first clue: -4 for cheesecake

1422 Kata
[-4❤] Sebenarnya aku ingin mengaku kalau akulah yang meletakkan cheesecake di mejamu, tapi aku malu. Semoga kamu menyukainya, Dilara Dristi Retisralya. 3h ago, Indonesia bolamerah - alay lo bungaungu - kenapa gak kasih langsung aja sih? ikanbiru - ciyeee benderamerah - kamu siapa? btw makasih ya cheesecake-nya, aku suka. Dristi sama sekali tidak melepaskan pandangan dari layar ponsel. Sejak diberitahu Ilyaa tentang pengagum rahasia yang selalu membuat pesan untuknya lewat Secret, dia jadi penasaran dan menginstall aplikasi tersebut. Benar sekali, saat dia scroll ke bawah, dia menemukan namanya beserta perihal cheesecake yang tadi didapatnya ketika masuk ke dalam kelas. Cheesecake itu masih mulus dan belum tersentuh, masih di tempatnya "Penasaran, kan?" tanya Ilyaa saat melihat teman sebangkunya tampak serius dengan layar ponsel. Dristi menganggukkan kepala sekilas kemudian menutup aplikasinya. Hening selama beberapa detik sampai akhirnya ia menoleh pada Ilyaa. "Sejak kapan deh dia kayak gini?" Ilyaa menggumam. "Ya gue nggak tau. Kan gue baru install kemarin," ujarnya yang disusul dengan kedikan bahu. Mata gadis itu memerhatikan sekitar, menerka-nerka apakah dia ada di dalam kelas ini. Dristi penasaran. Ini pertama kalinya dia mendapatkan sesuatu dari orang yang tidak diketahui identitasnya, dan juga, dia tidak bisa mengucapkan berterima kasih. Helaan napas terdengar dari bibir Dristi, membuat Ilyaa yang tengah membereskan peralatan tulisnya beralih menepuk-nepuk pundak sahabatnya dengan keras. "Udah lah nggak usah khawatir. Kalo dia punya niat jelek sama lo, pasti nggak akan beli cheesecake kesukaan lo," ucap Ilyaa seraya melirik kue keju dengan sepotong strawberry di atasnya itu. "Lama-lama bikin ngiler aja nih kue," tambahnya, tangan Ilyaa terjulur hendak mengambil kue itu namun tepukan keras di kepala bagian belakang gadis itu membuatnya terperangah kaget dan menoleh kesal. "Siapa, sih?" dia membentak, tapi segera nyengir ketika tau Fakhir lah yang memukulnya. "Itu punyanya Dristi, jangan lo embat," dia menggeleng dan beralih memandang Distri yang terkekeh karena Ilyaa sudah cemberut garis keras. "Mau balik sekarang?" Dristi mengangguk. "Lo sendiri?" "Anak-anak mau main futsal dulu," dia mengusap tenguknya. "Lo mau ikut?" Ilyaa menaik-turunkan alisnya berirama, menggoda Dristi dengan senyuman maut yang menyebalkan. Bukan rahasia lagi kalau Fakhir tengah mendekati Dristi. Cowok jangkung dengan rambut cepak itu memang sudah menyukai Dristi sejak kelas sepuluh. Hanya saja, Dristi tidak terlalu menanggapi. "Nggak deh," Dristi menggeleng. "Gue mau langsung balik aja. Mungkin lain kali gue ikut." Bukannya Fakhir yang bereaksi, Ilyaa justru melotot sebal melihat penolakan Dristi. Pemuda itu hanya berkata, "oh, ya udah. Hati-hati di jalan, ya." Kemudian pergi bersama empat orang lainnya. "Apa? Matanya minta dicolok, ya?" Dristi mendesis, sebal melihat tampang Ilyaa yang kelewat menyebalkan. "Lo nggak bisa kasih dia kesempatan, apa?" tanyanya seraya berkacak pinggang. Dristi menghela napas. "Gue nggak mau ngasih harapan sama dia, Ilyaa," lirihnya. Kemudian memakai tas ranselnya dan berjalan di samping Ilyaa. Ilyaa terlihat malas mendengar ucapan Dristi. Sudah lama Dristi selalu menolak cowok yang mendekatinya. Entah lah, Ilyaa juga tidak begitu mengerti apa alasan ssbenarnya. Trauma oleh pacar sebelumnya? Dristi tidak punya mantan, alias belum pernah pacaran. Apa dia sudah menjadi gadis yang memutuskan untuk tidak percaya cinta setelah orang tuanya bercerai? Tidak juga. Orang tua Dristi sangat romantis. "Nata ngapain, tuh," gumaman penuh pertanyaan membuat Dristi menoleh ke arah tunjuk Ilyaa. Tepat di depan gerbang, diantara lalu lalang murid yang keluar sekolah, pemuda tinggi dengan seragam yang sudah dilepas seluruh kancingnya itu sedang berbicara dengan seorang gadis berambut pendek. Mengingat Nata yang tingginya mencapai 186 cm, cewek di depannya itu harus mendongak untuk menatap lawan bicaranya. "Gebetan baru dia kali," Dristi mengedikkan bahu tak peduli kemudian berjalan melewatinya. Ilyaa terlihat tidak setuju dengan pendapat Dristi. "Gue denger, dia sama kayak lo." "Apanya?" "Meski dideketin banyak cewek, nggak ada yang ngebuat dia tertarik." ☀☀☀ Dristi bersandar pada kursi dan memandangi langit-langit ruangan. Tangannya terjulur ke atas, seperti ingin meraihnya. Dia ingat betul hari dimana ia dipertemukan dengan Nata. Saat itu adalah seminggu setelah perceraian kedua orang tuanya. Tak ada yang tau kalau orang tuanya sudah bercerai beberapa bulan yang lalu. Bahkan Ilyaa saja, tidak tau akan hal itu. Bukannya dia merahasiakan kehidupannya, hanya saja, ia tak mau mendapatkan pandangan kasihan dari orang sekitarnya. Apa kata teman-teman kalau tau ayahnya ingin menikah lagi setelah beberapa bulan perceraian? Tak ada kata selain 'selingkuh' yang akan keluar dari mulut teman-temannya. Dia hanya..., tak ingin orang tuanya dianggap buruk. "Nata pulaaang!" suara keras Nata terdengar sampai kamar Dristi, disusul dengan tertutupnya pintu utama serta langkah kaki yang berderap. Pemuda itu masuk ke dalam kamar tamu, tepat di sebelah kamar Dristi. Ilyaa pasti akan lebih terkejut ketika tau kalau Nata adalah calon-saudara-tirinya. Yah, itu akan terjadi jika orang tua mereka benar-benar menikah. Nata sendiri tinggal di sini karena ibunya berniat mendekatkan Nata pada ayah Dristi. Sebenarnya Dristi juga disuruh untuk tinggal sementara bersama calon-ibu-tirinya, tapi ia menolak. Dristi bangkit, ingin menyiapkan makan malam namun langkahnya terhenti ketika melihat Nata yang ternyata juga berniat ke arah dapur. "Ladies first," ucap Nata sopan seraya memberi jalan pada Dristi. "Thanks," sahut Dristi singkat lalu melirik Nata. "Makan malem pake sup jagung, mau?" Nata mengangguk sekali kemudian berjalan ke ruang tv yang menyatu dengan dapur. Dari balik pantri, pandangan Dristi tak lepas dari Nata yang sekarang bersandar pada sofa dan sibuk mengganti channel. "Dris," Drist mengangkat wajahnya. "Apa Nat?" "Bisa buatin bubur?" tubuh Nata berbalik menghadap Dristi. "Tenggorokan gue sakit, jadi susah buat nelen sesuatu." "Nggak ke dokter aja?" Nata menggeleng. "Ntar juga sembuh, kok." Dristi mengangkat bahunya singkat. "Kalo sakit jangan repotin gue lho ya." "Gue nggak bakal sakit, elah," ujar Nata kemudian nyengir lebar dan kembali menatap layar tv. Beberapa saat kemudian, pandangan Nata beralih kembali pada Dristi yang tengah sibuk menuangkan air ke dalam wadah aluminium berisi nasi yang akan dibuatnya menjadi bubur. Ada senyuman tersungging di wajah Nata saat melihat keseriusan di wajah Dristi. Dia seperti melihat seorang istri yang sedang menyiapkan makan malam untuk suaminya. Uhh, bukan. Nata tak berniat meminangnya atau bagaimana. Karena dia juga tau, mereka akan menjadi saudara. Sampai pada akhirnya suara dering ponsel Dristi membuyarkan lamunan Nata. Dristi berlari menuju kamar, meninggalkan kompor menyala bersamaan dengan dipanaskannya air dan nasi yang masih menggumpal. Samar-samar, Nata mendengar Dristi menyebutkan nama Fakhir. Dia mendesah. Panggilan itu pasti dari Fakhir. "Ciye Fakhir," sahut Nata saat Dristi kembali ke dapur. "Ciye yang senyum-senyum nggak jelas abis dapet telpon dari gebetan." Dristi mendelik. "Minta dilempar pake panci ya?" sahutnya galak. Nata memang tidak menanggapi ucapan Dristi, tapi dia tertawa keras. Membuat Dristi semakin kesal dan ingin menendang Nata keluar angkasa sekarang juga. Menyebalkan sekali cowok itu. Beberapa kali Nata memergoki Dristi diantara pulang oleh Fakhir, dan sejak itu Nata selalu menggodanya. Untungnya sih, Fakhir dan Nata tidak pernah bertatap muka. Tentu saja karena Dristi menyuruh Nata untuk tidak keluar saat dia pulang bersama Fakhir. "Nat, menurut lo, gue harus terima ajakan kencan dia nggak ya?" tanya Dristi tiba-tiba. Nata melirik Dristi selama beberapa detik kemudian sok sibuk dengan ponselnya. "Nata!" panggil Dristi lagi karena diabaikan. Akhirnya Nata mengangkat wajahnya, menatap Dristi. "Kenapa nanya sama gue? Yang mau kencan kan elo. Lagian selama ini kalian kan sering bareng," dia berjeda, mengangkat bahu, "trus apa bedanya sama ajakan dia yang sekarang?" Dristi menghela napas. "Gue nggak pernah jalan sama dia, ya. Dia itu cuma beberapa kali doang nganterin gue pulang. Itu juga karena kesorean. Masalahnya, setelah kencan itu dia ngajak gue buat makan malem bareng orang tua dia." "Tolak," sahut Nata tegas. "Tapi dia bilang orang tuanya yang ngundang gue langsung." "Ya terserah," Nata memainkan suara dan matanya hingga terlihat seakan tak peduli. "Kalo lo mau jadi istrinya, silahkan." Dristi menghela napas. "Nggak bisa diajak ngomong baik-baik elo sih." Nata menaikkan kedua alisnya, memandang Dristi tak percaya karena gadis itu tiba-tiba saja marah padanya. Memangnya ada yang salah dengan ucapannya barusan? Nata yakin sekali, bukan orang tua Fakhir yang ingin menemui Dristi. Tapi Fakhir sendiri lah, yang ingin mempertemukan mereka dan membuat ikatan dengan Dristi. Kalau sudah ketemu, ujung-ujungnya Fakhir pasti akan menjadikan orang tua sebagai alasan untuk mengajak Dristi jalan keluar. Ya, Nata yakin sekali. "Ngomong-ngomong, tadi gue dapet cheesecake." Alis Nata naik sebelah. "Masa? Dari siapa?" "Secret admirer," sahut Dristi seraya tersenyum geli. "Bagi sini! Dapet rejeki tuh jangan diumpetin sendiri. Dikasih orang-orang di sekitar lo, biar berkah." "Wooo, itu sih maunya elo." "Emang. Mana, sini. Gue udah laper, tau. Lo lama banget elah masaknya." "Ambil gih di kamar gue," Dristi menunjuk kamarnya dengan pisau. "Ada di atas meja," ucapnya yang dihadiahi langkah Nata ke arah kamar Dristi. "MAKANNYA BARENG GUE LHO, YA! AWAS AJA KALO LO ABISIN, GUE SIRAM PAKE KUAH PANAS!" teriaknya cempreng. "IYAAAH!" balas Nata tak kalah keras.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN