Bersama

1621 Kata
Alden memicingkan matanya saat melihat seorang cewek berjalan pelan di sisi lapangan parkir menuju gedung sekolah di depannya. Namun, yang membuat Alden heran bukan main adalah karena saat ini tengah gerimis, dan cewek itu dengan sintingnya malah berjalan santai tanpa gangguan. Alden mengusap rambut basahnya pelan dengan pokus masih ke arah cewek itu, Alden rasa ia agak seditik mengenali poster tubuh itu. Tapi entah siapa, Alden Hari ini ia sedikit terlambat, dan Alden malas masuk kelas jika hanya untuk mendapat hukuman. Makannya ia berleha-leha disini, hari ini ia tidak berencana masuk kelas. “Sial.” Alden mengumpat pelan, saat hujan yang tadi hanya gerimis berubah menjadi hujan lebat. Secepat kilat Alden berlari, tapi anehnya lagi dan lagi punggung cewek itu lah yang menjadi titik pokus Alden. ***** Sefrin mengepalkan tangannya erat. Raut marahnya, sangat kentara di wajahnya. Lagi dan lagi Sefrin kembali menjadi pemeran antagonis di keluarganya. Kenapa begitu? Apakah salah jika dirinya marah dan tidak mau memaafkan ayahnya? Apakah semua itu salah? Banyak sekali pertanyaan dalam otaknya, hingga tidak sadar bahwa ada hujan yang menerpa tubuhnya. Seputar pertanyaan melintasi otaknya, perihal ayahnya, perihal keterlambatannya hari ini juga hukuman yang mungkin ia dapat, dan lagi perihal seseorang yang akhir-akhir ini selalu menggangu pikirannya. Seseorang bermata elang yang selalu menatapnya tajam dan selalu melontarkan kata-kata tajam setiap kali mereka berinteraksi. Ada saatnya hatinya ikut terkoyak saat mendapatkan perlakuan seperti itu. Disaat tengah memikirkan itu semua, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menggenggam tangannya erat, membawanya berlari melintasi lapangan dengan air hujan yang turun begitu deras menghujani tubuh mereka. Sefrin melotot, tapi inilah saatnya genggaman tangan hangat saling bertaut, inilah saatnya detakan jantung bergerak cepat, inilah saatnya dimana pokus mata hanya bertuju padanya. Dan inilah saatnya saat Sefrin sadar ada yang salah dalam dirinya. Tiba di perbatasan koridor sekaligus lapangan, Cowok yang membawa Sefrin berlari berhenti membuat Sefrin tanpa kendali hampir menabrak tiang pembatas jika cowok itu tidak memegang bahunya dan reflek membalikan tubuh Sefrin, hingga akhirnya mereka saling berhadpan berhadapan. Jarak mereka begitu dekat, untuk pertama kalinya Sefrin tidak kuasa melihat manik cowok itu. Tangannya meremas rok abunya hingga kusut. Sefrin tidak lelah, namun napasnya terengah dengan wajah merah magenta. Sefrin kembali dibuat terkejut, saat tangan besar milik cowok itu dengan lancang menarik sedikit rok abu nya hingga sebagian paha yang terekspos tertutupi. Seketika Sefrin mendongkak, dan menemukan cowok itu tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Keadaan cowok itu basah, dan seketika Sefrin sadar bahwa keadaan tubuhnya tidak jauh beda dari cowok itu. Mereka basah. “Ini bukan club malam, tapi tampilan lo persis kayak jalang.” Sefrin malah tertawa, saat cowok itu mengatainya. “Kayaknya mulut lo perlu gue ruqiahin Den.” Alden menatap Sefrin sekilas. “Gak perlu. Soalnya setannya udah keluar, nih di depan gue.” Sefrin tertawa renyah, tapi Alden mendengus tidak suka apalagi saat Sefrin kembali menaikan roknya. Alden membuka tas miliknya lalu melemparkan sebuah jaket yang dengan cekatan dapat Sefrin tangkap. “Pake. Pusing gue liat tubuh lo.” Tanpa mau mendengar balasan Sefrin, Alden berjalan-tapi kali ini bukan kekelasnya. Melainkan melangkah tenang dengan kaki panjangnya lurus kedepan. Sefrin di tempatnya melirik Alden juga jaket dalam tangannya bergantian. Tak berselang lama Sefrin menatap Alden kesal. “Dasar mesum.” Dengan perasaan yang tidak dapat Sefrin deskripsikan, cewek itu memakai jaket Alden tergesa. Terasa wangi di penciumannya. “Mau kemana lo? Lo mau kabur dari hukuman ya?” teriak Sefrin. Alden meringis di tempatnya teriakan Sefrin dapat di dengar oleh orang siapapun. “Bukan urusan lo.” Sefrin menyilangkan tangannya. “Gak gantle banget.” “Sorry. Tapi, gue bukan gantleman.” Sefrin melangkah cepat, Alden yang mendengar derap langkah di belakangnya hanya mendengus kesal. Selalu ada yang tidak terduga, dan selalu terasa istimewa. Begitu yang dirasa. ***** Sefrin memincingkan matanya saat melihat kesekeliling tempat yang mereka datangi. “Kok kita malah kesini?” “Gue yang kesini. Lo cuma penguntit.” Sefrin melebarkan matanya, lalu menatap Alden kesal. “Mulut lo emang harus difilter biar gak ngomong sembarangan.” “Biar nyadar.” Celetuk Alden. Sefrin tidak menghiraukan Alden, cewek itu mulai melangkah kedepan. Melihat tempat yang sebelumnya tak pernah sekalipun ia singgahi. Mereka berada di balkon sekolah. Balkon ini tergolong nyaman dengan pemandangan yang indah. Disana ada beberapa kursi yang Sefrin duga sebagai tempat tongkrongan anak-anak. Namun sayang karena hujan Sefrin tidak bisa berjalan terlalu jauh kedepan, disana tidak ada atap yang melindunginya dari hujan. “Halo?!” Sefrin menatap Alden saat cowok itu menelpon seseorang. Alden balas menatap Sefrin, namun hanya sedetik karena setelahnya cowok malah menatap ke arah lain. “EH SETAN. Mau apa lo hah?” Alden menjauhkan telinganya ketika suara disebrang sana berteriak. Diam-diam ia menghela napas lega kala orang disebrang sana menjawab teleponnya. “Dewa.” Panggil Alden. “Apaan Den. Gila ya lo nelpon gue gak berhenti-henti. Untuk gak ketauan si botak.” Suara diujung sana menyahut sekaligus memperotes karena sikap Alden yang menelponnya tiada henti untung saja tidak ketahuan guru. “Salah sendiri ngangkat telepon doang susahnya naudzubillah.” “Eh monyong, seharusnya lo mikir lo nelpon gue saat pelajaran. Masa iya tiba-tiba gue ngangkat telpon lo, ntar gue ditedang dong dari kelas.” “Iya-iya gue salah.” Alden mengakui kesalahannya. “Wa tolong pinjemin baju olah raga punya cewek dong dikelas.” “Wow, buatan apaan tuh.” Dewa kedengeran penasaran. Alden mengacak rambut basahnya prustasi. “Alah loh jangan banyak bacot. Bawa aja ke toilet ntar gue kesana.” “Emang lo dimana?” “Di balkon.” “Ngapain lo disitu? Oh iya lo kesiangan hahaha.” “Gak usah ketawa. Bawa aja baju olah raganya” Alden memerintah, dan Dewa mengaguk diujung sana. Sambungan pun terputus. Sefrin berjalan mendekati Alden. “Tadi Dewa ya?” Tanya Sefrin. Alden mengantungi ponselnya. Lalu menatap Sefrin penuh selidik. “Ngapa lo? Naksir sama dia?” Sefrin memasang wajah jijik. Dunia sudah kiamat, jika Sefrin menyukai orang semacam Dewa. “Tadi lo minjem baju olahraga buat gue ya?” Tanya Sefrin mengabikan pertanyaan Alden. Namun yang ditanya malah diam dan menatap Sefrin datar, ditatap seperti itu Sefrin malah nyengir. “Gue gak nyangka lo orangnya care juga. Pasti suka ya sama gue?” Senyuman Sefrn terpatri diwajahnya. “Gak lah. Gue cuman gak mau aja jaket gue dipake lama-lama sama lo.” Ceplos Alden. “Nanti banyak bakterinya lagi.” Katanya lagi pedas. Mendengar itu Sefrin menggeram. ”Gak cuma bakteri, virus aja udah pasti betah nempel di jaket lo ini. Bahkan sebelum lo kasih ke gue juga.” Pekik Sefrin histeris. Alden teteplah Alden. Pekikan histeris Sefrin cuma menjadi angin lalu saja baginya. “Kena rabies baru tau rasa lo.” Cicit Sefrin pelan supaya tidak terdengar oleh Alden. “Belagu bener jadi cowok.” Alden mendorong bahu Sefrin. “Sumpahin aja gue terus.” Sefrin memegang dadanya, Sefrin kaget hampir saja dia terjatuh. Alden memang tidak ada sisi lembutnya sama sekali. “Heh! Lo ya gimana kalo gue jatuh.” “Lah emang itu tujuan gue.” Alden tertawa s***s. “Cewek bawel kayak lo emang pantes digituin.” Sefrin menendang tulang kering Alden, tapi cowok itu tidak terlihat kesakitan sama sekali.”Gue jadiin perkedel lo b******k!” Umpat Sefrin. “Cih, cewek kayak lo emang bisa masak?!” “Jangan hina gue, gini-gini gue paling jago masak air.” Sontak Alden melepaskan tawa renyahnya, lepas sekali hingga Sefrin yang berada di depannya mematung. Ia terpesona. Untuk pertama kalinya seorang Alden Raveno yang selalu jahat padanya tertawa lepas tepat di depan matanya. Sefrin tidak sedang bermimpi kan? Diam-diam Sefrin menunduk, menggit pelan bibir merahnya. Ada apa ini? kenapa begini? Secepat kilat Sefrin merubah ekspresinya, dan kembali menatap Alden. Cowok itu sudah berhenti tertawa, namun masih ada sisa senyuman disana. “Kok bibir lo pink?” Sefrin memiringkan kepalanya menatap Alden. “Emang gini.” Sahut Alden. “Lo pake lipstick ya?” “Ya kali gue pake lipstick.” Alden tidak habis pikir dengan tuduhan tidak mendasar dari Sefrin. Memangnya cowok apa yang memakai lipstick? Banci? Sorry Alden bukan banci. Alden duduk di sebuah kursi diikuti oleh Sefrin. Balkon ini telah menjadi markas bagi Alden juga dengan teman-temannya. Alden selalu merasa tenang di sini. “Gak percaya.” Sefrin memincingkan matanya. Alden hanya mendengus dan berlagak tak peduli. “Ini emang dari sananya.” “Yaudah sini bibir lo, biar gue rasain.” Tawa Sefrin menggelegar, saat Alden refleks menjauhi tubuhnya dari Sefrin. Kenapa masih ada cewek sefrontal Sefrin? “Jadi, lo ngerokok?” tanya Sefrin lagi setelah tawanya mereda. Alden menatap Sefrin dengan kening berkerut. “Gak ngerokok gue.” “Bohong. Kalo emang gak pake lipstick pasti lo ngerokok. Ngaku lo!” Sefrin menuduh Alden, membuat Alden menghembuskan nafas kasar. “Gue ngerokok kalau emang ada masalah yang ngebuat gue frustasi. Gue masih punya otak buat gak ngejadiin rokok sebagai kebutuhan.” Ucap Alden santai, ia tidak memungkiri bahwa dirinya memang merokok jika sedang prustasi. Karena sejatinya ia bukan cowok alim yang menjauhi hal-hal seperti itu, Alden punya otak untuk mencegah selagi ada batasan yang dapat ia kendalikan. “Lebih bagus lagi kalo gak dijadiin pelarian. Rokok itu membuat candu, sekarang lo ngerokok cuma karena pelarian. Nanti-nanti lo malah jadi kebiasaan dan gak bisa lepas dari rokok.” Sefrin berkata tenang. Alden disampingnya memperhatikan dengan otak berpikir. “Tapi masalahnya gue suka frustasi tiap hari.” Sefrin memukul lengan Alden. “Itu artinya bukan lagi pelarian bego.” Kesal Sefrin. Alden mengusap lengannya, lalu mengulum senyum. “Masa?” Sefrin mendelik tidak merespon Alden. Sedang Alden hanya mengangkat bahunya acuh dan membuka sebuah permen karet dari saku dan mengunyahnya pelan. Alden menatap Sefrin saat cewek itu menyodorkan tangannya. “Mau.” “Mau lo?” Tanya Alden memastikan. Sefrin mengaguk. Alden mengeluarkan permen karet dari mulutnya dengan tangan lalu memberikannya kepada Sefrin. “Nih.” Seru Alden dengan alis dinaik turunkan, menggoda Sefrin dengan permen karet bekasnya. Padahal permen karet yang dimilikinya masih terbilang banyak namun sesekali menggoda Sefrin tidak masalah bukan? Sefrin menatap Alden dan juga permen karet bekasnya. Lalu tanpa diduga Sefrin mengambil permen karet dari tangan Alden dan memakannya. Alden melotot. Apalagi saat Sefrin mengunyahnya tanpa rasa jijik. “Kenapa?” tanya Sefrin. “Permen karetnya masih manis kok.” Sefrin yang menjadi korban tapi Alden yang mengerang, lalu menutup mata dengan lengan. “Cewek gila. Cewek gila.” Kata Alden prustasi. Sefrin mengguncang Alden heran. “Kenapa?” “Dasar cewek setan!” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN