second clue: 15 for azalea

1790 Kata
Pagi menjelang. Dristi menggeliat di atas kasur sebelum benar-benar terduduk di pinggir ranjang dengan mata masih terpejam. Dia menguap berulang kali, kemudian mengerjap-ngerjapkan mata. Dristi sedang mengumpulkan kesadaran. Matahari belum terbit dan ia harus kembali ke dapur, menyiapkan sarapan untuk tiga perut kelaparan. "Duh," masih dengan mata mengantuk, Dristi menabrak seseorang tepat setelah ia keluar kamar. "Pagi, Sayang," itu suara ayahnya, terdengar geli karena melihat anaknya masih setengah sadar. "Kamu masuk kamar lagi gih, biar Papa yang nyiapin sarapan." Mata Dristi kali ini terbuka lebar. Menatap ayahnya dengan pandangan bertanya. "Emangnya Papa nanti nggak telat masuk kerjanya?" tanyanya setelah berdehem dan membasahi tenggorokannya yang kering. "Sekarang kan hari minggu," pernyataan ayah Dristi membuat gadis itu sempat terkejut. "Kamu lupa? Anak sekolahan bukan, sih?" Dristi terkekeh pelan ketika tangan besar ayah mengusap puncak kepalanya dan berlalu melewati gadis itu. Ia masih terdiam di lorong, memandang kamar mandi yang ingin ia masuki tapi rasa malasnya keluar. Masih pagi, dan ia ingin buang air. Tapi kalau jam segini, pasti masih dingin. "Sekarang aja," dia bergumam sendiri, "sebelum si Nata bangun." Bukannya Dristi malu atau bagaimana, tapi kebiasaan Nata itu, kalau bangun tidur dia bisa bertapa di kamar mandi sampai satu jam. Dan, ketika tangan Dristi baru saja menyentuh kenop pintu kamar mandi, seseorang sudah masuk terlebih dahulu setelah mengucapkan, "Kebelet!" Dristi bengong melihat pintu kamar mandi terkunci dari dalam. "Nata!" dia menggedor pintu kamar mandi. "Kok lo rese sih? Kan gue duluan yang masuk kamar mandi?!" Siapa juga yang tidak sewot jika ada orang yang seenaknya saja memotong antrian. Memang di sini tidak ada antrian sih, tapi kan, yang duluan berdiri di depan kamar mandi dan hampir masuk itu, Dristi. Bukan Nata. "Lo belom masuk kali," sahut Nata santai. Dristi menggertakkan giginya, kesal. Tapi beberapa detik kemudian, dia berbalik arah dan masuk ke dalam kamar. Merutuki Nata berulang kali dalam hati. Dia tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau Nata benar-benar menjadi saudaranya nanti. ☀☀☀ "Dris, taneman di halaman depan belom disiram ya? Layu, tuh. Kasian. Kehausan." "Sekarang kan giliran lo." Nata yang baru pulang main basket di lapangan komplek melongo mendengarnya, disambut cibiran Dristi. "Nggak usah sok lupa. Sekarang giliran lo. Kemarin kan gue udah nyiram pagi-pagi." "Nanti sore aja deh, udah siang gini. Tanggung banget," sahut Nata santai kemudian melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Dristi memerhatikan jam dinding yang sudah menunjukkan jam sepuluh pagi, dan ia hanya diam di ruang tv sembari mengganti channel. Sebenarnya ia mencari kartun, tapi semuanya sudah berganti menjadi acara gosip. Dia bosan mendengarkan gosip tenyang artis yang cerai-nikah berulang kali. Apa menurut mereka pernikahan adalah permainan yang bisa dihentikan kapan pun ia mau? Memangnya mereka tidak memikirkan mental anak-anak yang sebenarnya adalah korban dari perceraian? Ah, Dristi malas memikirkannya. Hidupnya sudah rumit. Setelah sekian menit berlalu hanya dengan bermain ponsel, Secret lebih tepatnya, ekor mata Dristi menangkap Nata yang datang membawa laptop kemudian meletakkannya di atas meja. Dengan santai, pemuda itu duduk di dekat kaki Dristi dan bersandar di kaki sofa. Dari jarak sedekat ini, Dristi sadar bahwa wajah Nata itu selalu terlihat tersenyum. Padahal ia tau sekali, sekarang ini Nata hanya diam memerhatikan layar laptopnya yang baru saja dinyalakan. Dia tak berekspresi. "Main game mulu lo," sahut Dristi saat melihat Nata membuka aplikasi game online yang ia taksir ukurannya bergiga-giga. "Suka-suka lah. Rese aja." Dristi memutar bola matanya malas lalu memutuskan untuk memerhatikan pemuda itu bermain game. Tak ada pembicaraan berarti dari mereka, hanya ada suara Nata yang terkadang memekik tertahan, merutuki lawan, atau menggebrak meja saking gemas akan game yang ia mainkan. Dristi menggeleng kemudian bersandar, sampai pada akhirnya ada panggilan masuk ke ponselnya. Fakhir. Ah, dia ingat, dia belum memberikan jawaban tentang ajakan Fakhir tadi malam. Dia menghela napas dalam, kemudian mengangkatnya yang langsung disambut dengan pertanyaan tanpa basa-basi dari pemuda itu. "Gimana Dris? Udah siap, kan?" Ah, dia pasti sangat berharap Dristi akan ikut bersamanya. Dristi memainkan ujung rambut, memelintirnya sesekali kemudian menghela napas. "Emmm, lain kali aja gimana? Gue lagi nggak bisa ninggalin rumah. Adek gue sakit," matanya melirik Nata. "Adek? Razka maksud lo? Bukannya dia tinggal sama neneknya di luar kota, ya?" Arzetta Razka(*), adik laki-laki yang umurnya satu tahun dibawah Dristi. Dia baru saja masuk SMA biasa--untuk ukuran otak cemerlangnya, katanya dia ingin sekolah bersama pacar barunya. Biarlah, Dristi tidak punya hak untuk melarang. Soal dia yang tinggal dengan neneknya, Dristi bohong. Adiknya itu sekarang tinggal dengan ibu kandung mereka. Iya, benar. Karena perceraian itu, Dristi dan Razka harus berpisah. Sesekali mereka bertemu, sih. "Adek sepupu, maksud gue," Dristi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gitu deh intinya, sorry banget ya. Gue nggak bisa." "Tapi gue udah ada di deket rumah lo sekarang. Tanggung banget kalo muter balik," kalimat Fakhir membuat Dristi langsung bangkit dari sofa. "Gue ke rumah lo sekarang, ya. Kalo emang nggak bisa jalan ya nggak apa-apa. Paling nggak gue bisa ketemu sama lo hari ini. Gue sekalian mau jenguk sepupu lo deh, kali aja pas ketemu gue dia jadi sembuh." "Oh? Eh, nggak, nggak usah!" tangan Dristi sudah memukul pundak Nata berulang kali, sampai menarik lengan pemuda itu agar bangkit dari posisi nyamannya. Awalnya, Nata masih bisa anteng dan mengabaikan sikap rusuh Dristi. Tapi ketika jagoannya mati dalam game, dia membanting mouse dan menatap Dristi dengan berang. "Apaan, sih?!" Nata kesal. "Masuk ke dalem kamar! Buruan!" Dristi berdesis, gemas karena Nata sama sekali tidak menangkap maksud acara tarik-menarik lengan serta kaosnya. "Umm? Dristi? Halo?" suara Fakhir membuatnya tersentak kaget. "Ya, ya, Fakhir," Dristi panik. Dia menarik paksa Nata untuk berdiri dan mendorongnya hingga masuk ke dalam kamar, meski mendapatkan beberapa perlawanan sebelumnya. Setelah Nata berhasil masuk ke dalam kamar, Dristi kembali pada pembicaraan di ponsel. "Lo ada di mana sekarang?" tanya Dristi, memotong omongan Fakhir tentang betapa macetnya jalan hari ini. "Depan rumah lo," Dristi segera melangkah lebar. "Buka dong pintunya. Masa tamu dibiarin di luar begini," ucap Fakhir yang disusul kekehan. Dristi hanya bisa menghela napas lega disusul gelengan kepala frustrasi karena menghadapi Nata yang terkadang sulit diajak bekerja sama. Kalau mereka sampai bertatap muka, apa yang akan dia jelaskan? "Ada apa sih Dris? Kamu sama Nata ribut banget Papa dengerin dari dalem," ayah Dristi yang sebelumnya bersantai di dalam kamar tiba-tiba muncul. Lamunan Dristi buyar seketika, ia menoleh setelah menutup sambungan telponnya dengan Fakhir. "Nggak ada apa-apa, Pa," Dristi nyengir kuda. "Ada temen mau dateng." Ayahnya tersenyum manis. Mengerti betul kalau anaknya ini belum sepenuhnya siap untuk memberitahu dunia tentang keluarga baru yang sebentar lagi akan dimilikinya. Dristi termasuk anak yang bodo amat dan percaya bahwa ia tak seharusnya mencampuri urusan orang dewasa. Jadi saat orang tua mereka bercerai, Dristi hanya mengangguk paham dan ikut bersama ayahnya dengan alasan ingin menjaganya. Padahal ia yakin, perasaan Dristi sama seperti Razka, yang saat itu menolak mentah-mentah perceraian mereka sambil menangis. Tapi di saat bersamaan ia juga paham bahwa, Dristi berusaha bersikap dewasa. Kalau Dristi tidak seperti itu, bagaimana ia bisa menenangkan Razka? Anak bungsunya itu bahkan tidak mau memandangnya sama sekali. Dia tidak bisa berbicara dengan Razka untuk sekedar minta maaf atau meminta pengertian akan keadaan mereka--orang tuanya. Karena ia tau, Razka sudah kecewa berpuluh kali lipat pada dirinya yang membagi hatinya, mencintai wanita selain ibunya. "Ya udah, salam aja ya buat temenmu itu," sahut ayah Dristi sebelum masuk kembali ke dalam kamar. Dristi mengangguk paham dan menyahuti bel yang sudah ditekan beberapa kali. Dia yakin seribu persen, bahwa itu adalah Fakhir. Dan benar sekali, ketika membuka pintu, dia melihat Fa... Bunga? "Fakhir?" mata Dristi melebar ketika melihat pemuda itu membawa buket bunga yang menutupi wajah. Saat itu juga, senyuman lebar bersarang di wajah Dristi. Dia tidak pernah menyangkanya. Di siang cerah seperti ini, dia dibawakan buket bunga cantik berwarna merah muda. Salah satu warna yang ia sukai. "Siang!" dengan senyum lebar, Fakhir memberikan bunga itu pada Dristi. "Buat elo." "Ah ...," Dristi menunduk, berusaha melunturkan senyum namun ia tak bisa karena fokusnya sudah teralihkan sepenuhnya pada bunga itu. "Makasih banget, ya ampun. Ngerepotin aja." Fakhir tertawa senang kemudian menggeleng. "Enggak sama sekali, kok. Santai aja." Setelah itu, Dristi mempersilahkan Fakhir untuk masuk ke dalam. Tanpa mereka sadari, di balik pintu sebelah kamar Dristi, ada sepasang mata yang mengintip pembicaraan mereka berdua lewat celah pintu yang ia buka sedikit. Iya, sejak tadi Nata memperhatikan keduanya. Menguping pembicaraan mereka. Nata berdecih melihat Fakhir yang tersenyum lebar ketika Dristi menanggapi segala ucapannya. "Segitunya demen sama si Dristi," dia menggeleng lalu menutup pintu kamarnya dengan sangat perlahan. Dristi tau, dia sadar kalau Nata sempat mengintipnya tadi. Jadi, dengan buru-buru ia menyuruh Fakhir untuk masuk dan duduk di ruang tv. Sebenarnya bisa saja sih dia mempersilahkannya duduk di ruang tamu, tapi Dristi tidak mau suasana menjadi terlalu hening atau serius. Kalau tiba-tiba Fakhir menyatakan perasaannya, bagaimana? "Emm, Dris," suara Fakhir membuat gadis itu menoleh. "Ini jaket siapa? Bokap?" tanyanya seraya mengangkat jaket Nata yang malam sebelumnya ia letakkan di sofa. "Oh!" Dristi dengan sigap mengambil jaket itu ketika Fakhir memeriksanya. "Bukan, bukan. Masa iya bokap pake jaket anak muda begini." Dristi terkekeh dan melipat asal jaket itu kemudian meletakkannya di atas meja pantri. Jauh dari penglihatan Fakhir. Bahaya sekali kalau pemuda itu tau jaket yang ia pegang adalah milik Nata. Beberapa kali, sering malah, Nata menggunakan jaket itu ke sekolah. Katanya sih, itu jaket kesayangan dia. "Oh iya, adek sepupu lo yang sakit itu, ya?" Dristi mengangguk cepat. "Gimana keadaan dia? Sehat?" "Yaaa, gitu deh. Sekarang lagi tidur anaknya, nggak bisa diganggu gugat," Dristi memberi alasan sealami mungkin. "Dan kalo udah tidur, bangunnya bisa berjam-jam kemudian." Fakhir tertawa kecil. "Itu artinya gue nggak bisa jenguk dia," dia mengangguk paham. "Ya udah deh, moga cepet sembuh ya adek sepupu lo itu." Dristi mengangguk dengan senyuman terpaksa. Lega. Tapi dia belum benar-benar bernapas lega kalau belum memastikan Nata tidak akan keluar kamar. Akhirnya ia mengirim w******p pada pemuda itu. Dristi: Jangan keluar kamar sampe gue suruh! Nata: Kalo gue laper gimana? Kalo mau boker? Dristi: Ditahan kan bisaaa Nata: Iye deh, bawel banget - - - [15❤] Dilara Dristi Retisralya, apa kamu tau arti dari bunga Azalea? Kalau tau, artinya kamu telah mengerti tentang hatiku yang masih saja menunggumu sampai detik ini. [pict: pink-azalea] 2h ago, Indonesia topibiru - gue kepengeeen punya cowok yang ngasih kata-kata romantis gini. kasetmerah - woy, kalo mau ngerayu jangan di secret apikuning - lo siapa sih? gue kenal cewek yang lo maksud [author] wah lo kenal? titip salam buat Dristi, ya :) bolakuning - jadi cowok pengecut banget, beraninya lewat medos Pemuda itu tersenyum melihat komentar-komentar anonim di Secret. Apalagi saat melihat ada komentar yang menyatakan bahwa ia mengenal Dristi. Dia bisa menebak, kalau orang di balik icon apikuning itu adalah Ilyaa, sahabat Dristi. Ya, ia tau sekali teman sebangku Dristi itu masuk dalam kategori maniak internet. ☀☀☀
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN