Hadwan bingung dengan panggilan Arian yang lekas menyuruhnya memisahkan Arisha di depan sekretariat Pramuka. Lelaki yang baru sampai parkiran dan berniat ingin membeli makanan lebih dulu di parkiran itu mendadak urung. Langkahnya makin melebar guna mempercepat waktu, sampai Babang dan Intan yang masih duduk di kursi warung itu pun tidak digubris sama sekali oleh Hadwan.
Dia tidak tahu Arisha sedang bertengkar dengan siapa. Pastinya, dia harus segera membuat Arisha sadar. Gadis itu lumayan tempramental, apalagi dengan laki-laki, seolah mempunyai dendam yang tersembunyi begitu banyak.
Dan kenapa, tidak Arian langsung yang memisahkannya!?
Terus Arian jadinya malah nonton doang begitu?
"Nggak, itu urusan lo. Kalau lo nyuruh dia buat berhenti mengejar, Hadwan pasti berhenti."
Senyum miring Arisha lekas terbit mendengarnya. Gila. Ini benar-benar gila. Baru kali ini dia menemukan perempuan yang sangat terobsesi pada laki-laki. Apalagi sampai menyalahkannya seperti ini. Anida benar-benar gila.
"Emang gue siapa, sampai Hadwan nurut kayak gitu?" Arisha membanting tangan Anida. "Gue udah ngomong ke Hadwan, jangan deketin gue lagi. Tapi dia tetep kayak gitu. Gih, lo aja yang buat dia sadar. Peringatan gue nggak mempan!"
Anida seolah mendapat sinyal yang buruk. Kalau Hadwan tetap berlaku seperti itu pada Arisha meskipun jelas-jelas sudah disuruh mundur, berarti Hadwan benar-benar tulus. Anida benci mendengarnya.
"Anjir!"
Plak!
Arisha lengah. Tamparan yang jelas dari tangan Anida itu mendarat sempurna di pipinya, sampai Arisha meringis, memegang pipi yang langsung mencetak lima jari. Pipinya sepertinya memerah.
"Heh, An! Sadar! Lo tuh suka atau obsesi?" Anida diam mendengarnya. Jelas-jelas kalau dia membutuhkan Hadwan. "Masih mending, ya, gue masih sangat ingat kalau lo itu perempuan. Kalau nggak, ini tangan udah gatel mau lempar lo ke atap sekolah!"
Huh, mengerikan.
"Gue nggak takut!"
"UDAH, WOY!"
Arisha mendelik mendengar teriakan tersebut. Mau apa, sih, si Hadwan!?
Seolah takut akan terbongkar, Anida menyembunyikan tangannya ke belakang tubuh.
"Ayo ke UKS!" Hadwan menarik tangan Arisha agar cepat menjauh. Namun, gadis itu menepis tangan Hadwan dan menatap Hadwan marah. Dia tidak suka saat Hadwan memegangnya dengan seenaknya. Dia bukan manekin yang dipajang di tiap toko baju.
"Oke, sorry." Hadwan mengangkat tangannya, seakan merasa bersalah. "Tapi ayo ke ruang kesehatan."
"Nggak perlu."
"Tapi pipi lo merah. Ulah Anida?" Hadwan melirik Anida yang berada di belakangnya, meskipun tidak bisa melihat gadis itu dengan lama.
Anida tidak ikutan menjawab atau pun berniat menyangkal. Dia hanya mengeluarkan tatapan mengancam pada Arisha.
"Lo nggak perlu kayak gini terus sama gue." Arisha menunjuk dirinya sendiri, "Gue, nggak butuh lo, Wan. Anida yang lebih butuh. Dia lagi sakit. Dia yang harusnya dibawa ke UKS, terus panggil guru BK."
"Hah?"
"Ke rumah sakit jiwa sekalian!"
"Apa, sih, lo!?" Anida jelas tidak terima mendengarnya. Napasnya semakin memburu tidak suka.
"Urusin tuh pacar se-frustasi lo itu!" teriak Arisha seraya menubruk bahu Hadwan saat beranjak dari sana. Jelas kalau Hadwan tidak akan membiarkan itu. Dia malah mengejar Arisha dan membiarkan Anida sendirian, membuat iri dan dendam dalam dirinya itu semakin menggunung dibuatnya.
"Arisan!" Arisha tidak mendengarkan teriakan Hadwan sama sekali. Langkahnya semakin melebar sampai berlindung di ruang guru dan menghampiri guru kimia, meskipun sebenarnya tidak tahu mau apa. Yang penting, dia bisa keluar dari Hadwan.
Merasa tidak bisa menyusul Arisha karena malah mengobrol dengan guru, Hadwan berbalik kembali dan berinisiatif meminta sapu tangan dan air es ke kantin, tempat langganannya biar gratis.
"Kenapa, Arisha?" Guru itu menutup buku.
Arisha harus memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat.
"Meja Pak Dehar di mana, ya, Bu?" Kebetulan lembar kerjanya ketinggalan di beliau. Jadi, dia bisa menggunakan cara itu.
"Oh, itu di pojok paling akhir."
"Terima kasih, Bu."
"Iya."
Arisha berjalan mengambil buku, kemudian pamit dan memasuki kelasnya. Matanya membola saat menemukan sebuah cup lumayan besar dengan sapu tangan biru langit.
"Ini dari siapa?" tanyanya pada Ela yang duduk di belakang sambil main ponsel.
Ela langsung mendongak, "Nggak tahu, nggak liat."
"Oh."
Lalu, ini dari siapa? Saat duduk dan mulai mengobati pipinya, Arisha mengecek ponsel dan menemukan sebuah pesan dari nomor yang tidak dia kenal.
Kurang lebih isinya seperti ini: Obatin pipi lo.
Ini siapa, sih?
"ARISHA. YA ALLAH, GUSTI. ITU PIPI MANEH KENAPA!?"
Intan dan segala kehebohannya. Gadis itu meraba pipinya, padahal jelas-jelas kalau lagi sakit.
"Ih, lu b**o, ya, Tan! Udah tahu pipinya merah. Sakit itu. Malah lo pegang," kata Babang terlihat linu. Intan meringis, menarik tangannya kembali. Kenapa Arisha tidak bilang, sih, kalau sakit?
"Ulah siapa, nih? Sampe cap lima jari kayak gini. Tumben banget lo kena tampar. Biasanya juga lo yang suka hajar," sambung Babang merasa aneh.
Arisha malah terdiam, tidak menjawab apa-apa. Lagipula dia masih bisa menghandle masalahnya dengan Anida. Karena kalau sampai Babang dan Intan tahu, keduanya pasti akan melabrak gadis itu dan semakin menjauhi Anida. Dan Anida, pasti akan menuduhnya yang menghasut Intan dengan Babang.
Huh, kenapa Anida banyak sekali drama dalam hidupnya ini!?
"Kacang, anying. Siapa, sih, hah?" Babang ternyata belum bisa terima dengan diamnya Arisha.
"Manusia."
"Lo nyebelin."
"Lo lebih nyebelin."
"Si Bangke."
•
"Wan .... " Baru juga masuk kelas, Cinta yang kebetulan lagi berdiri itu langsung menghampirinya ke ambang pintu. "Ada tragedi apa lagi, sih? Lo emang seganteng apa, sih, Wan? Perasaan biasa aja."
Hadwan mendengus mendengar itu.
"Gimana caranya, hah? Demi apa, lihat ini!" Cinta memberikan ponselnya yang langsung memperlihatkan video yang di dalamnya terlihat Arisha dan Anida dari samping. Anida terus memojokkan Arisha, menuduhnya, bahkan membentak.
"Lo dapat dari mana?" tanya Hadwan tanpa mendongak. Sampai di puncak pertengkaran, Hadwan meringis saat Anida menampar gadis itu. Ternyata iya. Pipi Arisha yang memerah tadi ternyata ulah Anida. Dan Anida, ternyata se obsesi itu padanya!?
Dia menyayangkan sikap Anida akhir-akhir ini. Memang apa yang Hadwan harapkan? Namanya manusia, pasti berubah kapan saja tanpa direncanakan, atau bahkan tidak disadari—seperi kasus Anida sekarang. Kadang dia merasa kasihan, karena Anida jadi sendirian. Mana gadis itu broken home pula.
Namun, di satu sisi dia juga kasihan pada Arisha yang menjadi pelarian Anida. Padahal sudah jelas, kalau Arisha tidak bersalah atas sikapnya saat ini. Karena usaha Hadwan, memang dia yang merencanakan sendiri, sesuai dengan kondisi dan langsung refleks.
"Dari Haikal. Tapi di atasnya ada tulisan diteruskan. Gue nggak tahu dia dapat dari siapa."
Hadwan memberikan ponselnya lagi pada Cinta.
"Makanya, lo tuh harus adil kalau punya dua gebetan."
"Heh! Gebetan gue cuma satu-satunya. One and only!"
Cinta bergidik ngeri mendengarnya. Dia baru kali ini mendengar ucapan bucin dari mulut Hadwan langsung. Biasanya, yang diomongin Hadwan tuh berat: masalah korupsi, pembangunan pas orde baru, belum lagi ngomongin hal random tentang bola. Dan orangnya emang sibuk, hampir tiap Minggu pasti dispen. Apalagi kalau lagi banyak acara di sekolah. Mengingat kalau Hadwan, hampir mengikuti semua ekskul di sini dan sampai menginap.
Hadwan terlalu cinta dengan sekolahnya.
Lagipula, Hadwan tuh tidak pernah mengaku punya gebetan seperti sekarang. Makanya Cinta kaget. Dulu, Hadwan itu perhatian pada setiap perempuan yang menangis sampai mereka susah membedakan kalau Hadwan itu cuma bantu doang atau suka. Nah, dari ini, Cinta jadi tahu hal sebenarnya.
"Jijik sumpah dengernya." Cinta kembali merinding dan berjalan ke bangkunya, bergidik ngeri kembali. "BELAJAR BUCIN DARI MANA, WAN?"
"Dari Athalla," jawabnya santai sambil melempar tas ke bangkunya. Di kelas ini memang hanya ada mereka berdua. Sementara yang lain pasti di kantin, karena cuma ada tas doang.
"Keluar dulu, Ta. Awas di sebelah lo ada makhluk!"
"Hadwan, b******n!"
Hadwan tergelak puas saat melihat Cinta yang langsung menoleh ke kursi kosong di samping gadis itu dan lekas berlari keluar kelas.
Tujuannya saat ini hanyalah kelas Anida.
•
"Ar, lo berantem sama Anida?" tanya Novi begitu datang dan memberikan ponsel dengan kamera tiga ke bawah itu ke atas meja. Intan dan Babang sontak melihat isi video tersebut. Sementara Arisha malah kelabakan. Kenapa Novi tahu!?
"Hah? Nggaaaaak."
"Video lo sama Anida udah kesebar di grup angkatan."
"Hah!?"
Siapa yang berani menyebarkan video semacam itu? Memang apa manfaatnya bagi mereka? Dan untuk apa, menjadikan masalah orang menjadi konten yang disebar di grup angkatan? Mending kalau dapat cuan, kan ini nggak. Cuma memenuhi memori doang.
"Kenapa lo harus sembunyiin ini? Kalau Anida salah, ya ngomong sama gue," ucap Babang langsung. "Lo sadar nggak, sih, kalau lagi dilabrak sama dia?"
"Nggak."
Babang mengepalkan tangan di depan wajah Arisha, seolah merasa geram dengan sikap gadis itu. Terus Arisha menganggapnya apa coba?
"Terus lo nyangkanya apa, hah? Curhat?" Arisha menggeleng polos. Hal itu membuat Babang ingin semakin melempar kepala Arisha ke tembok. "Lo nyangka Anida lagi deep talk? Iya?"
"Nggak juga."
Brak!
"Aaaa."
Intan menggebrak meja mendadak. Ela yang tadinya masih sibuk dengan i********: itu pun mendadak mendongak kaget.
"Gue nggak terima." Intan berdiri dan berjalan keluar kelas, yang sontak membuat Arisha dan Babang berlari menyusul. Arisha langsung menghadang gadis itu.
"Mau ke mana?"
"Anida!" jawab Intan menggebu seolah sedang menyiapkan baris berbaris.
"Aduh, Intaaaaan. Mau ngapain, hah!?" Arisha mulai ketar-ketir mendengarnya.
"Gue ngikut!" Babang malah ikutan. Huh, pikiran mereka berdua gimana coba? Bagaimana kalau ada yang merekamnya lagi!?
"Udah, biarin. Biar gue yang handle ini."
Kedua manusia itu langsung menoleh kompak dan menatap Arisha tajam.
"Gue, sih, masih nggak papa kalau kena tampar. Mungkin itu karma." Babang menjeda ucapannya. "Tapi untuk omongan Anida yang nyalahin lo, nyangka lo kalau udah merebut punya dia, gue nggak terima."
"Dan dia ngomong seenaknya, kalau Hadwan pergi itu gara-gara lo. Hadwan ngejar lo karena lo kayak gitu. Gue sebel dengarnya."
"Udah? Udah?" Arisha menatap Intan dan Babang bergantian.
"Jangan dilanjutin, takut sampe ke guru."
"Dih, padahal gue mau jadi pahlawan kesiangan."
Intan mendengus. "Lo salah orang, Bang. Arisha terlalu rumit."