"Tan, ada yang nyari."
Intan yang sedang membantu bunda Babang di dapur itu menoleh kaget. Dia tidak pernah dicari, masalahnya. Kalau dicari pun, paling kalau ada lagi butuh doang, seperti bapaknya. Ada, sih, Arisha. Masa gadis itu yang mencarinya? Menimbang kalau Arisha masih marah besar pada Intan empat hari ini. Namun, ya Alhamdulillah kalau beneran gadis itu.
"Siapa, Bang?" Tania yang bertanya.
Namun, lelaki itu malah melihat bergantian antara Intan dan Tania beberapa saat, lalu menggeleng pelan. Dia juga tidak tahu wanita itu siapa. Tiba-tiba aja datang ke rumah dan mencari Intan.
Hal itu membuat mereka menyimpan s*****a dapur dan berjalan penasaran ke ruang tamu. Di saat Tania menyapa wanita dengan kerudung lebar sampai paha yang duduk dan menyapa Tania seperti ibu-ibu pada umumnya, Intan terdiam membatu di tempat dengan Babang yang berdiri di sampingnya dengan siap siaga.
"Lo kenal? Bukan yang jahat, kan?" Babang berbisik yang dia balas gelengan. Meskipun, sebenarnya jawaban Intan tidak membuat dia tenang, karena gelengan itu mengandung banyak hal.
Intan melangkah kaku saat Tania menyuruhnya lebih mendekat lagi. Dia agak aneh. Kenapa, wanita itu bisa sampai di sini?
Ada kagetnya, tapi ada juga senangnya. Wajah Nia seolah melihatkan cahaya yang siap menarik Intan untuk lekas keluar.
"Bibi. Kok?" Tanpa aba-aba, Nia memeluk Intan begitu erat. Sebagai bibi, dia merasa amat bersalah pada keponakannya ini. Dia enak-enak di luar, sementara Intan harus sengsara. Gosip bapak tiri Intan itu, sudah menyebar ke telinga Nia dari beberapa hari yang lalu.
Nia itu awalnya tenaga kerja wanita di Hongkong. Katanya, dia ingin berhenti dan balik ke Indonesia. Namun, setelah sampai rumah, dia tidak menemukan siapapun di sana. Rumah Intan kosong. Entah bapak dan adik tirinya ke mana.
"Tinggal sama Bibi. Ya? Kita pulang."
Babang mengangkat kepala kaget. Itu tandanya, dia tidak bisa dekat lagi, dong. Rumahnya maksudnya. Ya meskipun, Babang senang kalau Intan bahagia.
Intan mengangguk kecil, membuat Nia semakin mempererat pelukannya. Tania melihat Babang lebih dulu, tersenyum mengejek seolah bilang: kasihan.
Intan mengambil tas. Selama Arisha marah padanya, dia ditampung di sini. Sementara Hadwan balik ke rumah, meskipun sempat ditemani Babang karena katanya tidak enak. Entahlah, Hadwan sering tidak nyaman di rumahnya sendiri.
"Pamit, ya, Bunda. Makasih, udah izinin aku tinggal di sini. Maaf sempet ngerepotin."
"Duh, gak papa. Bunda malah seneng kalau kamu di sini. Si kembar juga bisa baikan karena adanya kamu."
Intan menarik senyum simpul. Nia pun berterima kasih banyak pada Tania, sampai tak terasa kalau mereka memang sampai dekat seperti itu. Bahkan, sampai bertukar nomor telepon.
"Gue ngikut, ya, Tan."
"Hah?"
"Biar tahu rumahnya di mana. Masa sama calon sendiri nggak tahu."
Intan langsung menginjak kaki Babang lumayan lama. Di sini ada bibinya, lho. Anak ini senang sekali cari gara-gara.
"Sakiiiit."
"Asal mangap wae tuda!"
Intan mengangkat kakinya kembali. Meskipun begitu, Babang tetap mengambil kunci motor di laci dan mengambil helm, bersiap untuk mengantar calon istrinya ini. Kepedean memang si Babang.
"Saya pamit, ya, Tania. Terima kasih."
"Iya. Jangan sungkan gitu."
Nia tersenyum, menarik Intan untuk lekas keluar setelah mencium tangan Tania dan memeluknya sesaat.
"Mau saya pesenin taxi, Tan?" tanya Babang saat sampai luar gerbang.
"Nggak perlu naik taxi, kok."
Oh, mungkin motor.
"Jalan kaki aja."
Hah?
Intan makin linglung. Mereka beneran jalan kaki, dong. Sementara jarak rumah Babang ke daerahnya kan jauh. Naik motor aja sampai lima belas menit. Bagaimana jalan kaki?
"Yuk, masuk."
"Hah?"
Intan dan Babang sama-sama kaget. Masalahnya, mereka baru saja sampai di depan rumah yang terletak di samping rumahnya Babang. Bibinya ini halu jadi orang kaya lagi, apa!?
"Bi?"
"Ini ... udah jadi rumah kita."
"Gimana bisa? Kapan belinya?"
"Tiga hari yang lalu."
"Hah?"
"Hah, heh, hoh. Ayo, masuk!"
Babang dan Intan silih pandang bingung sebentar, sebelum akhirnya tertawa lepas karena terlalu tinggi berekspektasi tentang jarak. Babang sudah mengeluarkan motor, eh ternyata rumahnya cuma pindah lima langkah doang.
•
"Abang tunggu sini, ya."
Arisha berdeham, lalu turun dari mobil dan memasuki mini market dengan cepat. Tentu tujuan dia saat ini adalah es krim dan yogurt. Meskipun kedua makanan itu, mengingatkan dia pada sosok Hadwan, mana bisa dia menolak pesona cokelat dingin dan yogurt. Sudah Arisha bilang, kalau dia lemah dengan cokelat.
Begitu mengambil satu box paling besar di sana, mumpung Fatur memberi uangnya banyak, dan bisa dibawa ke sekolah untuk dinikmati anak-anak lain, suara mbak kasirnya langsung serasa memanggil Arisha sampai dia menoleh.
"Mbak?" Oh, ternyata bener. "Ini, dari mas itu. Katanya jangan sakit terus. Dia khawatir."
"Hah? Salah orang mungkin, Mbak. Bukan saya."
Arisha mengikuti arah pandang mbak tersebut. Namun, Arisha tetap tak bisa mengenalinya. Lelaki itu pakai Hoodie cream dan menghadap belakang. Hadwan? Heuh, tak mungkin. Hadwan tidak pernah mau pakai baju warna itu.
"Bener, kok, mbak. Mbak Arisha, kan?"
"Iya, sih, tapi—"
"Kenapa, Mbak?"
"Nggak. Makasih, ya, Mbak."
Setelah pegawai tadi berlalu, Arisha hendak menghampiri lelaki itu, tapi keburu pergi. Dih, dia mana mau makan cokelat batangan ini. Kalau dia dikasih racun bagaimana? Orangnya aja tidak Arisha kenali. Bahaya menurutnya.
"Kalau dia balik lagi, kasih aja ke dia." Arisha memberikan cokelat tadi ke kasir sebelah, mbak yang kasih tadi.
"Lho, Mbak?"
"Bilang aja, nggak usah kebanyakan khawatir sama orang kayak saya."
Bertepatan dengan itu, pembayaran Arisha berhasil. Membuat dia lekas balik ke mobil kembali.
"Bang, ada yang kasih cokelat, lho, sama aku." Sesi curhat Arisha dengan abangnya pun akhirnya dimulai kembali setelah delapan belas jam dia marah.
"Siapaaaa?" Oke, sifat posesif Fatur bau-bau mau muncul. "Jangan diterima kalau nggak jelas. Apalagi kalau dari cowok."
"Iya, sih, nggak jelas emang yang kasihnya. Tapi cowok, kelihatannya." Fatur langsung menoleh, bertepatan dengan lampu merah. "Nggak aku terima, Abang. Takut lah. Kalau dikasih apa-apa gimana?"
"Bagus, pinter."
Arisha mengangkat dagu sombong. Adik siapa dulu.
"Macet, lama!" ucap Arisha tak suka sambil membuka es krim.
Fatur menurunkan kaca jendela, memajukan kepalanya sedikit. Mana suara ambulance kenceng bener di depan. "Ada apa, Mas?"
Padahal, jawaban kecelakaan sudah ada dalam otak Fatur.
"Kecelakaan di depan, Mas," jawab pria yang pakai motor itu.
"Inalillahi." Fatur langsung menegakan tubuh kembali. Semakin maju ke depan, semakin Fatur bisa melihat dengan jelas kecelakaan itu. Ternyata bener.
Arisha sempat merinding melihat darah di sana. Namun, tak berhenti di situ, matanya terbelalak saat melihat Hadwan ada di tepian jalan dan membantu korban. Hoodie dengan orang tadi sama. Apa mungkin, Hadwan?
"Kenapa lagi?"
"Kasian." Kalau itu benar memang Hadwan, lelaki itu mau apa lagi? Biasanya, Hadwan suka ngajak perdamaian kalau kasih cokelat. Apalagi tadi yang gede dan lumayan banyak. Aish, pusing ah.
•
Arisha dan Luiz niatnya mau langsung ke lapangan. Namun, berhubung Gino dan Gio telat, mereka harus menghampiri kedua lelaki itu lebih dulu di pos satpam untuk menyelamatkan keduanya.
"Yan, dia kebagian tampil. Ngapain ditahan?"
Kemerdekaan untuk orang yang sibuk mau penyambutan.
"Lah, siapa yang nahan, sih?" Dian memberikan protes. Mata gadis itu semakin terlihat galak. Mana meskipun cuma diam pun, kelihatan galak pula. "Mana ada gue nahan. Hari ini bebas mau datang jam berapa aja. Yang penting ikut."
Luiz langsung menatap Gino yang lagi duduk sambil makan onigiri itu tajam. "Gue santet lu!"
"Mana minumnya."
Meskipun begitu, Luiz tetap melempar botol air mineral pada mereka berdua. Bilang aja kalau mau nyuruh, tolong beliin minuman. Heuh, kadang Luiz ingin sekali melempar Gino ke Palung Mariana.
"Had, tumben lo siang." Gio langsung melayangkan kata heran pada Hadwan yang baru datang. Lelaki itu kesiangan pasti karena membantu orang kecelakaan tadi pagi.
"Yaaa, namanya manusia. Kadang kesiangan, kadang kepagian." Hadwan melirik pada Arisha yang langsung memalingkan muka saat melihatnya.
"Nggak ada yang sempurna," lanjutnya dengan intonasi lebih keras.
"Gaya lo, pengen gue tendang." Gio melempar sampah onigiri ke depan Hadwan. Tapi tidak kena untungnya.
"BUANG SAMPAH SEMBARANGAN!" Dian tidak terima dengan itu. Gadis dengan rambut sebahu tersebut mengambil sampah Gio, lalu melemparkannya ke tempat sampah samping post.
"Dih, lu lagi salah. Mana ada plastik ke tong organik." Gio makin bersungut-sungut saat melihat Dian yang menurutnya salah melempar sampah.
"Heh, Midun. Plastik itu organik."
"Anorganik, b**o!" Gio tetap mempertahankan apa yang selama ini dia tahu.
"Organik, Gio. Coba lo perhatiin lagi. Menurut kimia juga, plastik itu organik."
"Anorganik!"
Arisha seakan melihat masa lalu. Biasanya, yang sering mempersalahkan hal kecil pun, itu dia dan Hadwan. Entah kenapa, dia malah semakin mengingat itu kembali. Nyatanya, dia tidak bisa menghapus Hadwan dengan begitu cepat.
"Gue duluan!" pamit Arisha datar dan berjalan terburu-buru ke lapangan. Luiz bingung kan jadinya. Tapi, menyusul Arisha akan lebih baik daripada menunggu Gino dan Gio. Hal itu membuat Hadwan langsung menoleh dan memusatkan pandangan pada langkah Arisha yang tiap detik semakin lebar langkahnya.
"Lo lagi kenapa sama dia?" tanya Gino tiba-tiba. Sebenarnya, tidak mempersalahkan antara Hadwan dan Arisha. Tidak pula benci dengan Hadwan. Itu mah Hadwan saja yang sering melihatnya seakan tak suka. Padahal, dia pun tidak akan merebut Arisha dari lelaki itu.
Gino hanya ingin berteman lebih dekat. Melaju ke jenjang pendekatan, itu bonus.
"Kepo lo."
Gino berdecak. Lalu berdiri dan menepuk bahu Hadwan sekali.
"Cuma mau ingetin aja. Orang yang suka Arisha banyak."
"Contohnya lo?"
Gino mengangkat bahu tak acuh. "Bisa jadi. Siapa, sih, yang nggak suka sama Arisha? Lo juga suka, kan?"
Hadwan hanya bisa terdiam, sebelum akhirnya memilih berjalan ke lapangan dengan langkah terburu-buru.