Beda Urusan

1515 Kata
Babang ternyata sudah berdiri di dekat tangga dan mengajak Arisha untuk segera pulang. Lalu, mengucapkan terima kasih pada Hadwan karena katanya telah menemani sepupunya. Tanpa menunggu apapun lagi, Arisha lekas berjalan menghampiri Babang dengan Hadwan di belakangnya. "Lo bawa motor?" Babang melirik Arisha sebentar saat mendengar pertanyaan Hadwan. Lelaki itu pasti berpikir mengenai yang tidak-tidak. Apalagi dia pernah bicara kalau Arisha tidak akan mau dibonceng oleh lelaki selain Hadwan, Tio, dan Fatur. Dan Babang, seringnya bawa motor. Pada Fatur saja, Hadwan sempat salah paham. Bagaimana dengan dirinya? "Gue bawa mobil, Wan." Terlihat kalau Hadwan menghela napas lega. Kalau naik mobil, setidaknya Arisha tidak akan terlalu berdekatan dengan Babang. Lagipula, Arisha tidak akan mau jika dibonceng oleh lelaki itu, meskipun Babang masih sepupunya. "Buruan, Bang!" Arisha sudah terlihat tidak nyaman, membuat Babang pamit pada Hadwan dan lekas berjalan keluar Hale. Lelaki itu hanya bisa melihat langkah Arisha begitu saja, sebelum akhirnya ikutan keluar setelah mendapatkan pemberitahuan dari pelayan Cafe tadi. Begitu duduk di kursi belakang, Arisha bersedekap d**a dan menatap Babang yang telah mengendarai mobil hitam tersebut tajam. "Jahat, lo. Masa gue diajak ke sini. Di tempat, di mana ada orang yang buat kakak gue begitu." Babang hanya menghela napas mendengarnya, melihat Arisha dari kaca yang membuka muka tidak suka. Tuh kan, dia malah merasa bersalah. Mana dia mau saja pula saat Hadwan menyuruhnya untuk ke sini dan mengajak Arisha. "Gue nggak suka. Jangan ajak gue lagi kalau ada mereka berdua!" tegasnya lagi membuat Babang mencebik. "Justru itu, gue harus ajak lo biar berdamai dengan realita." Apa katanya? Damai dengan realita? Memangnya, berdamai dengan realita itu harus melewati cara ini? Tidak, bukan? "Nggak gini juga, kali, Bang. Jatuhnya gue makin enek lihat mereka." "Padahal Hadwan udah merasa bersalah, meskipun bukan salah dia. Ini pure salah Arian, sih, Ar." Arisha tidak bisa untuk menelan ucapan Babang lagi. Dia masih belum bisa menghilangkan sebuah pikiran buruk mengenai Hadwan dan masih terikat pada status lelaki itu dengan Arian. "Paling merasa bersalah bentar doang." "Hadwan beneran merasa bersalah. Dia katanya nyesel, tapi gue nggak tahu nyesel karena apa. Coba aja lo liat dari sikap dia. Bahkan, Hadwan rela ngelakuin apa aja demi bisa dapatin maaf dari lo." Kali ini Arisha terdiam lumayan lama, sampai hanya terdengar deham yang singkat. Huh, Babang yang melihatnya saja sudah geram. Bagaimana dengan Hadwan yang terus menghadapi Arisha dengan sikap yang seperti ini terus tiap kali bertemu? "Hm." "Giliran dikasih fakta malah diem." Arisha mendengus karenanya. Gadis itu seperti tidak ada niat untuk sekadar bicara lebih lanjut tentang Hadwan atau ingin mampir ke mana. Sampai mobil sudah terparkir rapi di pekarangan rumah Babang pun, ternyata Arisha masih betah untuk terdiam. "Gue balik, ya." Arisha turun, menutup pintu sampai terdengar blam lumayan keras. Babang yang sudah berdiri di luar itu pun menoleh, "Iya, hati-hati." Arisha memasang mimik mencemooh. Babang membalikan ucapannya! Menyadari ekspresi itu, Babang terkekeh. "Walau cuma lima langkah, bisa aja lo kesandung batu atau kepeleset. Lo kan ceroboh orangnya." Babang sepertinya sudah belajar pada Hadwan sampai sering bisa mengatainya tiap hari. "Ngomongnya!" "Suka bener?" Arisha tergelak. "Haha. Iya." Gadis itu lekas beranjak dari hadapan Babang yang mulai mengitari mobil dan melihat dirinya seksama. Babang hanya ingin memastikan kalau Arisha itu selamat sampai masuk rumah tanpa ada adegan kepeleset seperti setiap hari yang sering terjadi. Bahkan, mirip dengan resep obat yang sehari tiga kali. Bukannya dia khawatir karena ingin menolong, tapi Babang akan menjadi orang satu-satunya yang akan tertawa lepas di depan rumah saat raja malam sudah muncul. Arisha mendongak sebentar sebelum menutup pagar. Di depan pagar itu ada sebuah motor yang tiba-tiba berhenti. Babang yang masih di luar pun sampai memicingkan mata dan berjalan ke perbatasan rumah keduanya. Dia tidak mengenali motor itu, apalagi penggunanya yang masih memakai helm dan jaket navy. Ini bukan Hadwan, kan? Nyari gara-gara kalau orang ini beneran Hadwan. Namun, saat helm itu terlepas, mata Arisha terbuka lebar melihatnya. "Jangan dulu pergi!" cegah Hadwan seraya turun. Keduanya terhalang oleh pagar dan Arisha, sungguh tidak akan mau membukakannya. "HP lo ketinggalan." Arisha lekas menarik ponsel yang Hadwan kasih dari celah pagar hitam itu. Babang masih setia menonton tanpa bicara apa-apa. Dia hanya butuh popcorn untuk saat ini. Kali saja drama mereka masih sangat lama seperti biasanya. "Hm, makasih!" katanya seraya berbalik cepat. Tanpa memusingkan omongan Hadwan yang mengingatkan dia untuk membawa alat kebersihan karena besok ada kerja bakti sekolah. Lagipula dia masih ingat betul info yang dua jam lalu disebar tersebut. "Pulang ke rumah nggak, lo?" tanya Babang mencairkan suasana. "Udah malem." "Ya udah lah, balik ke kos." Hadwan bergegas memasuki pekarangan rumah Babang. Iya, tempat kosnya memang di rumah lelaki itu dengan bayaran terima kasih dan maaf merepotkan. Masalahnya, Tania tidak mau dibayar. Itu lah susahnya. "Dari mana?" Baru juga membuka pintu, lagi-lagi ada suara yang membuat dia harus beberapa kali mengusap d**a kaget. Lampu perlahan menyala, terlihat Lastri yang sudah memakai piyama tidur. "Lapangan futsal, nemenin Babang." Arisha meraih tangan Lastri dan mengecupnya. "Maaf, tadi nggak nge-chat karena di sana lapar, jadinya lupa izin." "Ke kamar sana. Jangan mandi malem." Ibunya balik lagi, jadi sering marah kembali. Ya bagus lah. "Iyaaa." Arisha beranjak ke kamar dengan lunglai, membanting tubuhnya ke kasur dan melihat atap rumah seakan menghitung lampu putih itu dengan pikiran yang melayang pada ucapan Hadwan di Cafe tadi. Sebelum akhirnya, gadis itu perlahan menutup mata sembari mendekap pembicaraan yang terus terngiang di otaknya itu. • "Kenapa harus ada pertemuan kalau ujungnya kepisah?" Intan memangku tangan di atas motor Babang. "Kenapa kalau Arisha itu sulit buat kita mengerti?" "Dan kenapa kita nggak bisa liat telinga sendiri?" "Terus kenapa roti ini dikasih nama roti wangi?" Pertanyaan random yang muncul dari mulut Intan dari tadi mengundang Babang untuk mendelik. Lelaki itu lagi pakai sepatu dengan Hadwan di sampingnya yang masih makan puding buatan Tania. Puding cokelat, mengingatkan dia pada orang di sebelah rumah Babang. Dan pertanyaan Hadwan pun muncul, "Kenapa dia seneng banget cokelat?" "Siapa?" tanya Babang seraya meraih puding cokelat miliknya di atas meja depan Hadwan. "Sepupu lo." Babang mengangguk kecil, memilih sibuk makan. Sementara Hadwan malah berubah mengamati rumah Arisha. Kelihatannya sejuk, karena