“Setyo tau soal masalah lo yang mempunyai kepribadian ganda?”
Pertanyaan Dida ditanggapi dengan dengusan dan wajah cemberut dari Aulia. Keduanya dan Selvi saat ini sedang makan malam di salah satu resto favorit mereka. Itu adalah hal rutin yang biasa dilakukan oleh mereka tiga kali seminggu sepulang kerja, walau ketiganya bekerja di perusahaan yang berbeda.
“Menurut Kak Putra begitu,” keluh Aulia. Cewek itu mengaduk es lemonnya. “Pas dia datang buat makan malam tempo hari karena undangan nyokap gue, gue lagi dalam mode ‘b***h’ yang mulut sama sikapnya minta digampar bolak-balik. Tapi, hanya karena ucapan cowok sialan itu, kepribadian b***h gue itu langsung tidur dan gue balik seperti sedia kala.”
“Lo ingat apa yang dia bilang ke lo waktu itu?” tanya Selvi penasaran.
Aulia mengedikkan bahu. “Something about high school or something? Yang jelas, gue ingat gue mengeluarkan kata-kata soal stan makanan dan minuman kelompok gue juara satu dan kelompok dia kalah dari kelas sebelah.”
“Ah, waktu festival sekolah?” tebak Dida.
“Sepertinya.” Aulia mendesah dan memijat pelipisnya. “This is disaster. Dia pasti bakalan mengejek gue karena gue ini punya hati yang lemah dan rasa tidak puas sama diri sendiri, sampai-sampai bisa menciptakan pribadi lainnya yang sangat menyebalkan seperti itu.”
Dida dan Selvi saling tatap. Keduanya sudah bersahabat dengan Aulia sejak masa SMA berlangsung. Dan, masalah Aulia yang memiliki kepribadian ganda juga sudah diceritakan oleh cewek itu sendiri kepada kedua sahabatnya karena merasa percaya dengan mereka. Dida dan Selvi pun pernah melihat sendiri bagaimana kepribadian Aulia berubah seratus delapan puluh derajat waktu itu.
“Aul, lo nggak pengin semua ini berakhir?”
Aulia melirik Dida. “Maksudnya?”
Cewek itu mendesah panjang. “Kita semua yang tau soal ini paham dengan situasi lo. Lo bisa punya dua kepribadian karena hubungan lo dengan Stevano. Kepribadian lo yang dingin dan selalu merasa di atas semua orang, menganggap orang lain sampah dan murah hanya karena mereka baik dan ramah sama siapa saja, menganggap diri sendiri mahal dan hanya Stevano yang bisa lo contoh dan jadikan panutan, semua itu terbentuk karena Stevano, kan? Karena perlakuan dia ke lo selama ini yang bikin lo sedih dan marah sama diri sendiri, tidak puas sama keadaan diri lo sendiri, sehingga membentuk pribadi lain seperti yang diinginkan oleh Stevano supaya saudara kembar lo itu mau mengakui lo dan menyayangi lo. Itu semua salah, Aul.”
Aulia hanya diam.
“Gue nggak tau persis apa yang lo dan Stevano alami, tapi seperti yang Dida bilang, semua itu salah. Itu nggak benar. Menurut gue, lo harus menjadi diri lo sendiri. Apa adanya. Jangan mengikuti karakter yang diinginkan oleh orang lain. Nggak ada yang salah sama diri lo, kok. Lo cantik, baik, ramah. Apa yang kurang?” Selvi menambahkan.
Yang kurang adalah Stevano nggak menginginkan semua karakter itu. Stevano membenci karakter gue yang itu dan hanya mau menyayangi serta menerima gue dengan karakter gue yang satu lagi.
“Kalau kita boleh tau,” kata Dida kemudian, “masalah apa yang pernah terjadi di antara lo dan kakak kembar lo itu? Selama ini, kita berdua hanya tau kalau pemicu kepribadian b***h lo muncul setelah lo berurusan dengan Stevano. Tapi, masalah kalian apa, lo belum pernah cerita.”
Aulia mendesah panjang dan memijat pelipisnya. “Gue juga nggak begitu ngerti, Da, Sel. Yang jelas, sejak kami kecil, Stevano nggak suka sama gue. Sikapnya selalu dingin dan cuek ke gue. Hal itu bikin gue sedih dan tertekan. Gue selalu berpikir apa salah gue, apa kekurangan gue, sampai-sampai Stevano nggak menginginkan adik kembar seperti gue. Gue juga ingat, dulu dia pernah bilang ke gue kalau dia lebih baik mati daripada bersaudara dengan gue. Bahwa dia malu punya saudara, terlebih kembar, seperti gue. Bahwa sikap gue itu terlalu murahan, mendekati semua orang demi mendapatkan perhatian mereka dan dia juga bilang dia lebih suka punya saudara yang pendiam, nggak mudah didekati oleh orang lain dan selalu bersikap elegan serta mahal di hadapan semua orang. Mungkin dari situ, karena merasa sedih dan tertekan banget, gue menutup diri gue sendiri tanpa sadar dan memunculkan sisi lain yang tertidur di dalam diri gue.”
“Gila,” decak Selvi takjub. “Umur berapa tuh, dia ngomong begitu ke elo?”
“Hmm... sembilan atau sepuluh?”
“Sinting! Anak umur segitu bahasanya udah kasar banget. Belajar dari mana kakak sinting lo itu?” tanya Dida kesal. Lalu, cewek itu mengibaskan sebelah tangan. “Past is the past. The point is, try to love yourself. This is your life, you know? Grab your own happiness with your hands.”
Aulia tersenyum tipis dan mengangguk. Dia menggenggam tangan Dida dan Selvi. “Thanks banget, ya. Kalian berdua emang sahabat terbaik gue banget, deh! Maaf kalau selama gue jadi orang lain, ada sikap atau ucapan gue yang menyakiti hati kalian.”
“Ah, no problem,” sahut Dida polos. “Sebaliknya, gue juga minta maaf kalau gue kelepasan nabok elo nanti saat kepribadian lo yang satu lagi sedang mengambil alih.”
Selvi tertawa mendengar kalimat Dida, begitu juga Dida dan Aulia. Ketiganya mengobrol bersama mengenai kejadian-kejadian menarik yang terjadi di kantor. Lalu, Aulia langsung bangkit dari kursinya begitu es lemon yang berada di pinggir meja dan di dekatnya tumpah mengenai sebagian kemeja putih yang dia kenakan dan celana bahan hitamnya. Cewek itu mendongak dan orang di depannya langsung meminta maaf sambil menampakkan wajah dan tatapan menyesal.
“Ya ampun. Sori. Sori banget! Gue nggak sengaja nyenggol gelas es lemon lo. Sori.”
Aulia tersenyum maklum dan mencoba mengelap kemeja putihnya dengan tissu. “Oh, nggak apa-apa, kok. Nanti juga kering sendiri.” Cewek itu memerhatikan orang di depannya. Seorang cowok tampan dengan potongan rambut rapi dan kacamata tipis bergagang cokelat tua. Dia memakai kemeja biru tua yang lengannya dilipat sebatas siku, celana bahan hitam seperti Aulia, dan jas hitam yang digantungkan di lengan kokohnya.
“Maaf sekali lagi.” Cowok itu buru-buru mengeluarkan dompet dan mencabut kartu dari sana. “Ini kartu nama gue. Kalau kemeja atau celana lo rusak karena ketumpahan es lemon ini, lo bisa telepon gue dan minta ganti rugi. Mm, Mbak....”
Aulia tersadar dan segera mengulurkan tangan kanannya. Dia sedikit takjub karena tangannya terasa sangat kecil di dalam jabatan tangan cowok tersebut yang tegas dan kuat. “Aulia. Aulia Sistine. Panggil Aulia aja, nggak usah pakai embel-embel ‘Mbak’.”
Cowok itu tersenyum ramah. “Right. Aulia Sistine. Nama gue Saizou Rajawali.”
Yaiks. Nama belakangnya kayak nama si Mas setan. Tapi... Saizou? Nama Jepang?
“Lo... orang Jepang?” tanya Aulia ragu. Cewek itu menarik kembali tangannya dan terpana ketika melihat Saizou tertawa renyah. Tawa yang benar-benar menawan yang pastinya akan meluluhkan hati siapa saja.
“Bukan. Gue Indonesia asli. Karena nyokap gue penggila Jepang, nama gue diambil dari salah satu anime kesukaan beliau dulu sekali. Tapi, adik gue yang sepertinya seumuran dengan lo, nggak dikasih nama Jepang karena bokap gue yang kasih nama.”
Aulia hanya membulatkan mulutnya dan mengedikkan bahu.
“Oke, sekali lagi gue minta maaf ya, Aulia. Kalau lo butuh ganti rugi, lo bisa langsung menghubungi gue.”
Aulia tersenyum dan mengacungkan kartu nama Saizou. “Sure. Terima kasih, Kak Saizou.”
Alis Saizou terangkat satu. “Kak?”
“You said yourself, right? Kalau lo punya adik yang sepertinya seumuran dengan gue. It means, you are older than me.”
Saizou tertawa lagi. “Gue hanya menebak. Umur lo berapa emang?”
“Hmm... dua puluh lima.”
“Wow. Gue menebak dengan benar. Adik gue pun umur dua puluh lima. Itu artinya, lo lebih muda tiga tahun dari gue.”
“Dan artinya lagi, gue harus memanggil lo ‘Kak Saizou’.”
Lagi, cowok itu tertawa. “Oke, deh. Gimana enaknya aja. Gue duluan, Aulia.” Saizou kemudian membungkuk sedikit untuk pamit pada Dida dan Selvi.
Sepeninggal Saizou, Aulia kembali duduk di tempatnya. Cewek itu menatap Dida dan Selvi yang entah sejak kapan sudah memerhatikannya dengan tatapan penuh arti.
“What?” tanya Aulia bingung.
“Apa lo nggak berpikir ini akan jadi peluang bagus buat melupakan cinta terpendam lo sama si kunyuk Elios?” tanya Dida dengan senyuman menggoda. “Kak Saizou sepertinya cowok mapan. Dia bilang kita tiga tahun lebih muda? Berarti dia dua puluh delapan tahun. Muda, tampan, ramah, mapan. Hell! Di mana lagi lo bisa menemukan cowok kayak gitu? Gebet aja, gebet! Lo dikasih kartu namanya, kan? Ada nomor ponselnya, kan?”
“Kesempatan emas jangan dibuang-buang, Aul. Come on, girl! Go get him!”
Aulia mendengus. “Sinting lo berdua.” Lalu, cewek itu mengerutkan kening. “Tapi, mukanya rada familiar. Apa lo berdua nggak ngerasa dia mirip seseorang?”
“Siapa?” tanya Dida dan Selvi serempak.
Aulia berpikir sejenak dan menggeleng. “Mungkin perasaan gue aja.”
###
Sudah seminggu berlalu, tapi Setyo merasa seperti baru kemarin dia mengetahui fakta mengenai Aulia Sistine yang memiliki kepribadian ganda.
Cowok itu belum melihat Aulia lagi, walau mereka bertetangga sekarang. Karena kesibukkan Setyo di kantor, dia harus pulang larut malam dan pergi pagi-pagi sekali. Tubuhnya sudah berontak beberapa kali, meminta Setyo untuk beristirahat dengan benar walau sebentar saja, tapi Setyo tidak memiliki kesempatan itu meskipun dia sangat menginginkannya.
Dan akhirnya, tibalah hari ini. Hari yang dia nantikan. Hari Sabtu. Weekend. Libur. Istirahat. Tidur. Apa pun istilahnya itu, Setyo akhirnya bisa beristirahat. Atau, setidaknya itulah yang dia pikirkan. Ketika semalam dia tidur, Setyo sudah dalam keadaan K.O berat. Dia langsung melompat ke tempat tidur bahkan tanpa mengganti pakaian dan tanpa makan apa pun. Karena terlalu lelah dengan banyaknya pekerjaan selama seminggu ini, Setyo langsung terlelap bagai orang tewas. Dan ketika dia bangun, jam sudah mengarah ke angka enam sore.
“Nyokap pasti bunuh gue kalau liat kelakuan gue tidur kayak mayat begini. Jam satu pagi tidur, bangun lagi jam enam sore. Mantap. Setyo Rajawali, lo memang gila,” gerutu cowok itu setelah keluar dari kamar mandi. Kemudian, dia terlonjak ketika mendengar suara petir yang begitu keras. Setyo mengumpat, mengelus d**a dan menyeret kedua kakinya ke dapur. Saat dia membuka kulkas, cowok itu mengerang.
Tidak ada bahan yang bisa dimasak. Bahkan sekedar makanan ringan atau minuman dingin pun tidak ada. Menyedihkan.
“Apa gue harus cari istri sesegera mungkin?” gumamnya dengan nada malas. Dia melempar handuk yang baru saja dipakai untuk mengeringkan rambutnya ke sofa dan melangkah ke kamar. Setelah menarik kaus lengan panjang dan celana training, Setyo merapikan rambutnya asal-asalan menggunakan jari-jarinya. Lalu, Setyo keluar rumah dan mengunci pintu.
Dan ternyata, di luar hujan sudah turun dengan derasnya. “Sejak kapan hujan ini turun? Kalau turunnya sederas ini, masa gue nggak dengar sama sekali? Gila, kebo banget gue.” Setyo berdecak kagum pada dirinya sendiri dan menggeleng. “Apa gue pesan makanan aja, ya?”
Saat itulah, mata Setyo menangkap sesuatu di depan pagar rumah sebelah alias rumah Aulia. Cowok itu menyipitkan matanya, mencoba memperjelas penglihatannya dan kedua matanya langsung membulat maksimal. Tanpa basa-basi, Setyo berlari ke pagar, membukanya cepat dan menuju ke pagar sebelah.
Dan, cowok itu mencengkram lengan seseorang di hadapannya. Lengan yang sudah sedingin es. Tubuh mungil di depannya itu terlihat gemetar hebat. Wajahnya pucat dan bibirnya mulai membiru.
“Aulia Sistine! Apa lo udah kehilangan kewarasan lo?!” seru Setyo gusar. Dia mengguncang lengan cewek di depannya itu yang menurutnya sudah berubah jadi patung. Bahkan Aulia tidak mau menatap matanya. “Sejak kapan lo berdiri di tengah hujan deras kayak gini?! Lo bisa sakit!”
Perlahan, kepala Aulia terangkat. Setyo mematung saat menyadari sepasang mata Aulia saat menatapnya terlihat kosong. Tidak ada emosi apa pun yang berseliweran di sana. Seolah-olah jiwa Aulia sudah menghilang entah ke mana dan hanya raganya saja yang berada di tempat ini.
“Hei, Setyo,” panggil Aulia. Meski suaranya terdengar pelan dan jauh, tapi Setyo bisa mendeteksi adanya nada dingin pada suara tersebut. “Kita ini musuh, kan?”
Rahang Setyo mengeras dan giginya mengertak. Sebelah tangan Setyo yang bebas mengepal kuat hingga buku tangannya memutih.
Apa yang sudah terjadi pada Aulia Sistine?
“Omongan lo bahkan mulai nggak benar,” sahut Setyo ketus. Walau mereka berdua memang tidak pernah akur, tapi Setyo tidak pernah menganggap Aulia sebagai musuhnya sama sekali. Tidak peduli kalau cewek itu menganggapnya demikian.
“Apa gue semenjijikkan itu?”
“Apa maksud lo ngomong begitu, Aulia Sistine?” tanya Setyo dengan nada tajam. Cengkraman tangannya pada lengan Aulia semakin menguat. Dia berharap hal itu bisa menyadarkan Aulia.
“Apa gue ini cewek murahan? Cewek yang pantas dibenci? Cewek gampangan?”
“Stop.”
“Lo juga pasti beranggapan demikian, kan? Karena itu lo selalu membenci gue sejak dulu.”
“Gue bilang stop, Aulia!” teriak Setyo. Cowok itu kini menangkup wajah Aulia dan mendekatkan wajah mereka berdua. Bahkan Setyo sempat berjengit ketika merasakan kedua pipi Aulia yang sangat dingin. “Apa sih yang lo omongin dari tadi, hah?! Ada apa?! Lo kenapa?!”
Tapi, Aulia sama sekali tidak menjawab. Dia hanya menatap kedua mata Setyo yang menyorot tajam dan gusar dengan tatapannya yang kosong. Setyo berdecak dan langsung menarik pergelangan tangan Aulia. Dia membawa cewek itu ke rumah kontrakannya bahkan menutup pintu dengan bantingan. Lalu, Setyo mendudukkan Aulia ke sofa dan pergi ke kamarnya untuk mengambil handuk kering. Sekembalinya Setyo ke ruang tamu, cowok itu melempar handuknya ke pangkuan Aulia.
“Cepat keringin rambut dan wajah lo, Aulia. Gue akan ke kamar lagi untuk siapin baju kering buat lo.”
Namun, langkah Setyo terhenti ketika dia mendengar isak tangis. Isak tangis Aulia Sistine yang baru pertama kali dia dengar selama dia mengenal cewek itu. Aulia Sistine adalah cewek paling tegas dan kuat yang pernah dia temui dan tidak pernah dia melihat atau mendengar Aulia menangis.
“Setyo,” panggil cewek itu dengan nada terbata. Saat dia mendongak dan menatap Setyo, kini Setyo bisa melihatnya di kedua mata Aulia. Mata Aulia memancarkan kesedihan, rasa tertekan dan rasa sakit. Dan yang paling membuat hati Setyo seolah ikut merasa sakit adalah ketika air mata itu terus saja mengalir di pipi putih Aulia. “Gue salah apa sebenarnya? Kenapa gue dibenci sampai seperti ini? Gue harus gimana lagi supaya bisa diakui dan diterima sama Stevano? Apa kesalahan gue sama Stevano, Set?”
Kedua tangan Setyo mengepal kuat. Si b******k itu! Apa lagi yang udah dia bilang sama Aulia sampai Aulia menangis seperti ini?!
“Sakit banget rasanya, Set,” kata Aulia lagi. Sebelah tangannya terangkat ke d**a dan memukulnya berulang kali dengan tempo pelan. “Sakit banget. Sakit.”
“Aulia, elo—“
“Apa gue harus mati?”
Kalimat itu membuat tubuh Setyo membeku. Dia bersumpah jantungnya sempat berhenti berdetak untuk sesaat. Meskipun dia sudah kedinginan akibat kehujanan, namun akibat ucapan Aulia tadi, suhu dingin yang dia rasakan semakin bertambah. Perlahan merangkak dari punggungnya menuju tengkuk.
“Aulia Sistine, don’t you dare to think like that!” seru Setyo. Dia mendekati Aulia dan menarik pergelangan tangan cewek itu sampai Aulia berdiri. “Apa lo selemah ini, Aul? Apa lo semenyedihkan ini?! Di mana Aulia yang tegas, yang kuat, yang pemarah, yang selama ini gue kenal?! Apa itu semua topeng? Iya?!”
“Terus apa yang harus gue lakuin? Apa?!” Aulia balas berseru. Dia menghapus air matanya di pipi dengan tangannya yang gemetar. “Gue nggak tau harus gimana lagi, Set! Lo juga tau soal kepribadian ganda gue dari kedua kakak gue. Barusan, satu jam yang lalu, gue bertemu sama Stevano dan seperti biasa, dia membuat gue merasa... merasa nggak diinginkan. Dia sangat membenci gue dan jijik sama gue. Setelah ini, kalau gue tertidur, gue pasti akan menjelma menjadi orang lain lagi. Gue sebenarnya capek harus menjadi orang lain seperti itu lagi, Set! Gue capek. Gue ingin menjadi diri gue sendiri. Gue yang apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihan gue dan diterima oleh kakak kembar gue! Apa itu terlalu banyak untuk gue minta?!”
“Kalau begitu tetap jadi diri lo sendiri!” teriak Setyo. “Nggak ada yang salah dengan hal itu. Tetap jadi Aulia yang pemarah, Aulia yang tegas, yang kuat, yang ramah dan baik hati sama semua orang. Aulia yang menyebalkan, yang selalu cari masalah dengan gue, Setyo Rajawali dan selalu mencari topik apa pun untuk diperdebatkan. Nggak ada yang salah sama sekali dengan hal itu. Kalau lo takut kepribadian lo yang satu lagi muncul, lo nggak perlu khawatir soal itu.” Setyo mencengkram dagu Aulia pelan namun tegas. Lalu, senyuman penuh kebanggaan dan rasa percaya diri itu muncul. “Karena gue akan menidurkan sisi itu dalam sekejap, bahkan sebelum lo menyadarinya.”
Aulia hanya diam dan menatap senyuman penuh kepercayaan diri milik Setyo yang dianggapnya sangat menjengkelkan. Cewek itu mendengus dan tersenyum tulus untuk yang pertama kalinya kepada Setyo. Setyo sendiri hanya bisa mengerjap saat melihatnya, berdeham keras dan mengalihkan tatapan. Jantungnya berdebar tidak karuan dan cowok itu mengumpat dalam hati.
Sialan. Apa gue masuk angin, makanya jantung gue rada aneh?
“Setyo? Lo kenapa?” tanya Aulia heran.
Setyo tergeragap dan berdeham lagi. Dia mengambil handuk di sofa dan menjejalkannya ke wajah Aulia. “Berisik. Sana, mandi air hangat dan pakai kaus gue. Sepertinya orang-orang di rumah lo lagi nggak ada, jadi lo bisa nunggu mereka di sini.”
Aulia mencibir. “Dasar Mas setan!” Cewek itu menoyor kepala Setyo dan berlari menuju kamar mandi. Namun, sebelum Aulia masuk ke dalam kamar mandi, cewek itu menoleh ke arah Setyo yang mengangkat satu alisnya dan bersedekap. “Mm... thanks.”
Ketika Aulia menghilang ke dalam kamar mandi, Setyo baru menyadari kalau dia menahan napasnya. Cowok itu mengipas wajahnya sendiri dan menghela napas panjang. “Muka gue kenapa panas, ya? Apa gue mulai terserang demam?”
###
“Lo keterlaluan.”
Austine Stevano melirik datar ke samping dan mendengus. Dia mengaduk minumannya dan berkata, “Menguping, heh? Menguntit gue? Kebiasaan yang sangat buruk, Andini.”
Andini Sylvania menarik napas panjang dan menarik kerah kemeja Austine hingga tubuh mereka berbenturan dan wajah keduanya sangat dekat. Ditatapnya kedua mata tajam dan dingin Austine.
“Lo kelewatan.” Andini kembali bersuara.
“Ini bukan urusan lo, Andini.”
“Lo lupa kalau gue yang selalu ada di sisi lo selama ini? Sejak kita kecil sampai kita sedewasa ini. Gue tau semuanya. Gue tau mengenai lo dan Aulia. Austine, jangan sampai lo menyesali semuanya setelah terlambat.”
Austine menyentak tangan mungil Andini dari kerah kemejanya. “Lo nggak tau apa-apa.”
Andini mendengus. “Really, Austine?”
“Pergi dari hadapan gue, Andini. Ini peringatan pertama dan terakhir buat lo.” Austine mencengkram kuat dagu Andini hingga cewek itu meringis namun tetap menatap tegas kedua mata cowok di depannya tersebut.
Setelah berkata demikian, Austine melepaskan dagu Andini dan bangkit dari kursinya. Cowok itu berniat pergi dari tempat ini, ketika dia mendengar Andini yang mengaduh. Sambil menghela napas berat, Austine menoleh dan mengangkat satu alisnya saat melihat Andini sedang meringis menahan sakit.
“Now, what?” tanyanya datar.
“Apa lo nggak bisa liat kalau gue kesakitan? Apa lo nggak bisa menebak kalau maag gue kumat?” Andini mencoba berdiri dan tubuhnya limbung ke samping. Cewek itu dipastikan akan jatuh kalau tangan kuat dan kokoh milik Austine tidak menahan pinggangnya. “Gue nggak bisa pulang sendiri.”
Lagi, Austine menghela napas berat. Cowok itu berjongkok di hadapan Andini dan menunjuk punggungnya. “Buruan. Biar gue gendong dan antar lo pulang.”
Andini tersenyum penuh kemenangan dan langsung mengalungkan kedua lengannya ke leher Austine. Tanpa kesulitan, Austine mengangkat Andini di punggungnya. Keduanya meninggalkan tempat tersebut dalam diam.
Liat aja, Austine. Gue pasti akan bikin lo dan Aulia dekat seperti saat kalian masih kecil dulu.