka posisi ini. "Gue mah cuma mau ngomong bentar, kok, sebenarnya."
"Ya udah, di sini aja."
Intan mengambil napas lebih dulu. Masih untung, Arisha tidak langsung pergi kembali sebelum dia bicara.
"Em, ... kayaknya kalian butuh waktu berdua. Gue ke Gino dulu, ya. Nanti susul aja ke sana. Mau gue pesenin apa?" Luiz berdiri dari undakan anak tangga itu.
"Teh lemon aja."
"Oke."
Seiring Luiz yang menembus taman, Intan duduk di samping Arisha, tepat di tengah pintu. Namun, Arisha membuang muka ke depan. Taman lebih menarik untuknya.
"Maaf, yaaaa. Beneran, deh. Gue .... " Intan memilin ujung pakaian Pramuka-nya.
"Nggak maksud? Udah berapa kali, Babang bilang gitu. Udah klise. Setiap kesalahan, pasti alasannya bilang kayak gini. Nggak ada kosakata lain apa, Tan?"
Dan dia, masih belum menemukan alasan mereka yang membuat dia bisa kembali pada mereka.
Lagi-lagi, Intan hanya mengembuskan napas sesak. Arisha berubah jadi dingin.
"Gue udah anggap lo kayak kembaran." Arisha melihat Intan lewat ekor matanya. "Dari pertama kali kita kenal, gue teh kayak langsung merasa: kalau lo tuh bisa jadi temen gue. Kita bisa jadi sahabatan. Ternyata bener. Gue bangga punya sahabat kayak lo, Ar. Gue udah anggap lo keluarga. Karena itu, gue sembunyiin tentang Arian. Gue pun belum tahu lama, kok."
"Pas di makam waktu itu?"
"Gue belum tahu. Kalau tahu Arian kayak gitu mah, gue juga nggak akan excited tiap kali ketemu sama dia."
Iya, sih. Sikap Intan lagi beda. Dia tidak pernah bicara perihal Arian lagi beberapa hari ke belakang.
"Lo nggak bohong lagi?" Arisha menoleh sempurna, memicingkan mata.
"Iya, gue nggak jujur, sih." Intan menahan senyum, "tapi bohong."
Ngeleg nih otak dia.
"Gue serius, Arisha. Gue sempat marah sama Hadwan, tapi ternyata ... ya dia emang nggak sama kayak Arian."
"Tahu dari mana, kalau Hadwan nggak sama? Otaknya, bisa aja sama. Hadwan, paling cuma bisa nyembuiin doang. Lo nggak tahu, dia di luaran sana kayak gimana. Bisa aja Hadwan gonta-ganti ovarium, kan?"
Intan mengangguk-angguk kecil. Tapi, ini maaf dia diterima nggak, sih?
"Ar?"
"APA LAGI!?"
"Dimaafin nggak, sih?" tanya Intan bingung. Wajahnya pasti udah kayak orang b**o, nih.
"Lo pikir?"
"Iya."
"Ya udah."
"SERIUS!?" Intan tersenyum lebar. Matanya begitu berbinar. Arisha bisa melihat itu dengan jelas.
Dengan tampang isengnya, Arisha menggeleng dengan wajah datar. "Nggak. Kata siapa?"
"Hah?" Mata Intan perlahan kembali meredup.
"Bercandaaaa."
"IH, ARISHAAA."
Gadis itu menoyor kepalanya tidak keras. Dia rindu kebersamaan mereka. Dan Intan, paling senang saat momen berteriak di dekat telinga gadis itu.
•
Sesuai kata Luiz tadi, dia menyusul gadis itu yang pergi menghampiri Gino. Mumpung acaranya masih jam 9 nanti, menyempatkan nongkrong di kantin sepertinya lumayan bagus untuk menghilangkan nervous. Menimbang nanti, mereka akan ditonton oleh banyak orang. Termasuk semua angkatan di sekolah ini. Ditambah, warga di sekitar sekolah pun suka ikutan nonton dan dipasang di SG.
Bedanya, dia menyusul Luiz bersama Intan.
"Ehem, nggak jauhan lagu, niiiih." Gino menggodanya begitu dia duduk di depan Luiz. Sementara Intan di depan Gino, dengan Dian yang di depan Gio.
"Apa, siiih?" Arisha tersenyum samar, menarik gelasnya saat Luiz bilang kalau itu pesenan Arisha.
"Emang tadinya kita jauhan?" tanya Intan pada Arisha.
"Nggak, kan, ya? So tahu, nih, si Gino!" Arisha menyambung pertanyaan Intan tadi. Cuma Gio yang planga-plongo di sana. Cowok satu ini malah lebih senang menganggu Dian, tetangganya. Sahabatnya juga, sih. Itupun kalau Dian mengakui.
"Eh, tadi gue lihat Hadwan tahu." Ya iya lah, dia juga lihat pas di depan gerbang saat Luiz dan dirinya bertemu dengan lelaki itu. "Barusan, sih, sebenarnya lihatnya. Nggak tahu dia marah atau nangis, tapi matanya merah."
Arisha langsung mendongak saat mendengar kata nangis. Hadwan, nangis, lagi!? Kedua kalinya dia tahu. Dan yang sekarang, entah benar atau tidak.
"Liat di mana?" tanya Gino memancing.
"Ruang kesenian, lagi sama Babang."
Intan dan Arisha langsung silih pandang dibuatnya. Bagaimana kalau mereka bertengkar, karena Babang menganggap kalau Hadwan itu penyebab Arisha marah?
Mana Babang kalau marah serem lagi.
Tanpa aba-aba, kedua gadis itu langsung berlari menuju ruang kesenian dekat taman yang dekat lapangan tadi. Jaraknya terasa semakin jauh saat takut seperti ini.
"Mungkin nggak, sih, kalau Babang tonjok-tonjokan sama Hadwan?" tanya Intan semakin khawatir.
"Bisa jadi!"
Begitu sampai ruang kesenian, mata keduanya membola. Matanya merah, kan, katanya? Kelihatan marah kan tadi kata Luiz?
Lalu, ini apa? Babang dan Hadwan lagi kompak angkat-angkat alat kesenian.
Saat mau keluar, Babang langsung memicingkan mata mereka berdua. Tunggu, ini udah baikan?
"Kalian ... hah?"
Intan dan Arisha kembali silih pandang, seakan menuntut untuk salah satu saja yang menjelaskan.
"Iya, gue udah baikan sama Arisha."
"Anjir. Kenapa bisa? Kapan lo bujuknya?"
Intan hanya tersenyum so misterius. Lalu, seakan merasa bangga saat Babang menatapnya kesal.
"Kenapa gue yang kebanyakan bacot, nggak dimaafin mulu, ya, Friend?"
"Lu, sih, banyakan ngomong yang itu-itu lagi. Sogok kek, setidaknya pake es krim atau COKELAT, atau yogurt."
Babang berdecih, "MATA LO."
"Mata gue baik-baik aja." Arisha mengangkat dagu sombong. Ya meskipun menyebalkan, setidaknya Arisha sudah kembali, tidak sedingin biasanya lagi.
Di satu sisi, ada Hadwan yang berdecak dan menatap Arisha tak suka. Padahal di balik itu, dia ingin bercengkrama sekadar berdebat perihal warna cat di tata usaha, antara putih atau gading.
"Lama lo."
Hadwan mengangkat gamelan sendirian, lalu berjalan seolah tidak berat sama sekali.
"WAN, NGGAK MAU BAIKAN DULU, NIH?"
"Dih apaan, sih, Bang? Ogah gue." Arisha mendelik saat bicara seperti itu.
"GUE NGGAK PEDULI."
Tidak peduli. Padahal dia sendiri yang bilang tidak mau, tapi ... tetap saja menyakitkan.
"Udah lah. Yuk!" Babang merangkul Arisha, tetapi tangan gadis itu terlalu lincah sampai bisa dengan cepat menarik tangan Babang dan memelintirnya.
"NGGAK SOPAN. MAU GUE BUANG KE JATI GEDE!?"
