Seorang gadis cantik dengan gaun bermotif bunga sakura dan rambut panjang yang tergerai indah, berjalan masuk ke Restaurant Itali yang tak terlalu ramai, derap sepatu hak tingginya sedikit membuat beberapa orang teralihkan atensi agar menatapnya barang sebentar, memperhatikan sosok sempurna yang patut dipuja dengan dagu terdongak penuh pongah. Tapi sedetik kemudian, ia tersenyum simpul saat melihat seorang pria tampan di meja nomor 9 yang sudah mereka janjikan sebagai tempat untuk berbincang, pria itu terlihat sibuk dengan ponselnya hingga tak sadar bahwa gadis cantik itu mulai berjalan mendekat dan berhenti tepat di depannya.
"Hai, maaf jika kau menunggu terlalu lama." Basa-basi, sopan santun yang terlalu klise. Si pemuda tampan sedikit tersentak, ikut berdiri dari duduknya.
"Ah, tak apa. Aku juga baru tiba." Ia tersenyum, senyum terbaik yang mampu membuat semua wanita meleleh. Termasuk gadis itu yang membalas senyum simpulnya dengan ukiran indah di bibir bewarna peach yang tipis.
"Silahkan duduk." Bak pangeran negeri dongeng, si pemuda tampan berjalan sedikit, menarik kursi yang akan didudukki si gadis, mampu membuat gadis itu memperlebar senyum dengan rona malu-malu di pipi.
"Terimakasih." Balasnya sembari merapikan posisi duduk agar terlihat lebih anggun, sang pemuda tersenyum simpul sebelum ikut mendudukkan diri juga.
"Ah iya, perkenalkan namaku Serena Nathania. Apa ..kau putra dari tuan Adinata yang akan dijodohkan denganku?" Gadis itu bertanya saat keheningan melanda sebentar lalu.
Sang pemuda tersenyum ramah –berusaha menekan ego nya yang memberontak perjodohan ini-, ia mengangguk mantap.
.
.
Kiara meringis saat pemuda berkulit pucat itu mengusapkan kapas lembut yang sudah dituangkan alkohol ke bibir tebalnya yang sedikit robek dan setelah itu mengusapnya ke pipinya yang lebam kebiruan.
"Kenapa kau bisa berurusan dengan berandalan itu?" Si pemuda pucat bertanya datar, tapi suara beratnya mampu membuat Kiara bergidik. Heran, kenapa pria sedatar itu mau mempedulikannya sampai seperti ini.
"A-aku.. tidak tau. Mereka langsung memukuliku saat aku sedang di toilet. Dan-"
Kiara langsung terbelalak lebar ketika kedua tangannya meraba wajahnya dan mendapati jika kacamata kuno yang selalu bertengger di sana sudah tak ada lagi. Hal itu mampu menarik atensi si pria pucat untuk menatapnya datar.
"Apa?" Tanya nya tak terlalu penasaran, kembali berkutat dengan kapas dan alkohol, lalu mengusapkannya pada lebam di wajah Kiara yang kini menegak ludah kasar.
"K-kacamataku.. di toilet." Cicitnya parau, terlihat sangat gugup dan cemas.
Gerak tangan berjari kurus itu terhenti, mengalihkan atensi pada Kiara yang kini memasang raut lucu yang hampir membuat si pucat menggeram gemas. Segera ia mengalihkan pandangan ke lain arah dan mulai menyimpan alkohol serta kapas yang masih tersisa di nakas terdekat.
"Akan aku ambilkan." Ujarnya, tapi saat ia ingin berbalik, Kiara menahan pergelangan tangannya, dan itu membuat si pucat memandangnya lagi.
"K-kenapa kau baik kepadaku?" Kiara tanpa sadar telah menggenggam kuat pergelangan tangan itu, kedua netranya yang tak terhalang kacamata mengerjap kebingungan pada pemuda pucat yang semakin terjatuh pada pesona gadis mungil itu tepat setelah menatap kedua mata polos yang berbinar tersebut.
"Kau kenapa aneh sekali-" Si pemuda pucat menjeda sejenak, berbalik sepenuhnya untuk menatap Kiara, mendekat dua langkah ke arah Kiara yang duduk di ranjang UKS, tanpa sadar malah membuat si mungil memundurkan kepalanya, lalu tangan besar itu terangkat ke atas, hinggap di sebelah pipi Kiara untuk mengusapnya dengan tempo pelan. Membuat si mungil semakin bergetar dan mencengkram seprai kasur di bawahnya, "-Kenapa kau memasang wajah seperti itu?" Si pucat mendekatkan wajahnya, deru napas nya yang hangat menerpa permukaan wajah Kiara yang tampak mulai panik, inginnya mendorong pemuda kurang ajar itu, tapi kedua tangannya ditahan lebih dulu dan pinggangnya didekap begitu erat hingga Kiara tak bisa melawan lagi.
"A-apa maksudmu?" Deru napas Kiara sedikit cepat, semua emosi bercampur aduk di dalam diri. Perasaan kesal, marah, takut dan malu membuatnya bingung akan melakukan apa untuk menghentikan si berandalan tengik yang sudah menjadi daftar hitamnya tepat saat ia memijakkan kaki di Jakarta.
Kepala dengan rambut hitam itu mendekat beberapa centi lagi, berucap tepat di depan bibir Kiara yang terbuka setengah karena kaget, "Kau membuatku ingin menciummu. Berhenti menunjukkan ekspresi menggemaskan itu, sayang." Ia sedikit menghembuskan napas tepat di depan wajah Kiara, aroma mint menguar begitu pekat, membuat Kiara menahan napas sekejap.
Kiara tidak mengerti dengan dirinya yang hanya diam seperti patung. Percayalah, Kiara dulunya adalah gadis brandalan b******k yang ditakuti di sekolahnya di Bandung, ia bisa berbagai macam bela diri dan Kiara yakin ia bisa melumpuhkan pemuda pucat ini hanya dengan satu tendangan.
Tapi belum sempat kakinya tergerak untuk menendang, pria itu malah menahan kaki Kiara dan mengusap pahanya dengan lembut.
"Kau... ingin menghajarku?-" Tanya nya pelan, datar tanpa emosi hingga Kiara tak bisa menebak apa yang akan pemuda itu lakukan.
Dan Kiara semakin blank dengan kedua mata membola saat bibir tipis itu menempel di bibirnya, menghisapnya penuh tuntutan sembari sebelah tangan menekan tengkuk Kiara agar si mungil tak melarikan diri.
Kiara memejamkan mata penuh ketakutan, tangannya mencengkram baju si pemuda pucat dengan keras. Dalam hati terus melantunkan doa agar ini semua cepat berhenti.
Karena.. sumpah, Kiara sangat membenci orang yang kini menciumnya. Kiara membenci dia.... Danish Haidar.
.
.
Pricelia masih begitu konsentrasi dalam mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan tak lebih dari 10 menit lagi, tangannya menggerakkan pulpen dalam genggaman dengan pandangan mata jeli pada tulisan tangan yang elok terukir di kertas yang semula putih. Hanya berkutat dengan buku-bukunya tanpa mempedulikan salah satu orang yang masih berada di kelas yang sama dengannya. Aditya, pria itu tampak terlihat cemas sembari melirik jam di pergelangan tangan dan pada pintu keluar, hanya menampakkan beberapa murid perempuan yang sedang bertengger sambil bergosip ria.
"Hey, Pricelia."
Pricelia hampir terjungkal ke belakang saat mendengar panggilan terlampau datar itu, si gadis berekspresi berlebihan tersebut hampir saja mengumpat keras, tapi saat ia mendongak dan mendapati jika si datar Aditya yang memanggilnya membuatnya malah menelan semua u*****n yang ingin keluar bulat-bulat.
"A-apa?" Pricelia berusaha santai, kembali menyibukkan diri dengan bukunya sembari memasang tajam telinga agar ia bisa mendengar apapun yang pemuda mengerikan tersebut tanyakan.
"Kemana Kiara?"
Pricelia langsung mengangkat kepala, memasang pose berpikir dengan ujung pulpen di dagu, hingga tak beberapa lama ia mulai tersenyum dan berucap pasti.
"Kiara ke toilet." Jawabnya, sedikit lega, karena jika Aditya hanya membutuhkan jawaban itu, maka ia tidak akan berurusan panjang dengan pemuda pelit ekspresi tersebut.
Aditya mengangguk, merapikan buku yang semula ia baca dan memasukkannya ke dalam tas, lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih yang mampu membuat Pricelia sedikit mencebik.
Tapi tak beberapa lama Pricelia teringat sesuatu, sebelah tangannya dengan refleks memukul kepalanya kuat "Ah s**l! Kenapa aku memberitahunya?! Itu berarti Kiara dalam bahaya kan?! Bodoh!" Gerutunya sebelum menghempaskan dahi di atas meja kayu yang keras.
"Pricelia?" Tapi panggilan lain dengan nada lembut dan penuh keheranan menghampiri telinganya, Pricelia mengangkat kepala, sedikit kaget saat mendapati sosok Pratama yang berdiri di depan mejanya dengan alis terangkat sebelah. Sepertinya pria berlesung pipi itu heran dengan sikap Pricelia yang aneh.
"Eh, Pratama!" Pricelia tersenyum lebar, kedua matanya berbinar saat menatap sosok Pratama, tapi pemuda itu malah menjitak pelan dahinya.
"Bodoh, panggil aku 'Kakak’, kau ini kebiasaan sekali." Pratama menggerutu, mencebik bibir kesal pada Pricelia yang hanya terkekeh pelan.
"Ah, aku lebih suka memanggilmu dengan 'Pratama', bukankah itu terlihat imut?" Tanya Pricelia berusaha membujuk meski sekarang Pratama hanya menggeleng pasrah akan sifat Pricelia yang keras kepala itu.
"Kau berani sekali padaku. Jika dengan Adrian apa kau akan melakukannya juga?" Pratama melipat tangan di d**a, menatap puas pada Pricelia yang mulai kehilangan senyumnya.
Pratama kira perkataannya membuat Pricelia kalah telak. Namun nyatanya-
'Ah, kak Adrian ya.. Apa Pratama tak bisa melirikku untuk sesaat? kenapa harus kak Adrian lagi?'
-Perkataan Pratama yang membahas tentang Adrian, mampu membuat mood Pricelia turun ke titik terendah. Pricelia tau bahwa Pratama adalah seorang gay yang mencintai sosok Adrian yang nyatanya tidak pernah meliriknya –Pricelia tidak tau apakah Adrian juga seorang gay atau tidak, yang pasti pria dewasa itu terlihat tidak pernah menganggap Pratama lebih dari sekedar sahabat.
Pricelia hanya ingin Pratama melihatnya.
Bukan, bukan sebagai sahabat.
Bukan sebagai antara kakak dan adik.
Bukan juga sebagai seorang teman.
Pricelia hanya ingin.. Pratama melihatnya seperti pria itu melihat Adrian.
Pricelia hanya ingin.. Pratama mencintainya sebagai seorang pria yang mencintai wanita nya.
Apa belum terlambat untuk Pricelia membuat Pratama menyukai dirinya yang seorang perempuan ini?
.
.
Saat derap sepatu yang terdengar beraturan itu bergema di koridor, membuat semua orang mengalihkan pandangan pada satu sosok tampan yang berjalan tegap penuh keangkuhan, menatap lurus ke depan seakan-akan semua murid di samping kanan kirinya hanyalah properti tak bergerak. Langkahnya tiba di toilet sekolah, masuk ke dalam sana untuk mendapati bahwa suasana yang sangat sepi.
"Kiara!" Panggilnya, namun tak ada yang menjawab, bahkan Aditya telah memeriksa setiap bilik satu persatu, namun tak ada Kiara dimanapun –jangan tanyakan Aditya bagaimana ia bisa masuk ke toilet wanita ini, karena Aditya langsung menerobos untuk masuk dan dua orang gadis yang semula berada di wastafel hanya mampu bungkam melihat sosok angkuh itu melangkah di atas ubin toilet khusus kaum hawa tersebut.
"s**l, kemana murid culun bodoh itu?!"
Aditya akhirnya keluar dari toilet dan melanjutkan langkah kembali, berniat menenangkan diri sebentar di taman belakang sekolah sambil menunggu jam masuk dan akan memperingatkan Kiara untuk tak jauh-jauh darinya. Ingat, permainan itu masih berlangsung.
Tapi saat Aditya melewati UKS, langkahnya terhenti tepat di pintu yang tertutup rapat ketika mendengar suara cukup gaduh, dan Aditya tau jika itu adalah suara Kiara. Langsung saja pria datar itu membuka keras pintu UKS, nyaris mendobraknya hingga pintu itu terhempas cukup kencang. Menampakkan pemandangan dimana Kiara yang berbaring di kasur dengan pemberontakkan kecil dan orang berambut hitam yang tengah mencium leher gadis mungil itu.
Aditya tak tau kenapa ia merasa begitu marah, tangannya terkepal kuat, langkahnya tanpa sadar sudah dipercepat hingga akhirnya berhenti di belakang si pemuda berambut hitam untuk menariknya dengan kasar, nyaris melempar tubuhnya ke dinding, namun Aditya lebih dulu memberinya bogeman mentah secara cuma-cuma, menuai pekikkan keras dari Kiara yang kini mulai memperbaiki duduknya dan merapikan seragamnya yang kusut.
Aditya hilang kendali, memukul pria berkulit pucat itu beberapa kali tanpa bisa melawan hingga akhirnya pria itu tersungkur dengan sudut bibir berdarah. Ia terduduk di lantai, meringis merasakan perih di bibir dan wajahnya sebelum mendongak untuk melihat Aditya di sana, menatapnya nyalang, hampir kembali menerjangnya dengan pukulan sebelum Kiara memeluk pria itu erat. Sontak membuat Aditya berhenti mengamuk.
"A-Aditya, hentikan." Kiara berujar parau, suaranya gemetar. Rasa takut masih menguar jelas dalam ekspresi dan getar tubuhnya.
Aditya sedikit tenang, menarik napas sebentar dan menstabilkan degup jantungnya yang semula penuh emosi. Berbalik menghadap Kiara dan melepaskan pelukkan mereka, memegang bahu gadis mungil itu sembari kedua mata menatap penuh tuntutan.
"Kenapa kau membiarkan Danish melecehkanmu?!" Aditya berucap datar, tapi Kiara tau jika dalam pertanyaannya tersimpan nada bahaya yang tersamarkan. Kiara menggigit bibir bawahnya, ia menggeleng dengan pandangan mata yang sontak sedikit membuat Aditya luluh.
"Ayo, ikut denganku." Aditya menarik tangan Kiara, melangkah keluar dari UKS sebelum Aditya kembali berbalik, memandang Danish yang mulai berdiri susah payah dari duduknya.
"Sekali lagi aku menemukanmu melakukan hal ini pada Kiara, aku akan membuatmu hancur di tanganku." Kata-kata itu terucap tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Sedang orang yang diberi peringatan hanya memasang senyum meremehkan. Walaupun sudut bibirnya robek, hal itu tampaknya tak membuatnya gentar sedikitpun.
"Kenapa kau sampai melakukan hal ini hanya karena dia?" Tanya nya, menunjuk Kiara yang kini berada di samping Aditya. Tawa suara berat itu terdengar aneh karena diselingi ringisan sakit akibat sudut bibir yang berdarah.
Aditya terdiam, pegangannya pada pergelangan tangan Kiara tanpa sadar mengerat. Rahangnya menggeretuk dan pandangan matanya menatap nyalang pada Danish.
Pertanyaan itu telah membuat Aditya mati kutu seperti i***t.
Ia terdiam, pikirannya bercabang, ikut bertanya dalam hati, kenapa? kenapa ia melindungi Kiara sampai seperti ini. Tapi saat itu yang terpikirkan oleh Aditya hanya satu kalimat, "Aku... hanya tidak suka kau menyakiti.. mainanku. Hanya aku... yang boleh menyakitinya ataupun melindunginya.."
-TBC-