Aulia hanya menunduk di saat Austine membawanya masuk ke dalam kamar cowok itu.
Setelah tadi menyapa mama di dapur, Austine tanpa basa-basi menarik Aulia untuk pergi ke kamarnya. Cowok itu menutup pintu dan membuka kacamatanya. Kemudian, dia mengacak rambut tebalnya dan menarik napas panjang. Tatapan tajamnya dia berikan kepada sang kembaran, meski adik kembarnya itu tidak balas menatap ke arahnya dan justru lebih memilih untuk menatap lantai.
“Kamu tau apa kesalahan kamu?”
Aulia menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. Kurang lebih dia tahu apa yang membuat Austine marah saat ini. Tapi, bukankah Austine sedikit berlebihan? Maksud Aulia, dia dan Setyo tidak berbuat yang aneh-aneh. Mereka mengobrol di luar rumah, walau Setyo memang tidak memakai kaus dan hanya ada handuk yang menggantung di leher. Selain dari itu, mereka berdua tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma apa pun, kok.
“Maaf, Stev,” kata Aulia pelan.
Sejak kecil, keduanya memang tidak pernah dekat. Aulia merasa Austine seolah membencinya. Cowok itu selalu bersikap dingin dan cuek padanya. Terkadang, Austine pun selalu memberikan kata-kata tajam dan tatapan benci kepadanya. Aulia selalu berpikir apa kesalahannya, tapi cewek itu tidak pernah bisa mendapatkan jawabannya. Ingin bertanya langsung pun, Aulia tidak berani. Saat curhat kepada Putra dan Petra, kedua kakaknya itu hanya tertawa dan berkata kalau Aulia hanya terlalu paranoid dan itu hanya perasaan Aulia saja. Kedua orang tua mereka juga berkata kalau tidak mungkin Austine membenci Aulia, seperti yang Aulia pikirkan.
“Kamu mau jadi bahan pembicaraan orang-orang? Jadi gunjingan tetangga? Kamu mau mempermalukan keluarga kita, Sistine? Bikin Mama dan Papa kehilangan muka di hadapan para tetangga? Bikin Kak Putra dan Kak Petra malu dan jadi bahan omongan karena kelakuan adik cewek mereka yang mirip sama cewek penggoda?”
Seperti biasa, kali ini pun kata-kata Austine sangat dingin menusuk. Aulia sampai menggigit bibir dalamnya dengan kuat hingga cewek itu bisa merasakan asin di mulutnya. Bisa ditebak, bibir cewek itu pasti mulai berdarah. Dadanya bergemuruh dan hatinya berdenyut sakit. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Matanya mulai memanas dan Aulia mati-matian menahan diri supaya tidak menangis di hadapan Austine.
Karena Austine sangat membenci orang yang cengeng. Itulah yang dikatakan Austine sejak dulu. Dan Aulia tidak mau dibenci oleh Austine lebih dari ini. Apa yang harus dia lakukan supaya Austine tidak membencinya dan menyayanginya?
Apa, Tuhan?
“Maaf, Stev.” Sejak tadi, hanya kalimat itu yang bisa diucapkan oleh Aulia untuk kakak kembarnya tersebut.
Austine melirik Aulia dengan lirikan dingin. Cowok itu kemudian mendekati Aulia dan mengangkat dagunya agar tatapan mereka bertemu. Melihat cara Austine menatapnya, Aulia langsung gemetar di tempatnya. Tatapan Austine benar-benar terlihat penuh kebencian. Dingin dan tajam, mencabik-cabik hati Aulia. Aulia tahu perumpamaan yang baru saja dia gambarkan terlihat sangat berlebihan, tapi itulah yang dia rasakan. Sekuat mungkin, cewek itu menahan rasa takut, sakit dan tangisnya.
Austine membenci orang yang cengeng... Austine membenci orang yang cengeng...
“Kamu itu seperti cewek penggoda, Sistine. Atau mungkin, memang itu sebenarnya sifat kamu selama ini? Bersikap ceria, bersikap sok ramah dengan semua cowok, tersenyum lebar dan manis di hadapan para cowok untuk menarik perhatian mereka? Seperti yang kamu lakuin barusan di hadapan cowok bernama Setyo Rajawali itu? Kamu tau, Sistine? Itu adalah sikap seorang cewek penggoda. Menjijikan! Kamu pikir, kamu bisa merebut semua hati cowok di dunia ini dengan sifat dan sikap kamu itu? Aku yang ngeliatnya aja jijik dan malu sama kamu. Malu karena takdir membuat kita menjadi saudara, terlebih kembar. Aku lebih suka cewek yang pendiam, bersikap dingin pada semua cowok, karena itu akan membuat mereka terlihat mahal harganya. Nggak seperti kamu yang... murah.”
Mata Aulia membulat maksimal. Air mata yang sudah ditahanya sejak tadi akhirnya turun. Jantungnya berdegup sangat kencang, terlalu kencang hingga rasanya sesak dan menyakitkan. Tubuhnya mulai terasa dingin. Ucapan Austine terus saja terngiang di telinganya.
“Pergi. Kamu bikin aku muak.”
Setelah Austine melepaskan tangannya dari dagu Aulia, cewek itu mengangguk cepat. Kemudian, Aulia bergegas pergi meninggalkan kamar Austine dan masuk ke kamarnya sendiri. Di dalam kamarnya, Aulia duduk di ranjang sambil bersandar pada dinding. Cewek itu memeluk kedua lutut dan menyembunyikan sebagian wajahnya di sana. Air matanya terus mengalir. Tubuhnya gemetar begitu hebat.
Menjijikan. Kamu bikin aku muak. Kamu itu murah.
Sambil menggeleng, Aulia menutup kedua telinganya. Cewek itu menatap nyalang ke seluruh penjuru kamarnya. Bayangan Austine ada di sana, di dalam kamarnya, di seluruh penjuru kamar. Cowok itu menatapnya dingin dan tajam. Telunjuknya menunjuk ke arah Aulia sambil mengucapkan kalimat-kalimat itu.
“Stop... stop....” Aulia terus menggeleng dan menutup kedua matanya. “Jangan benci gue, jangan....”
Lalu, cewek itu jatuh terlelap beberapa menit kemudian, ketika dia merasa lelah akibat terlalu lama menangis.
###
Setyo merasa bimbang.
Cowok itu sedang berdiri di depan pintu rumah Aulia. Tadi, saat baru saja pulang dari supermarket setelah membeli mie instant dan cemilan, cowok itu bertemu dengan seorang wanita cantik yang mengaku sebagai mama Aulia dan tinggal di samping rumah kontrakannya. Setyo memang belum sempat berkenalan dengan penghuni rumah sebelah dan baru tahu kalau rumah itu adalah rumah Aulia, di saat cewek tersebut mengantarkan kue siang tadi. Lalu, setelah berkenalan dan sempat mengobrol sebentar, mama Aulia menyuruhnya untuk datang ke rumah wanita itu malam ini. Katanya, wanita itu ingin mengajak Setyo makan malam bersama sebagai bentuk perkenalan.
“Bodo ah, udah terlanjur,” gerutu Setyo. Cowok itu menarik napas panjang dan menekan bel rumah. Tak lama, pintu di hadapannya terbuka dan sosok yang membukakan pintu menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Gue ke sini karena diajak sama nyokap lo buat makan malam bareng,” jelas Setyo. Cowok itu tersenyum mengejek. “Sepertinya, nyokap lo sangat senang berkenalan dengan gue. Atau, itu karena beliau merasa gue adalah kandidat yang pas dan cocok untuk dijadikan calon menantu? Gue sih nggak keberatan jadi suami lo, Aul. Dengan begitu, lo harus menurut sama gue di sepanjang hidup lo, kan? Seorang istri harus selalu menurut pada suaminya, kan?”
Aulia hanya diam. Cewek itu menatap dingin dan tajam Setyo. Rambut hitam halusnya dimainkan oleh angin malam yang berhembus lumayan kencang. Cewek itu memakai celana jeans sebatas paha dan kaus lengan panjang bergambar kucing di bagian depannya.
Di tempanya, Setyo masih menampilkan senyuman mengejeknya, walau dalam hati agak bingung dengan sikap Aulia sekarang. Wajah cewek itu datar, kedua matanya menatap dingin dan tajam. Benar-benar dingin sampai Setyo merasa dia sedikit tidak nyaman dan sedikit merinding kala Aulia menatapnya. Tidak ada ekspresi dari sepasang bola mata cokelat itu kala menatap. Yang ada hanya kekosongan.
“Siapa lo?”
Senyuman mengejek di bibir Setyo menghilang. Cowok itu mematung saat mendengar betapa dinginnya suara Aulia barusan. Seakan itu belum cukup, Aulia pun seolah tidak mengenalnya. Lelucon macam apa ini? Apa Aulia memiliki saudara kembar lainnya, selain cowok bernama Austine Stevano tadi siang?
“Bercanda lo nggak lucu, Aul,” komentar Setyo ketika dia mendapatkan kesadarannya kembali. Cowok itu mendengus dan terkekeh. “Lo mau ngerjain gue? Sori, itu nggak akan mempan. Lo nanya gue siapa? Setelah yang kita lakuin selama SMA dulu, tujuh tahun yang lalu, selalu ribut dan berdebat nggak karuan? Bahkan siang tadi lo dan gue kembali berdebat. Kecuali lo kecelakaan tadi sore dan berakhir dengan amnesia, maka gue memaklumi kalau lo nggak mengenal gue.”
Aulia mengangkat satu alisnya dan bersedekap. Lagi-lagi, Setyo mematung. Aulia di hadapannya saat ini benar-benar seperti orang yang berbeda. Holy crap! Apa Aulia memang memiliki saudara kembar lainnya?!
“Nggak usah sok akrab dan sok kenal sama gue, b******k. Gue bukan cewek murahan yang bisa digoda dan dirayu segampang itu sama cowok mana pun. Gue cewek berkelas, gue cewek mahal. Sori-sori aja, lo terlalu murahan dan gampangan buat gue.”
Ketika Aulia akan menutup pintu, Setyo refleks menahannya. Cowok itu mengerutkan kening dan memaksa Aulia supaya cewek itu membuka pintunya lebih lebar lagi.
“Lo kesambet apaan, sih? Gue Setyo Rajawali, nemesis lo pas SMA dulu! Lo Aulia Sistine, kan?” tanya Setyo sedikit jengkel.
“Ya, gue Aulia Sistine. Tapi gue nggak ingat pernah mengenal cowok murahan seperti lo. Lo pasti salah orang.”
Salah orang? Salah orang dari mana, coba? Mana mungkin gue lupa sama musuh gue sendiri!
“Aul?”
Panggilan itu membuat Setyo dan Aulia menoleh. Putra dan Petra yang baru turun dari mobil agency mereka dan baru saja memasuki halaman rumah langsung tersenyum tipis. Senyuman yang sedikit dipaksakan dan hal itu tertangkap jelas oleh kedua mata Setyo.
Ada apa ini?
“Ah, lo Setyo, kan? Yang ketemu di resto malam itu?” tanya Putra, kakak tertua Aulia.
Setyo balas tersenyum dan mengangguk. Cowok itu mengulurkan tangan kanan dan menjabat tegas tangan Putra serta Petra. “Gue penghuni ruman kontrakan di sebelah, Kak. Mohon bantuannya.”
“Oh, penghuni baru itu elo? Wah, dunia sempit banget rupanya,” kata Petra ramah. Dia melirik Aulia sekilas dan mengangkat sebelah tangannya untuk menyapa. “Hai, Aul. Udah makan?”
“Belum,” jawab Aulia dingin. Dan hal itu tentu saja membuat Setyo langsung mengalihkan tatapannya dari si kembar Putra-Petra dan berhenti di Aulia. Cewek itu bersikap sangat aneh bahkan kepada kedua kakaknya. Padahal seingat Setyo, Aulia sangat dekat dengan kedua kakaknya ini saat di resto malam itu. Dia sangat menempel pada si kembar. Tapi, sekarang?
“Oh, i see. Did you wait for us?” tanya Putra. Cowok itu mengusap rambut Aulia dan Aulia langsung menepis tangannya. Hal yang lagi-lagi membuat Setyo kaget.
“As if. Gue nggak perlu nunggu kalian untuk makan malam. Gue nggak butuh kalian atau cowok mana pun, ngerti? Gue ini mandiri dan bisa melakukan semuanya sendiri.”
Kedua tangan Setyo terkepal kuat di sisi tubuhnya. Bahkan sekarang Aulia memakai kata ‘gue-elo’ dengan kedua kakaknya?!
“Aulia Sistine! Sikap lo benar-benar kelewatan. Lo beneran kesurupan, ya? Mereka ini kakak lo. Lo bahkan sangat menempel sama mereka malam itu di resto dan sekarang sikap lo kayak gini? Unbelievable!”
Tatapan dingin Aulia kembali pada Setyo. “Just mind your own bussiness, you jerk! Lo orang asing yang bahkan nggak gue kenal dan lo berani ikut campur sama urusan gue?”
Setelah berkata demikian, Aulia memutar tubuh dan masuk ke dalam rumah. Di tempatnya, Setyo kehilangan kemampuannya untuk berbicara. Apa yang baru saja berhadapan dengannya barusan memang Aulia Sistine? Tapi, sikap dan sifat cewek itu benar-benar berbeda dari biasanya.
“Setyo, sori soal tadi.” Putra tersenyum maklum dan meremas pundak Setyo. “Lo pasti heran dan bingung. Yang tadi itu emang adik kita, Aulia Sistine. Hanya saja, itu... Aulia Sistine yang lain.”
Kening Setyo mengerut. “Maksudnya?”
Putra dan Petra saling tatap. Mereka berdua sudah tahu bahwa perubahan Aulia barusan pasti berkaitan dengan Austine. Mungkin mereka akan menjelaskannya pada Setyo nanti.
“Yang tadi adalah kepribadian Aulia Sistine yang lain.”
“Dengan kata lain,” sambung Petra, “Aulia Sistine adik kami itu memiliki dua kepribadian.”
Mata Setyo membulat. Aulia Sistine punya kepribadian ganda?!
“Kepribadian Aulia yang barusan adalah kepribadian yang jauh dari kata bersahabat. Itu adalah kepribadian Aulia yang dingin, tidak bisa dijangkau dan tidak bisa didekati. Dia menganggap dirinya adalah cewek mandiri, cewek dengan kelas tinggi yang mahal yang tidak boleh berurusan dengan cowok mana pun. Dia nggak mau berurusan dengan orang-orang murahan, dalam artian orang-orang yang ramah dan baik. Kepribadian itu terbentuk saat Aulia duduk di kelas empat SD.”
“Tapi, dia mengingat dan mengenali keluarganya?” tanya Setyo. Entahlah, jujur saja ini sangat mengejutkan dan merupakan hal baru baginya.
“Kurang lebih begitu.” Petra mendesah berat. “Kami juga nggak begitu mengerti. Tapi, di awal Aulia mulai mengalami pergantian kepribadian itu, dia sempat nggak mengenal kami. Kami mulai memperkenalkan diri masing-masing dan sampai sekarang, kalau kepribadian yang ini muncul, dia masih selalu mengenal dan mengingat kami.”
“Apa... apa teman-temannya yang lain tau?”
“Dida dan Selvi. Hanya mereka.”
Ketiganya diam. Setyo mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh dan menatap ke dalam rumah. Dia bisa melihat Aulia sedang duduk di sofa ruang tengah sambil membaca novel.
“Penyebabnya?” tanya Setyo lagi. “Apa kalian pernah membawa Aulia ke dokter atau psikolog?”
Putra mengangguk. “Penyebab utamanya rasa ketidakpuasan diri. Tapi kami nggak pernah tau apa yang membuat Aulia nggak puas sama dirinya sendiri. Satu hal yang pasti, ini semua selalu berkaitan sama Stevano.”
“Stevano? Kakak kembarnya Aulia?”
“Ya. Kalian udah saling kenal?” tanya Petra. “Setiap kali Aulia dan Stevano berbicara, Aulia pasti akan memunculkan kepribadiannya yang ini. Kami juga nggak tau ada hal apa di antara Aulia dan Stevano selama ini. Cuma yang jelas, hubungan keduanya memang jauh dari kata baik sejak kecil.”
Si b******k itu... apa yang sudah dia perbuat sama Aulia sebenarnya, sampai-sampai Aulia memiliki kepribadian ganda seperti ini?
“Oh, kalian lagi ngomongin gue?”
Pertanyaan itu membuat ketiganya menoleh. Setyo langsung menatap tajam Austine yang dibalas dengan senyuman dingin dari cowok berkacamata tersebut. “Tamu Mama udah datang rupanya?”
“Ya. Terima kasih karena udah mengizinkan gue untuk makan malam di sini,” balas Setyo dengan nada yang sulit untuk diartikan.
“Well, enjoy your meal tonight. Tapi, jangan harap lo bisa berdekatan dengan adik kembar gue karena sepertinya, dia tidak mengenal lo, kan?”
Setyo mendengus. “Aulia? Nggak mengenal gue? Yang benar aja.” Cowok itu masuk ke dalam rumah dan menggebrak meja di depan sofa yang diduduki oleh Aulia. Setyo berhasil mendapatkan perhatian Aulia dan langsung menarik novel yang dibaca oleh cewek itu. “Look at me, you silly girl! Do you know who i am?”
Aulia hanya menatap malas ke arah Setyo, seolah-olah Setyo adalah sampah yang harus segera dibuang. Di dunia ini bagi Aulia, hanya Austine yang memiliki kelas tinggi dan harga yang mahal. Austine adalah contoh manusia hebat yang harus dia tiru dan dia jadikan panutan. Selebihnya hanyalah orang-orang tidak tahu diri dan tidak tahu di mana status mereka berada.
“Ngapain gue harus mengenal cowok rendahan seperti lo?”
Setyo diam. Lalu, bibir cowok itu mengembangkan seulas senyum. Senyum penuh percaya diri. Senyum penuh tantangan. Lantas, Setyo mendekatkan wajahnya dengan wajah Aulia dan berbisik, “Hei, lo lupa sama gue? Gue, cowok dengan rangking satu di sepanjang sejarah SMA Hanamasa di angkatan kita dan selalu berhasil mengalahkan lo dalam setiap hal. Lo mau berpura-pura lupa dengan gue karena malu dengan semua kenangan SMA dulu, Aulia Sistine? Kenangan di mana lo selalu di posisi nomor dua dan gue selalu berada di posisi pertama.”
Setelah berkata demikian, Setyo menegakkan tubuh. Cowok itu mundur dan bersedekap. Senyumannya berubah menjadi seringaian puas. Alisnya terangkat satu dan matanya menatap mengejek ke arah Aulia.
Lalu, tiba-tiba saja, Aulia berdiri dari sofa. Cewek itu menunjuk Setyo dan tatapannya berubah penuh emosi. “Hah?! Apa lo bilang barusan, Mas Setan?! Gue selalu di posisi nomor dua? Enak aja! Sembarangan! Apa lo lupa dulu stan makanan dan minuman kelompok gue menang dan jadi posisi pertama?! Kelompok lo bahkan kalah dari kelas sebelah!”
Putra dan Petra yang menyaksikan semuanya hanya bisa melongo dan menatap takjub ke arah Setyo. Selama ini, tidak ada yang bisa mengembalikan Aulia ke pribadi dominannya yang selalu ceria dan hangat, kecuali cewek itu sendiri yang berjuang dari dalam. Biasanya, ketika Aulia terbangun dari tidurnya lah, cewek itu akan berubah menjadi Aulia yang dominan.
Tapi, sekarang?
Hanya dengan kalimat dari Setyo, cowok itu bisa mengembalikan Aulia?
“Awas lo, Mas Setan! Makanan lo bakalan gue kasih racun!” Aulia mengerang kesal dan pergi ke dapur dengan langkah cepat.
“Yeah, yeah, whatever.” Setyo memutar tubuh dan menatap Austine dengan tatapan menantang. “Well, gue berhasil mengembalikan Aulia ke bentuk semula hanya dalam waktu nggak lebih dari satu menit. Jadi, Kak Stevano mau duel sama gue? Kalau emang lo yang selalu bikin Aulia mengeluarkan kepribadian sialannya seperti tadi, maka gue akan selalu mengembalikan kepribadian Aulia yang sebenarnya.”
Austine Stevano menatap Setyo Rajawali dengan tatapan membunuhnya.
Cowok sialan ini harus segera disingkirkan dari hadapan Aulia!