banyak beberapa tanaman di depannya. "Kenapa—" "Lo sebenarnya tanya sama siapa, sih?" Akhirnya Hadwan membuka suara terhadap aksi Intan tersebut. "SAMA MOTOR—" teriaknya emosi. Intan hanya ingin mengeluarkan pertanyaan yang tiba-tiba masuk ke otaknya ini. Daripada dipendam, mending dia omongkan meski jatuhnya ngomong sendiri. "EH, ARISHAAA. BERANGKAT SAMA SIAPA!?" Hadwan langsung menoleh gesit dan berdiri setelah mendengar teriakan Intan barusan. Terlihat kalau Arisha baru keluar dari rumah sembari mendorong motornya. "Sendiri. Mau nebeng?" "Iya, gue nebeng!" Hadwan yang menjawab. Padahal motor lelaki itu sudah jelas ada di samping motor Babang. Motor lelaki itu ternyata baru, soalnya berubah warna menjadi hitam, sampai Arisha tidak mengenalinya semalam. Padahal, nomor plat motor Hadwan yang lama sudah dia hapal. Eh! "Gak jelas." Arisha menggerutu dan memilih memanaskan motor. Lalu, masuk lagi ke dalam untuk mengambil minum. Babang tertawa melihat balasan Arisha yang tidak ramah itu dan memeragakan ucapan Arisha barusan dengan mulut yang penuh sampai tersedak. Kali ini, Hadwan yang tergelak puas saat melihat Babang buru-buru menggapai air putih dingin di meja itu dan menegaknya cepat. "Kualat ini mah kayaknya," cetus Intan santai. "Anjir lah, bukannya tolongin." Hadwan dan Intan hanya tertawa membalasnya. "Duluan, Tan." Arisha tiba-tiba saja sudah naik ke motornya dan membunyikan klakson sekali sebagai tanda pamit. "AR, TUNGGUIN. GUE MAU NEBENG!" Teriakan Hadwan yang melengking dan berusaha menghampiri Arisha ke depan itu pun tak Arisha gubris sama sekali. Gadis itu malah semakin menaikkan kecepatan. Arisha kira, ketenangan dia akan mulai datang karena telah berhasil menghindar dari Hadwan. Ternyata salah. Begitu memasuki sekolah, Anida berdiri di hadapannya dengan sengaja. Sekarang posisi mereka berada di depan ruang sekretariat Pramuka yang masih sepi. "Lo seakan ngomong, kalau lagi relain Hadwan dengan nitip dia ke gue." Arisha mengernyit. Dia tidak paham. "Tapi sikap lo kenapa beda lagi?" "Hah, beda apa?" Anida semakin maju dengan tatapan tajam. "Lo sengaja jual mahal kan biar Hadwan terus ngejar lo? Lo sengaja cari sensasi!" "Apa, sih?" "Kenapa semua yang gue punya harus lo ambil?" Anida mengepalkan tangan makin emosi, "temen dekat gue, sahabat gue, cowok yang gue suka lama, semuanya ... jadi sama lo terus sampai gue kayak sampah yang langsung dibuang setelah nggak dibutuhkan. Kenapa lo haus banget? Nggak cukup kalau satu orang aja yang lo ambil dari hidup gue?" "Kenapa harus semuanya, Arisha!? Kenapa!?" Arisha gelagapan saat melihat air mata Anida yang turun deras. "Gue nggak ambil apapun yang lo punya." "NGGAK, LO AMBIL SEMUANYA." "Tapi semuanya yang mendekat, bukan gue yang sengaja!" tegasnya tidak mau disalahkan dan hendak berjalan kembali. Namun, satu tangan Anida hendak mendarat di pipinya membuat Arisha menahan tangan itu dengan mata yang semakin tajam dibuatnya. Anida salah cari lawan bertarung. Bertengkar tipe Arisha bukanlah tampar dan menarik rambut seperti cewek pada umumnya, melainkan langsung hajar! "Mau lo apa, sih? Mau gue menjauh dari Hadwan, kan?" Gadis itu menarik napas lebih dulu, sengaja memberi jeda. "Udah gue kabulin. Terus apa? Bukannya Hadwan udah sering sama lo lagi?" Dia di mata Anida kayaknya salah mulu. "Nggak. Dia tetap terpaku sama lo!" "Bukan urusan gue lagi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN