Hasil Kesalahan Semalam
"Ampun...," rintihan pedih nan pilu, yang disusul genangan air bening, yang perlahan-lahan turun dari pelupuk mata seorang gadis muda bergaun pengantin di atas ranjang. Rahangnya tengah ditekan kuat-kuat, oleh lelaki yang seharusnya ia sebut dengan kata suami. Akan tetapi, pernikahan ini saja tidak diakui dan malah dianggap sebagai mimpi buruk oleh lelaki itu.
Saat beberapa jam yang lalu. Karena sudah telanjur menyiapkan segala sesuatu, termasuk dengan tamu undangan yang sudah datang memenuhi ballroom hotel, yang sengaja dipesan beberapa pekan sebelumnya. Lelaki ini, dengan terpaksa menggantikan peran kakaknya, untuk menikahi wanita yang sedang ia tatap dengan penuh amarah dan juga rasa benci. Dari tangan wanita ini yang terasa kasar, ia ragu, bila wanita ini adalah anak dari keluarga terhormat. Ia bahkan terlihat seperti orang biasa, dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya raya.
"Dasar jalangg!! Kenapa harus menyeret ku ke dalam hubungan terkutuk ini!!" seru lelaki bermata cokelat itu, Storm Ethan Dawson.
"Lepaskan. Saya mohon," rintih gadis itu lagi dan tekanan pada rahangnya pun dilepaskan, dengan mendorong wajah gadis muda itu.
"Dengarkan. Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Apalagi menginginkan wanita kotor sepertimu! Entah sudah berapa lelaki, yang sudah menyentuh tubuhmu ini dan aku, sama sekali tidak tertarik untuk menjadi lelaki selanjutnya!!" seru Storm sembari pergi dan keluar lalu membanting pintu kamar.
Satu bulan sebelumnya.
Alice Camelia Lewis, gadis yang baru berusia delapan belas tahun. Datang ke sebuah rumah mewah dan megah. Ia datang ke sini, hanya berbekal surat wasiat dari mendiang ibunya yang baru saja wafat kemarin. Surat wasiat yang berisi, bila ayah kandungnya berada di sini. Di rumah yang megah ini.
"Kamu cari siapa?? Kenapa ada di sini??" tanya penjaga di depan gerbang, saat Alice terlihat mencurigakan dengan melihat-lihat rumah majikan mereka.
"Saya mencari ayah saya," ucap Alice yang nampak ragu-ragu. Takut, bila kehadirannya tidak diinginkan. Ataupun, ia dikira seorang penipu yang dengan sengaja membuat sebuah pengakuan palsu.
"Ayah?? Siapa?? Apa dia bekerja di sini?"
Alice menggelengkan kepalanya. "Tidak."
"Lantas?"
Mulut Alice baru saja terbuka. Tapi sebelum kata-kata meluncur dari dalam mulutnya. Sebuah mobil lebih dulu datang dan pintu gerbang pun dibuka lebar. Mobil tersebut berhenti dan kaca mobil pun dibuka.
"Kamu siapa?? Kenapa ada di sini??" tanya Eliza Sunny Lewis.
"Saya mencari ayah saya," jawab Alice dan pria yang tadinya duduk tenang tanpa peduli sekitar itu pun akhirnya muncul dari sisi Eliza, istrinya.
"Siapa??" tanya lelaki yang memiliki janggut tebal, yang telah memutih sebagian.
"Alexander Milano Lewis."
Eliza terdiam dan menatap ke arah suaminya dengan shock dan penuh rasa bingung, lalu memberikannya penghakiman, atas pengakuan yang sungguh diluar dugaan dari seorang gadis muda di luar sana.
"What's this???" tanya Eliza kepada sang suami.
"I don't know." balas Alexander, yang memang tidak tahu menahu soal hal tersebut.
"Suruh dia masuk!!" seru Eliza dan kaca mobil kembali di tutup, lalu mobil pun melaju lagi dan memasuki gerbang. Ia harus membuat perhitungan, dengan gadis muda, yang mengatakan hal yang sebenarnya atau malah melakukan, sebuah kebohongan besar dan kesaksian yang palsu.
Di ruang tamu kediaman keluarga Lewis.
"Mas! Katakan! Siapa gadis itu?? Dia bilang kamu kenal dengan ibunya! Dia datang untuk mencari ayahnya ke sini!" seru Eliza yang sudah memulai penghakiman, setelah meminta keterangan dari wanita muda, yang sedang duduk sembari terdiam di sofa, tepat di hadapan mereka.
Alexander Milano Lewis, lelaki yang memiliki kharisma dengan mata keabu-abuan dan juga rahangnya yang tegas. Ia perhatikan, wanita muda di sana dan mulai menerka-nerka, hal yang memang sudah ada di dalam kepala, tapi belum sempat ia ungkapkan.
"Memangnya, siapa nama ibumu?" tanya Alexander, untuk mengetahui ujung benang yang kusut ini.
"Grace. Wanita yang bekerja di sebuah bar pinggir kota. Tapi beliau sudah meninggal kemarin dan memberitahu melalui surat ini, bila saya harus mencari ayah kandung saya dan memberikan ini," ucap Alice sembari menjulurkan sebuah kalung, yang seketika membuat Alexander melebarkan kelopak matanya. Alexander masih mengingatnya dengan jelas. Seorang wanita pelayan bar, yang ia tiduri setelah mabuk, saat sedang bertengkar dengan istrinya. Kalung itu ia berikan, hanya untuk membayar malam itu juga, karena tidak banyak uang yang ia bawa dan hanya ada kalung, yang tadinya ingin ia berikan kepada istrinya. Hal itupun ia kenali dari ukiran nama, yang ada pada kalung tersebut.
"Jadi, kamu...," Alexander diam terpaku dengan rasa yang tidak menentu. Gadis muda di depannya ini, adalah hasil kesalahan semalamnya?? Pantas saja, ia memiliki kemiripan dengan dirinya. Terutama, dibagian iris matanya itu, yang berwarna keabu-abuan.
"Pelayan!!" seru Alexander yang kini bangkit secepatnya dan yang dipanggil tadi itupun seketika berdatangan.
Tiga orang pelayan, sudah menghadap dan perintah pun di tuturkan. "Bawa dia ke kamar dan berikan pakaian yang layak untuknya!" cetus Alexander dan Eliza mengutarakan rasa kecewanya dengan pekikan yang kencang.
"Apa kamu sudah gila!!!!" seru Eliza yang malah merasa ia hampir gila rasanya, akan keputusan yang suaminya lakukan secara sepihak ini, tanpa meminta pendapat sama sekali darinya.
Alice dibawa pergi oleh ketiga pelayan tadi ke lantai atas. Sementara Alexander, berusaha untuk memberikan sang istri sedikit pengertian, agar bisa menerima gadis muda yang malang, yang hanya tinggal sebatang kara dan hanya memiliki ayahnya, yang bahkan sama sekali tidak tahu, bila ia ada di dunia ini.
"Apa-apaan kamu ini?? Kenapa kamu menerimanya di sini!!??" protes Eliza dengan pekikan yang sangat keras.
"Dia itu putriku juga."
"Apa kamu yakin itu?? Bagaimana kalau gadis itu seorang penipu dan apa katanya tadi? Pelayan bar?? Kamu tidur dengan seorang pelayan bar!??" seru Eliza yang coba ditenangkan oleh suaminya, yang kini tengah berusaha untuk menyentuh bahu Eliza. Meski selalu ditepis olehnya.
"Hey, sudah. Malu. Jangan berteriak begitu. Bagaimana kalau Jessy dan Jolie mendengarnya nanti," ucap Alexander dengan berbisik-bisik.
"Aku akan diam, saat kamu sudah mengusirnya dari sini!!" seru Eliza lagi.
Alexander lelah. Istrinya yang begitu sulit untuk ditenangkan. "Ya sudah. Kalau begitu berteriak saja sesukamu!" cetus Alexander yang kini malah meninggalkan Eliza, yang tengah menganga sendiri, lalu kemudian mengamuk di ruang tamu.
Malam harinya.
Wanita yang tidak diinginkan oleh Eliza pun datang serta duduk satu meja, dengan ia dan juga kedua putrinya yang lain di ruang makan.
"Mom, itu siapa??" tanya Jolie putri keduanya saat melihat gadis muda yang asing dan duduk satu meja dengan mereka.
"Anak haram ayahmu," jawab Eliza yang seketika membuat kedua putrinya membuka mulut mereka dan menganga.
"Kok bisa, Mom??" tanya Jolie, yang tidak terima gelarnya sebagai anak bungsu digeser.
"Sudah. Makanlah. Tidak sopan makan sembari bicara!" cetus Alexander.
Eliza menyunggingkan senyumnya dan hanya mengaduk-aduk makanan, yang malah tidak menggiurkan bila disantap bersama seorang gadis dari kelas rendahan.
"Jessy tidak mau menikah dengan Anak pertama keluarga Dawson, Mom. Dia terlalu tua dan juga kaku. Kalau dengan adiknya tidak apa-apa. Dia keren, lebih bergaya dan juga tampan. Terlihat bad boy tapi justru disitulah daya tariknya."
Hembusan napas yang sangat sangat panjang dan berat Eliza lakukan sembari berkata,
"Kita tidak bisa memilih Jessy, yang mau mereka nikahkan itu anak sulungnya. Bukan anak bungsu dari keluarga itu! Dan tugas kamu adalah tinggal menikah dengan-nya saja!" cetus Eliza kesal. Belum selesai satu masalah dengan suaminya. Kini malah ditambah dengan putri mereka, yang ikut-ikutan merengek, karena tidak mau dijodohkan. Padahal, pernikahan ini sangat penting bagi kelangsungan bisnis keluarga mereka, yang memang sedang diambang kebangkrutan.
"Kenapa tidak suruh dia saja, Mom?" ucap Jessy yang melirik kepada Alice, yang tengah menundukkan kepalanya.
"Bagaimana mungkin?? Kita bisa dituduh melakukan penipuan nanti," ucap Eliza.
"Kenapa? Sama saja kan? Dia juga anak dari Dad. Mau dites DNA pun, kalau memang dia anak Dad tidak akan jadi masalah kan??" ucap Jessy dan Eliza pun nampak menatap kepada Alice dan memberinya senyuman penuh arti.
Benar. Bila gadis ini yang disuruh untuk menikahi putra dari keluarga Dawson, dia pasti akan angkat kaki dari sini dan ia pun, tidak perlu kehilangan selera makannya.
"Mas, sepertinya aku punya ide yang bagus," ucap Eliza kepada Alexander yang hanya menghela napas sembari melirik kepada Alice.
Setelah makan malam usai dan setelah Eliza berbicara panjang lebar dengan suaminya. Alexander pun pergi ke kamar Alice. Ia ketuk pintunya dulu dan setelah dipersilahkan masuk. Pembicaraan yang sedikit sulit bagi Alexander pun ia ucapkan.
"Tidak apa-apa kan, kalau kamu yang menggantikan Kakak kamu untuk menikah?" tanya Alexander pelan-pelan.
Alice memaksakan diri untuk tersenyum dan mengangguk sebagai tanda, bila ia menerima amanat ini dan akan menjalaninya.
"Iya. Tidak apa-apa," balas Alice.
Alexander mengembuskan napas dan mengusap ujung kepala wanita, yang sedang tertunduk di sisinya tersebut.
"Kamu benar-benar anak yang baik."
Begitulah akhirnya, saat Alice yang terpaksa harus menikah dan menggantikan peranan kakak sambungnya. Tapi ternyata, tidaklah sampai disitu saja. Calon suami yang sesungguhnya malah mengalami kecelakaan. Untuk tetap membuat acara yang susah payah itu dibuat agar tetap berlangsung, adik dari calon suaminya lah, yang bersanding dengannya di altar saat siang tadi dan malam ini juga. Mimpi buruknya tercipta. Karena lelaki yang sudah menikah dengannya itu, tidak terima akan pernikahan mereka berdua.
Sesaat, setelah Alice ditinggalkan oleh suaminya. Ia pun turun perlahan-lahan dari atas tempat tidur dan mulai membuka semua hias kepala, maupun gaun pengantin yang menempel di tubuhnya juga. Pikirnya, mungkin ia akan diterima baik oleh suaminya, setelah ia ditolak mati-matian oleh keluarga ayahnya sendiri. Tetapi pikirannya ternyata salah. Ini tidak jauh berbeda. Ia sama-sama tidak diinginkan, oleh keluarga ayah maupun suaminya sendiri.
Semua aksesoris pernikahan sudah terlepas dari tubuh Alice dan ia pun, melompat ke atas tempat tidur dan menghela napas di atasnya. Melelahkan sekali, setelah banyaknya hal yang ia alami dan rasakan dalam waktu yang sangat singkat ini.