Rival

1036 Kata
“Sefrin.” Suara itu membuat mata Sefrin terbuka bersamaan dengan dirinya yang mulai turun dari ranjang dan menghampiri sumber suara tersebut. “Sefrin, buka pintunya!” Orang itu berteriak sambil terus mengedor pintu. “Sabar!!!” Teriak Sefrin kesal. Setelah memutar anak kunci dan membuka pintu, sekarang Sefrin bisa melihat wajah seseorang yang berdiri tepat dihadapannya. Ia terlihat kesal dan siap memarahinya. “Lama amat sih disuruh buka pintu doang?!” Ezra mengomel. Sefrin cemberut. “Ya kakak pikir aja pinter. Masa ia aku dari kamar sampe sini sampe lima detik, yak gak mungkin kali.” Ezra menyentil kening Sefrin dan membuat adiknya itu mengaduh. “Kakak hampir digigit anjing tadi makannya buru-buru nyuruh buka pintu.” “Lah kenapa mau digigit?” Tanya Sefrin polos. “Gak tau, naksir kali.” ***** Seberapa besar masalah yang mereka hadapi, tapi tetap saja jalinan persaudaraan antara mereka begitu kental hingga dapat merobahkan dinding kokoh yang membatasi mereka. Begitulah yang terjadi antara Sefrin dengan Ezra. Seberapa banyak Sefrin menolak memaafkan Papa mereka, tapi tetap saja kasih sayang seorang kakak pada adiknya tidak dapat Ezra tahan begitu saja, hanya karena masalah itu. Apalagi mereka sudah hampir setahun tidak bertemu, hingga Ezra dengan tidak tahu dirinya berpura-pura bodoh dengan berprilaku seperti biasa kepada Sefrin seolah tidak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Seperti sekarang. Dua anak manusia itu sama-sama diam di sofa, menatap lurus layar televisi yang tengah menyala menampilkan siaran kartun. Sudah hampir dua jam mereka saling diam dan hanya pokus pada tontonan mereka. “Kita delivery yuk?” “Gak.” Jawab Sefrin singkat. Ezra kicep lalu ia menggeser duduk mendekati Sefrin. “Ayo dong dek, kamu jadi orang jangan nyebelin mulu. Kakak kan yang bayar.” Sefrin pura-pura tidak peduli, acara Kakaknya untuk mendekatinya sudah terpangpang jelas di wajah Ezra. Tapi Sefrin memang tidak ahli berakting, tadi saja dia hampir bersikap lunak pada Ezra saat Kakaknya itu datang dan mengomel kepadanya. Dasar Ezra tidak tahu diri. Tiba-tiba ponsel Sefrin bergetar dan menampilkan informasi bahwa seseorang telah meneransfer sejumlah uang ke ATM-nya. Sefrin tersenyum sinis, Papanya lagi-lagi mengirim sejumlah uang padanya padahal sikap Sefrin selama ini begitu buruk. Sefrin memang bukan orang baik, karena sampai sekarang dirinya belum bisa memaafkan Papanya. Sefrin hanya perlu waktu. Dan Sefrin harap mereka dapat mengerti. “Aku gak mau delivery.” “Ya udah, yuk keluar.” Semangat Ezra. ***** Ezra ternyata membawa Sefrin kesalah-satu mol, mereka sudah berkeliling untuk mencari makan bahkan bermain bersama. Sefrin mengapit tangan Ezra erat, matanya memincing mellihat beberapa orang yang memperhatikan mereka. Ia menjadi merasa seperti seorang artis yang kemana-mana pasti diperhatikan, dan itu tanpa sadar membuatnya risih. “Kak kenapa mereka liatin kita sih?” Bisik Sefrin, tapi matanya tajam membalas lirikan orang-orang yang melihat mereka. “Karena kamu.” Kata Ezra malas. Sefrin melirik Ezra lalu menunjuk dirinya. “Lho ko aku sih?” “Penampilan kamu Dek. Sadar dirilah.” Tukas Ezra melepaskan kaitan Sefrin pada lengannya. “Lah emang kenapa? penampilan aku keren gini.” Bela Sefrin sambil melirik penampilannnya yang normal-normal saja. “Ya kamu pikir aja. Ini di Indonesia Dek bukan di Korea, Kakak mohon deh yak jangan ikut-ikutan tren disana.” Ezra melirik Sefrin sebal, dan dibalas Sefrin dengan tatapan datar. Sefrin hanya memakai celana jeans putih pendek sepaha, ditambah jaket