Babang merintih dengan Intan yang tertawa tanpa beban melihatnya. Huh, apaan, sih. Gadis itu tidak bersamanya jika saat susah seperti ini, malah seolah membela Arisha. Gemes!
"Nggak, nggak. Gustiii." Babang makin merintih dibuatnya. Meskipun Babang itu sepupunya, tetap saja tidak boleh. "Ar, asli, Ar. Sakit iniii. Nggak lagi-lagi dah gue."
"Ampun nggak?"
"AMPUUUN!"
Arisha melepaskan tangan Babang sembari mendengus. Arisha, ternyata masih senggol bacok anaknya. Yang membuat Babang bersyukur, untungnya pas kemarin marah pada dia dan Intan, Hadwan juga, gadis itu tidak main fisik. Dia bisa kalah. Babang masih jauh banget dari Arisha soalnya.
Mereka bertiga berjalan kembali ke lapang. Ternyata sudah ada Bisma yang menyuruh mereka untuk lekas berbaris. Katanya, mau langsung menyambut dulu di depan alun-alun. Namun, ini yang rangkap dengan drumband. Sementara yang anak Pramuka doang, nanti di lapangan.
Acara berjalan dengan lancar sampai Arisha tampil di penampilan mereka yang utama. Gerakan gadis itu pun lebih terlihat bebas dan ceria, tidak kaku seperti hari-hari kemarin.
Dan itu, berkat Babang yang terus ngeroasting tiada capek tiap harinya.
Setelah selesai, mereka menepi dan keluar dari pintu samping taman sampai mengumpul semuanya di sana. Setelah mengucap hamdalah karena sukses, Intan menarik tangannya menaik kembali. Di sana, ada kepala sekolah lama dan baru yang masih diarak naik kuda renggong di lapangan.
Acaranya bukan lumayan meriah lagi, tapi super meriah.
Kekeluargaan di sekolah ini ternyata kental juga. Guru-guru yang lain, bahkan sampai joget di depan kuda itu dengan lincah.
"Misi, dong, misi!" Anida sengaja menubruk Arisha, biar gadis itu terjatuh. Dan dia bisa beralasan dengan buru-buru karena pengen nonton. Kan lumayan kalau Arisha jatuh ke bawah. Eh, ternyata ... dia tidak kuat mendorong Arisha. Malah sebaliknya, Anida yang jatuh.
"Ar, gimana, sih!?"
Lah?
Arisha menoleh, mendapati Anida yang terjatuh. Tadi dia nabrak!?
"Kenapa, An?" Gadis itu membantu Anida untuk berdiri kembali. Lain lagi dengan Intan yang malah terlalu fokus ke depan.
"Gue nggak butuh bantuan lo. Hati-hati dong."
"Kesenggol?"
"Iya lah."
Bukannya tadi diam?
"Oh, maaf. Nggak sengaja." Arisha menarik tangannya kembali, menepuknya beberapa kali seolah merasa kotor.
Ini anak bau-bau gimana gitu. Bukannya berdiri, malah tetap duduk di sana. Haus perhatian banget.
"Sengaja, kan?" teriak Anida lebih sengaja sampai beberapa orang di belakang mereka pun langsung menoleh dan memperhatikan keduanya.
Biasanya, si Anida nih yang malah sengaja.
"Nggak kebalik!?"
Itu Luiz. Baru juga dia yang mau ngomong. Sekarang Gino yang maju membela.
"Dikira gue nggak tahu? Gue lihat, Anida." Lelaki itu tersenyum miring.
Anida malu jadinya. Mata gadis itu mengerling, lalu mendapati Hadwan yang hanya diam memerhatikan.
"Had, bantuin." Iyuh, Luiz jijik lihatnya. Sementara Arisha hanya mendengus, menoleh pada Hadwan dengan tatapan menusuk. Mau bantuin nih pasti. Dasar, buaya darat. Nantinya, Hadwan pasti dukung Anida. Menyebalkan. Lalu, dia berharap apa memangnya!?
Keduanya kan makin dekat. Sudah pasti, Hadwan akan melakukan itu.
"Tangan gue lagi bersih."
Tolong, Arisha ingin tertawa mendengarnya. Anida terlalu memalukan dirinya sendiri.