Sefrin mengenyit bingung, saat menemukan sebuah mobil yang tidak dikenalinya berada di halaman rumahnya. Seperti biasa, malam ini Sefrin lagi-lagi pulang terlambat.
Sejenak Sefrin mencengkram kemudi mobilnya erat, mengusir pikiran negatif yang tiba-tiba datang.
Sefrin berjalan pelan menuju rumah.
Menghirup napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Selalu ada rahasia dibalik sebuah kehidupan, dan inilah rahasia hidupnya yang selalu ia sembunyikan rapat-rapat. Tentang Sefrin yang tidak pernah bisa menerima keadaan.
Sefrin berhenti berjalan saat pintu rumah terbuka tiba-tiba. Seorang cowok bertubuh tinggi berdiri disana dan menatap Sefrin tajam.
“Baru dari mana kamu?” Cowok itu berjalan menghampiri Sefrin. Sefrin mendongkak untuk melihat wajah cowok itu, lalu membuang muka.
“Bukan urusan Kakak.” Jawab Sefrin datar.
Cowok itu-Ezra-meremas bahu Sefrin pelan, menatap Sefrin tidak terbaca.
“Jangan kayak gini lagi!” katanya sarat akan permohonan.
Disaat Sefrin tidak melakukan apapun, mengapa orang lain selalu memandangnya buruk? Mengapa begitu?
Satu tahun Ibu juga Kakaknya meninggalkannya. Memilih pergi ketika Sefrin memohon untuk tidak pergi. Lalu sekarang mengapa Kakaknya tiba-tiba berada disini?
“Mama minggu depan pulang Dek. Jangan marah ya? kita lebih milih kamu.” Jelas Ezra. Satu tahun lalu Ezra juga Ibunya pergi ke Amerika untuk mengurus kesalah pahaman tentang Ibu juga Ayahnya, tapi tidak untuk meninggalkan Sefrin.
Bagaimana pun juga tidak baik jika terus bermusuhan dengan masa lalu apalagi masa lalu itu adalah sebuah kesalahan pahaman. Lagi pula Ibu juga Ayahnya masih saling menyanyangi.
Namun ternyata Sefrin masih belum bisa menerimanya. Tapi, Ezra mengerti mengapa Sefrin begitu.
Terbiasa hidup selama belasan tahun tanpa seorang ayah membuat Sefrin menjadi pribadi seperti ini, lagi pula Sefrin masih menganggap Ayahnya b******n karena pergi dengan wanita lain. Padahal sebenarnya itu hanyalah sebuah keslah pahaman, tapi Ezra tidak berkenan memberi tahunya. Itulah permintaan Ayahnya, ayahnya ingin dirinya sendiri yang memberitahu Sefrin langsung apa adanya.
“Kenapa begitu bukannya dulu kalian pergi buat si b******n itu kan? Lalu kenapa sekarang kembali? Perjuangan kalian sia-sia, begitu?”
Kesadaran Ezra seketika kembali. Ia menatap Sefrin tidak habis pikir.
“Sefrin!”
“Apa? Mau bela dia.” Raut wajah Sefrin berubah, dimatanya terdapat aura permusuhan.
“Jangan salahkan kami. Jika, kamu sendiri yang menyakiti diri pada situasi ini.” Seketika Ezra ingin sekali menenggelamkan dirinya. Ia salah bicara.
Sefrin memandang Ezra tanpa ekspresi. Ck, kata-kata itu lagi, pikir Sefrin. Beberapa kali Sefrin mendapatkan telepon seperti itu dari Kakak maupun Ibunya. Ternyata makin lama, kata-kata itu semakin memuakkan ditelinganya.
“Menyakiti apa hah?”
“Terima Papa kembali.” Tegas Ezra.
“Gak bisa. Dia udah nyakitin Mama sama Kakak.” Jawab Sefrin jujur.
Seketika Ezra membeku, ada kehangatan yang menelusuk hatinya.
“Kakak sama Mama udah maafin Papa. Sekarang giliran kamu? Karena bagimanapun dia juga Papa kamu.” Bujuk Ezra lembut.
“Gak bisa.”
“Sefrin!!!”
Sefrin berdecih. Bagaimana bisa dirinya memaafkan ayahnya, jika yang Sefrin tahu hanya keburukan tentang ayahnya saja. “Kakak belum jelasin apa-apa sama aku.”
“Papa yang ingin jelasin langsung sama kamu. Kamu harus ngerti.”
“Yaudah kenapa dia gak jelasin juga sama aku?”
Ezra mencoba sabar. “Itu karena kamu sudah terlalu sering menghindar setiap kali Papa mau bicara sama kamu. Papa lelah.” Jelas Ezra. Ezra selalu merasa prustasi setiap kali ayahnya kembali dengan tangan kosong. Sefrin selalu tahu bagaimana caranya menghindar. Sudah Ezra bilang Sefrin itu selalu mempersulit dirinya sendiri. Entah apa yang direncanakannya, Ezra pusing memikirkannya.
Makin hari Sefrin selalu makin menyebalkan.
Sefrin mengagukan kepalanya mengerti. “Oh jadi hanya segitu perjuangan seorang ayah? Rasanya aku makin gak mau maafin dia.”
“Sefrin!!!”
*****
Alden menidurkan diri dikasur rasanya tubuhnya sakit semua, tapi untungnya semua hasil jerih payahnya itu terbayar meskipun tubuh dan nyawanya yang menjadi taruhan. Diluar sudah malam ah.. hampir tengah malam karena setelah Alden melirik jam di atas naskah jarum jam telah menunjukan pukul setengah dua belas. Diluar juga tengah hujan lebat disertai petir, hawa-hawa dinginpun masuk kekamar Alden membuat Alden kedinginan dan terpaksa mengeratkan selimut guna menghalau rasa dingin.
Tiba-tiba Alden teringat, apakah kedua adiknya sudah tidur? Atau belum. Ia khawatir adik-adiknya belum tidur dan ketakutan, orangtuanya sangat sibuk hingga tak ada waktu bahkan untuk mengurus anak mereka sendiri terutama sibungsu yang bisa dibilang masih sangat kecil.
Alden bangit dari kasur dan berjalan kearah pintu, tapi sebelum sempat ia membuka pintu ia dikejutkan oleh suara ketukan tak beruntun disertai tangisan kecil.
Alden langsung membuka pintu dan menemukan sibungsu yang tengah menangis ketakutan dan menatapnya polos.
“Daniel ganggu abang ya?” Cicitnya pelan.
Ketakutan tampak jelas diwajah Daniel, tapi meskipun begitu bibir mungilnya tersenyum tipis walaupun air mata masih mengalir dipipinya. Membuat Alden tanpa sadar gemas dengan sendirinya.
“Enggak. Abang juga tadi mau kekamar Daniel kok.” Alden mengulas senyum tipis lalu berjongkok, menyelaraskan tubuhnya dengan sang adik. “Daniel takut ya?”
Bibir bawahnya digigit pelan. “Iya Daniel takut.” Lalu Daniel
mendongkak guna melihat Alden yang sedikit lebih tinggi darinya meskipun Alden tengah berjongkok.
“Biasanya ada Ibu yang selalu temenin Daniel. Tapi sekarang Ibu gak ada dan Daniel ketakutan.”
Alden menahan gejolak didada ketika Daniel menejelaskan apa ia maksud,ia ikut merasa terluka bagaimana pun sibungsu Daniel masih membutuhkan peranan ibu didalam hidupnya.
“Ibu pergi tapi tapi Daniel mengerti ibu pergi, karena bekerja untuk Daniel hingga tidak pulang sampai sekarang.” Daniel berujar lalu dengan polosnya terkekeh. “Daniel akan akan tetep menunggu ibu. Selama apapun itu.”
Alden tersenyum simpul. Membiarkan luka menganga di hatinya. “Iya abang juga akan menunggu Ibu.” Sahutnya tulus sekali.
Daniel tersenyum dengan senangnya, diikuti tangan yang meraih tangan Alden membuat Alden lantas berdiri mengikuti keinginan sibungsu menuju kasur.
Tiba dikasur tiba-tiba Daniel terdiam namun tidak dengan ekor matanya yang bergulir resah.
“Eh Ayah juga.” Daniel terkekeh. “Saking merindukan Ibu Daniel Hampir kelupaan dengan Ayah.” Daniel kembali terisak membuat Alden panik sekaligus bingung.
“Hey... hey kenapa? Jagoan abang gak boleh nangis.” Diusapnya air mata Daniel yang mengalir.
Daniel mengaguk dan berucap tak apa meskipun berkata sambil terisak pelan, terlihat menahan air matanya kembali. Diam-diam Alden dihantam rasa bersalah, melihat bagaimana menderitanya si bungsu berkat keegoisan orangtuanya dan menumbalkan dirinya sebagai korban sekaligus pelaku.
“Daniel kesepian. Daniel butuh ibu dan Ayah. Daniel rindu ibu. Daniel rindu Ayah.” Daniel mengaku akan kerinduannya pada sosok ibu dan Ayahnya.
“Mereka juga merindukan Daniel.”
“Bohong.” Daniel menyela. “Lalu kenapa Ayah dan Ibu tidak pulang jika memang rindu”
Terlepas sudah kemarahan serta kekecewaan yang selama ini Daniel pendam seorang diri. Alden mengerti karena sama halnya dengan Daniel, ia juga ikut merasakan hal yang sama.
Alden juga merasa bimbang karena yang dipertaruhkan sekarang adalah kebahagiaan kedua adiknya juga kebahagiaanya sendiri. Membuatnya bingung untuk memilih salah satu, karena kenyataannya kita Alden hanya memilih salah satu diantaranya percayalah mungkin kebahagiaan semu yang ia dapat. Ayah dan Ibunya terlampau tega hingga membuatnya menderita begini.
“Daniel hanya perlu menunggu. Ayah dan Ibu pasti akan pulang dan berkumpul bersama kita lagi.” Alden tak sepenuhnya berbohong karena ia benar-benar akan mengusahakan itu semua terwujud. Meskipun tidak dengan cara instan yang telah disuguhkan orang tuanya. Alden akan berusaha semaksimal mungkin, dan membuat Ayah dan Ibunya meratap menyesal.
“Eh Kania sudah tidur?” Alden menatap Daniel bingung, jika seseorang merasa ketakutan seperti Daniel seharusnya ia menggunakan alternatif yang lebih mudah seperti datang ke kamar kania yang memang persis berada disamping kamarnya dan bukan malah datang kekamarnya yang notabenenya jauh dari kamarnya sendiri. Kamar Alden dilantai atas sedangkan kania dan Daniel dilantai bawah.
Daniel mengerjap dengan polosnya, air matanya masih terlihat dipipinya yang merah. “Kata ibu guru. Laki-laki tak sepantasnya datang kekamar perempuan makannya Daniel tidak berani datang dan memilih pergi kekamar abang.”
Hening.
Alden terkekeh pelan Lalu membawa Daniel kedalam pelukannya dan mengacak surainya pelan. “Benar itu Daniel. Tapi disituasi seperti ini Kania itu kakak Daniel, jangan karena Kania perempuan Daniel jadi sungkan kepadanya. Dan Daniel tidak perlu takut untuk datang kepadanya bila ada situasi-situasi menakutkan Daniel seperti sekarang ini. Mengerti?”
Daniel melepaskan diri. Menatap Alden dengan tatapan berbinar.
“Benarkah? Tapi Daniel sudah beranji pada Bu guru. Apa Daniel tidak ingkar janji?”
“Tidak Daniel Ibu guru juga akan mengerti.”
Tanpa mereka ketahui seseorang memperhatikan mereka dalam diam, terlihat menahan diri bahkan hanya untuk sekedar ikut bergabung meratap kesedihan bersama mereka.
Kania hanya bisa menangis dan tersenyum mendengar percakapan Kakak dan adiknya itu. Sebelumnya ia panik karena melihat kamar Daniel yang kosong tapi ternyata Daniel ada disini, dikamar kakaknya.
Orang tuanya terlalu membebani Alden, hingga Alden tidak bisa bergerak dengan leluasanya. Alden terlalu dikekang diwajibkan membahagiakan mereka tanpa diberi kesempatan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Kania berharap semoga Alden bisa menemukan kebahagiakan dirinya sendiri tanpa menoleh melihat mereka karena Kebahagian Alden adalah kebahaigian mereka juga.
Cukup. Alden terlalu banyak berkorban, Karena setiap pengorbanan yang Alden lakukan akan menimbulkan luka mengerikan dihatinya yaitu rasa besalah. Biarlah sekarang giliran mereka untuk berkorban.
Lalau ia menutup pintu yang sedikit ia buka tadi untuk sekedar melihat kedua saudaranya, lalu ia menyeret tungkainya mundur teratur menjauhi kamar sang kakak. Lalu menggeleng sekuat tenaga sembari memukul dadanya yang sesak.
Penat, jengah, bosan. Tiga kata satu penafsiran yang menunjukan betapa klise hidupnya selama ini. Sejak kecil kania telah terlatih untuk memahami medan akan dunia sekitar, namun entah mengapa tidak pada rasa sakitnya. Ingin sekali ia mengakhiri semua penderitaan ini. Ingin sekali ia berbahagia dengan adik dan kakaknya tercintanya. Dan bukan malah terjebak dalam situasi menyakitkan, yang diciptakan oleh orangtuanya sendiri.
Lalu ia menghembuskan napas pelan sebelum benar-benar hilang diantara ruang pembatas.
Kania tidak pernah tahu kakaknya sendiri tengah berlawan melawan keinginan orang tuanya, untuk kebahagiannya sendiri, untuk kedua adiknya, dan juga untuk seseorang yang menjadi alasan Alden mengapa bertahan hingga sekarang. Alden mempunyai tanggung jawab yang besar tanpa pernah diketahui orang lain.
*****