jeans juga yang kelewat besar untuk Sefrin, itu seenarnya jaket Ezra yang tadi dipinjamnya, juga kacamata hitam dan rambutnya yang digulung dengan manis. Itu penampilan normal dan biasa dipakai dimanapun, hanya saja Ezra yang berlebihan. “Siapa yang ngikutin tren sih, aku manis gini.” Tawanya memuji diri sendiri. “Semerdeka kamu aja deh.” Katanya pasrah. Ezra harus lebih bersabar lagi, untuk acara pendekatannya. Sefrin kembali mengapit tangan Ezra, dan mulai berkeliling kembali. Tapi matanya tak sengaja melihat visual seorang cowok yang sangat dikenalnya. Ia berada ditoko mainan menemani seorang anak cowok yang Sefrin kira berumur lima tahun yang tengah asik memilih mainan. Cowok itu-Alden, terlihat santai dengan pakaian casualnya. Merasa diperhatikan Alden mendongkak dan bertemu pandang dengan Sefrin yang tengah tersenyum dan melambai kearahnya seolah melupakan bahwa Alden orang yang selalu membuatnya kesal, Alden tidak membalasnya. Sekarang Alden merasa membeku saat netranya menangkap Sefrin dengan seorang cowok yang Sefrin apit dengan mesra. Napasnya memburu dengan cepat, rahangnya mengeras, juga giginya yang ikut gemertak. Ia benci mengakui ini namun Alden rasa ia tidak suka Sefrin bersama cowok itu. Sefrin mengerit bingung, mengapa Alden malah menatapnya tajam. Tidak di sekolah atau di luar Alden masih tetap menyebalkan, pikir Sefrin kesal. Jadi benar bahwa Alden membencinya? “Dek ke toko baju yuk, kamu harus pilihin Kakak baju yang cokok pokoknya.” Titah Ezra menyeret Sefrin ke salah satu toko, dan membiarkan Alden terus menatapnya dengan tajam. “Masih mau dipilihin?” Sefrin menatap kakaknya bingung campur aneh, tak biasanya Ezra mau dipilihkan baju olehnya. “Jangan banyak tanya pilih aja deh.” Suruh Ezra mendorong Sefrin semakin masuk ke dalam toko. “juga kalau kamu mau bisa pilih baju yang kamu mau sepuasnya.” Sefrin makin menatap Ezra aneh, tak biasanya Ezra seperti ini. Sefrin menempelkan tangan ke atas dahi Ezra dan mengerit ketika merasakan bahwa Ezra sehat-sehat saja. “Kakak gak sakit kok.” Ucapnya polos. ”Kakak sehat Dek. Sana gih.” Dari pada melihat Sefrin yang tengah memilih baju Ezra memilih keluar dari toko dan memperhatikan kesekitar. Ia jadi teringat saat seorang cowok seumuran Sefrin menatapnya tajam dengan marahnya kepada mereka tadi, ia sebenarnya sadar namun memilih mengabaikan. Oh ternyata orang itu masih ada disana, namun ada yang berbeda karena ada seorang anak perempuan yang tengah asik merajuk kepadanya. Regan tidak dapat mendengarnya berbicara apa namun ia mengerti hanya dengan melihat gerak mulutnya yang sepertinya meminta pulang. Cowok itu sepertinya mengiakan karena wajah anak itu seketika menjadi cerah, anak perempuan itu menggandeng bocoh kecil yang nyatanya terlalu asik melihat mainan. Dan pasrah ketika tangannya ditarik berjalan. Ezra masih asik memperhatikan, lalu matanya terbelalak saat cowok itu berbalik badan dan membalas tatapannya tak kalah tajam darinya. Dalam hati Ezra tersenyum, ia tak mengenal cowok itu namun instingnya sebagai laki-laki tahu bahwa cowok itu sebenarnya siapa. Alden bersumpah setelah pulang dari sini lalu mengantarkan kedua adiknya pulang ia akan langsung pergi ke markas dan meluapkan emosinya saat itu, tangannya sudah kaku siap menghantam apapun. Ketika ia berbalik kembali untuk kedua kali ternyata cowok itu, cowok yang tadi bersama Sefrin masih menatapnya dan menyunggingkan sebuah senyuman yang Alden artikan sebagai sebuah senyuman ejekan. Sial, ternyata hatinya ikut menghina. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN