1.

1036 Kata
Sepasang insan yang cantik dan tampan terlihat saling tersenyum satu sama lain tanpa menghiraukan sekitar mereka. Alex dan Ara sedang memakan makanan yang baru saja mereka pesan di kantin Kampus. Yaps, pada akhirnya Ara setuju untuk satu Universitas dengan tunangan yang menyebalkannya. 3 bulan telah ia lalui dengan masa Ospek yang sangat tidak bermakna sama sekali baginya. Tapi semua berjalan dengan lancar karena Alex, berkat Alex dan segala pengaruh keluarganya. Jujur saja, Ara bersyukur untuk hal itu. Sisanya ia tetap mengeluh. "Aku beli minum dulu," ucap Ara. Alex melirik Ara sekilas, kemudian fokus pada ponselnya. "Iya, jangan lama-lama." sahutnya. "Okay..." Ara pun berlalu. Ara langsung membawa satu botol air minum dari salah satu lemari pendingin. Kemudian ia mendekati kasirnya. Berdesakan. Ara menghembuskan nafas kesal. Namun dengan semangat 45, ia memanfaatkan tubuh kecilnya dan bang ia tersenyum bangga karena berhasil menyerobot. Ia langsung merogoh saku celananya. "Lah, uangnya mana?" Gumamnya panik. Ia melirik ke belakang. "Yah, penuh. Kalau minta dulu, lama lagi antrinya." Pikir Ara. Sampai akhirnya, "Sekalian sama yang manis ini," Ara langsung melirik samping kanannya. "Eh, gak usah aku bisa ambil dulu--" "Sst ... Gak pa-pa," Ara tersenyum dan mengangguk sopan. "Terima kasih ..." Pria itu tersenyum dan berlalu terlebih dahulu. Kemudian di susul oleh Ara yang kembali ke mejanya. "Gila sih, pada kecapean kali yah ... Sampe desak--" "Tadi itu siapa?" Tanya Alex saat Ara sudah duduk di hadapannya. Ara menghembuskan nafas lelah. "Gak tahu, udah ah panas tahu abis nyerobot." Alex menyimpan ponselnya. "Ya udah, tebar pesonanya juga udah." "What the-- aku gak tahu dia siapa dan dia cuma bayarin minum doang ... Aku gak bawa uang tadi, uangnya di tas ini nih," Ara menunjukkan tas yang ia simpan di atas meja. "Kamu kan bisa minta dulu ke aku," "Di sana penuh Lex, males teriak-teriak. Kalau balik lagi, lama lagi." Alex mengangguk pelan dan kembali memainkan ponselnya dengan posisi horizontal. "Siapa sih yang ngajarin kamu main game, ck. Kamu suka banget main game itu," Alex kembali menutup ponselnya. "Karena kamu gak suka aku." Damn. Sudahlah, Ara tidak tahu harus memberi penjelasan seperti apa lagi. "Makan lagi dong, gitu aja marah." Ucap Ara karena Alex tak kunjung menyentuh makanannya lagi. Alex terkekeh pelan. "Apaan, marah juga enggak idih ..." "Takut yah kalau aku marah? Heun?" "Dih, takut sih enggak. Cuma kalau marah mulut kamu tuh udah kayak cabe, pedes." Sahut Ara yang berhasil membuat Alex tersenyum simpul. "Susah yah bikin kamu ketawa ngakak," sambung Ara. Alex meraih lengan kiri Ara dan mengusapnya dengan lembut. "Ngakaknya dalam hati, percaya deh." "Ish, nyebelin..." "Ya lagian, aku itu gak receh kayak kamu." Ara memutar bola mata sebal dan, "Hai!" Baik Ara maupun Alex melirik pada sumber suara. "Eh, hai ... Kamu yang tadi, ada apa yah? Oh, mau nagih yah? Bentar," Ara langsung membuka dompetnya. "Enggak, gak usah di ganti. Cuma pengen ikut duduk di sini, boleh?" Ara tersenyum dan mengangguk. "Boleh, silahkan." Kini mereka duduk bertiga. "Nama kamu, siapa?" "Aku Ara dan ini Alex," Pria itu mengangguk paham. "Kita satu jurusan kok," ucapnya seraya melirik Alex. Alex terlihat mendengus kesal. "Kamu sendiri, siapa?" Tanya Ara. "Ali, Aliandra Syarief." Ara tersenyum mendengarnya dan tiba-tiba saja Alex berdiri dari duduknya. "Eeeh... Kamu mau ke mana?" Heran Ara. Alex membawa mangkuk bakso milik Ara ke meja lain." "Kamu pindah di sini," Ara menatapnya tak percaya. Ia melirik Ali sekilas, ia benar-benar merasa tidak enak. "Alex apasih, gak sopan tahu ..." "Pindah, cepet." Ujar Alex. Ali ikut berdiri dari duduknya. "Lo siapanya?" Shit. Ara menggigit bibir bawahnya. "Alex gak suka kalimat itu, Ali ..." Gumamnya. Dan, BRAKH! Mangkuk yang sempat Alex pegang kini pecah karena membentur lantai. Semua pandang mata menatap ke arah mereka bertiga secara bergantian. Alex berjalan mendekati Ali dan, "gua tunangannya." Tekan Alex. Ali tersenyum miring. "Posesif." "Gue bukan posesif, gue cuma ngejaga apa yang harus gue jaga. Dan gue berhak untuk itu." Tekan Alex. Ia meraih lengan Ara dan menariknya lembut. "Kita pergi," Mau tidak mau Ara harus mengikuti kemana Alex membawanya. Ia tidak mau membuat Alex semakin marah dan mempermalukan dirinya sendiri di depan banyak orang. "Apa gue secantik itu, sampe nih orang harus takut banget kayak gini ..." Pikir Ara sepanjang perjalanan menaiki anak tangga. Rooftop. Nafas Ara terdengar semakin berat, sedangkan Alex dengan santainya berjalan dan duduk di sebuah tempat duduk yang entah apa tujuannya di simpan di Rooftop sana. "Sini," Ara mengangguk dan kini duduk di samping kirinya. Perlahan Alex menidurkan kepalanya di atas pangkuan Ara, dengan sendirinya lengan Ara mengusap setiap helaian rambut kekasih tampannya. Apa Ara mencintainya? Ia bahkan masih bingung tentang hal itu, ia tidak yakin. Jika Alex bersikap baik, maka ia merasa sangat menyayanginya dan ingin hidup bersamanya. Tapi di saat Alex menunjukkan sikapnya yang egois, ia bahkan ingin pergi dan mengubur diri agar Alex tidak menemukannya. Ck. "Sakit ..." Ara tersadar dari lamunannya. "Kamu, kamu sakit? Kenapa gak bilang sih, kita pulang ... Ayo," "Gak ada obatnya." "Dokter Arya pasti--" "Hati, Dokter Arya mana tahu tentang sakit hati." Ara menghela nafas lega sekaligus kesal. Ia lega karena Alex tidak sakit yang benar-benar sakit. "Sakit hati kenapa?" "Kamu senyum-senyum sama orang tadi," "Harusnya aku yang sakit hati. Karena dari dulu kamu gak pernah percaya sama aku," Alex meraih lengan Ara dan menyimpannya di atas dadanya. "Aku percaya, tapi aku gak percaya sama dia." "Lex ayolah ... Aku itu secantik apasih sampe dia harus langsung suka sama aku. Dia cuma butuh temen doang kali," "Ra, dia itu angkatan aku. Masa iya gak punya temen." Alex kembali ke posisi duduk. "Kalau emang ada orang yang suka sama aku, ya itu urusan mereka. Kamu boleh marah kalau aku balik suka sama mereka." Alex terdiam. "Susah Ra," "Kamu kan udah janji juga, bakalan ngebiarin aku ngelakuin hal yang aku mau." "Bukan berarti aku ngebiarin kamu selingkuh." Sahut Alex. "Ya tuhan, i love you. Apa itu masih gak cukup?" Alex memeluk tubuh Ara. "Maaf ..." Ara menghembuskan nafas perlahan. "Ya udah gak pa-pa ..." "Aku sayang kamu ..." "Aku juga," "Aku cinta kamu ..." "Aku juga." Ara melepaskan pelukan Alex dari tubuhnya. "Tadi pagi, aku ngeliat Rere." "Udahlah, lupain aja. Udah lama ini, gak usah dipikirin." Ara tersenyum dan mengangguk setuju. Dan mereka pun memutuskan untuk berdiam di sana, berbincang satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN