Setelah sampai di sekolah di antar ayahnya, Jennie Oclay berdiri memandangi gerbang Quon High yang besar, yang terbagi menjadi dua jalur, jalur masuk dan keluar yang sangat lebar.
Seorang siswa cowok, sebaya dengan Jennie dan juga mengunakan seragam yang sama dengannya muncul entah dari mana, dan langsung menciumnya.
Tidak bisa di katakan sebuah ciuman.
karena benda lembut dan kenyal hanya bersentuhan ringan dengan bibirnya sepersekian detik, sangat cepat dan sangat singkat, tetapi malah membuat Jennie Oclay berubah menjadi patung, kaku dengan matanya melebar dan nafasnya tertahan secara refleks.
Seolah-olah di tekan tombol pause otaknya yang berputar dua puluh empat jam sehari, tiga ratus enam puluh lima hari setahun tiba-tiba menjadi kosong dan buntu.
Jennie Oclay terlalu shock untuk menghajar b****g cowok itu.
"Bagaimana? Aku menang" teriak cowok yang barusan menciumnya dengan paksa ke arah kumpulan cowok lain yang tak jauh dari tempat mereka berdua berdiri.
Setelah berteriak, Dia menoleh dan menatap Jennie sambil tersenyum lebar "Terima kasih. Kau sangat membantuku memenangkan lima ratus ribu" katanya, lalu cowok itu melambaikan tangan sambil berlari dan cengengesan kearah teman-temannya.
Jennie terlalu terpana. Mungkin karena fakta bahwa wajah didepannya sangat tampan, apalagi di tambah senyumnya yang seolah-olah menyihir. Atau juga mungkin karena dia tidak akan memprediksi bahwa sambutan hari pertama sekolahnya begitu spektakuler, yang belum pernah di alaminya sebelum-sebelumnya dalam hidupnya.
Ketika dia tersadar kembali oleh teriakan siswa lelaki itu, Jennie Oclay mendapati fakta menyebalkan yang serasa menghancurkan hidupnya. Dia dijadikan bahan taruhan dihari pertama sekolah.
"Ah!" geram Jennie Oclay kaget.
Itu ciuman pertamanya!
Br*ngsek!!!!
Tapi sebelum Jennie bisa mengeluarkan kutukan dan kemarahan, yang bisa dia lihat hanya punggung siswa lelaki itu.
Jennie menghentak kakinya dengan kesal, matanya memerah, bahkan wajahnya merah padam dari leher karena menahan amarahnya.
Jika saja ada efek khusus sudah dipastikan asap membubung di kepalanya.
Bagaimana mungkin ciuman pertamanya dirampas begitu tidak manusiawi?
Juga ciuman pertamanya diambil laki-laki asing yang nafasnya bau tembakau.
Sial!
Sial! Sial!
Laki-laki yang berhak mendapat ciuman pertamanya harus seorang yang ia suka sepenuh hati.
Kesialan apa yang datang dihari pertamanya. Tidak pernah terlintas di otaknya bahwa ciuman pertamanya didapatkan oleh gelandangan bau dan dekil.
"Jennie, Kau kenapa?" tanya Allysa saat melihat Jennie duduk muram disampingnya saat acara penyambutan siswa baru. "Mana semangat perjuangan menangkap cowok kaya gantengmu? Juga senyum lebar setiap harimu yang seperti orang gila? Tidak kah kau melihat banyaknya cowok menarik di sini"
Salah satu hal yang membedakan Quon dan sekolah lain adalah tidak adanya, MOS, masa orientasi siswa. Masa yang mengenalkan pada senior galak dan jahil yang akan menjahili dan mengerjai siswa baru. Dan Jennie sudah mengatakan hal itu di telinga Allysa puluhan bahkan mungkin ratusan kali.
"Kemarin kau masih sangat bersemangat karena hari pertama masuk sekolah di Quon bahkan mengirimiku pesan ratusan kali di tengah malam. Lihat lingkaran hitam di bawah mataku, ini semua ulahmu" Tambahnya tidak lupa melebih-lebihkan.
Jennie tersenyum masam, bahunya merosot, tangannya terkepal dan dia berharap mengayunkan tinju pada pelaku untuk melepaskan kekesalannya dan membunuh pelaku hingga ratusan kali.
"Ituu terlalu menjijikkan" Keluh Jennie "Ciuman pertamaku dirampas gelandangan dekil. b******n kumuh bau rokok, rambutnya panjang, dekil dan pendek. Ya Tuhan.... Argh!... Menjijikkan" Lanjutnya sambil membersihkan bibirnya lagi dengan tisu, meski kejadian itu sudah berlalu, tapi sensasinya masih saja tertinggal di sana dan setiap kali mengingatnya Jennie rasanya ingin muntah saja.
Allysa memandangnya dengan sorot mata ikut berduka, dan menepuk bahu Jennie "Ya ampun Jen, bagaimana bisa? Kau tidak diantar ayahmu? Kau harus lewat sendirian gang-gang kecil?" tanyanya mengintrogasi.
Jennie mengibaskan tangannya dan membantah kesal "Tidak seperti itu Ally. Ayahku pasti akan selalu bersikeras mengantarku di hari pertama sekolah, bahkan jika dia mengalami patah tulang dia pasti akan tetap bersikeras mengantarku ke sekolah dan mengambil puluhan foto yang katanya di jadikan kenang-kenangan. Tapi kejadian itu terjadi di gerbang sekolah. Dan berita terburuknya gelandangan itu masih berseragam Quon. Rasanya aku ingin pindah sekolah saja" desahnya sambil masih berusaha membersihkan bibirnya dengan punggung tangan.
Mata Allysa melebar sesaat, lalu dia langsung menoleh, menyipitkan mata dan mengamati ekspresi sahabatnya yang selalu serius kalau-kalau dia bercanda lagi tapi dia tidak tahu "Astaga Jennie, bercandamu sama sekali tidak lucu" katanya dengan kening berkerut.
Jennie memutar bola matanya "Kau pikir aku bercanda. Perutku rasanya mual. Kau lihat baris terakhir, laki-laki berambut panjang, dia gelandang sialan itu!" katanya.
Allysa menoleh ke balik bahunya. Alisnya terangkat tinggi. Lalu menatap temannya dengan tatapan curiga "Apa matamu tiba-tiba burikkan? Dilihat dari manapun dia sama sekali tidak seperti gelandangan dekil Jennie Oclay"
"Tidakkah kau melihat dia sama seperti pembuat onar yang di katakan seniormu? Bukankah yang dimaksud seniormu itu sama saja dengan gelandangan itu"
"Seniorku tidak pernah mengatakan gelandangan Jennie. Hanya anak orang-orang tertentu yang kelewat nakal"
"Apa bedanya" Degus Jennie "Bukankah itu jenis badboy-badboy yang sering kau baca"
"Wow. Kelihatannya menarik" Allysa berkomentar nakal "Bukankah dikatakan badboy yang tampan cuma di dia fiksi dan yang berada di dunia nyata seperti dajjal? Kenapa dia begitu nyata"
Bahkan jika di lihat dengan jarak dua puluh meter, yang akan terlihat adalah wajah tampan dan alis tebal, hanya wajahnya nampak seperti lelaki yang sulit di atur.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Allysa sudah berlarian di lorong menyongsong Jennie Oclay yang baru saja datang dan sialnya ia malah menubruk sahabatnya sendiri karena terlalu bersemangat.
Jennie mengelus dadanya yang bertubrukan dengan Allysa "Allysa kau cari mati, hah! Dadaku bisa-bisa makin rata" gerutunya.
"Apakah Kau Ingin tahu siapa gelandangan yang menciummu?" tanya Allysa mengabaikan tatapan mematikan Jennie.
Jika Jennie adalah seorang yang kaku, maka Allysa adalah orang yang ramah dan mudah berteman. Dia akan menjadi detektif dadakan kapan saja. Mengetahui apa saja dengan bergosip dengan siswa perempuan lainnya.
"Tentu saja aku ingin tahu!" tegas Jennie Oclay. "Jika saja aku tahu pasti sudah lama kutendang b****g laki-laki sialan itu dan mencincangnya berulang kali"
"Dia Al Carrow, keponakan angkat pemilik Quon. Dia memang badung, tapi cukup tampan dan kaya, jadi setidaknya kau cukup beruntung ciuman pertamamu didapat seorang seperti dia" jelas Allysa bersemangat.
"Beruntung? Itu kesialan Ally. Itu kutukan. Di mataku dia tidak cukup tampan, dia dekil dan kucel. Rambutnya seperti tidak pernah keramas. Pakaiannya tidak terurus, bagaimana seseorang bisa hidup seserampangan itu..."
Belum selesai Jennie mendeskripsikan, laki-laki itu malah berjalan bersama gerombolannya di samping Jennie.
Dan Jennie Oclay merasa mual lagi. Gelandang itu adalah Al Carrow dan Jennie Oclay bersumpah membalas perbuatan laki-laki itu.
Lihat dan tunggu pembalasannya.
Dan hal yang paling menyebalkan adalah Al Carrow yang sama sekali tidak meliriknya bahkan ketika mereka berpapasan. Seolah-olah dia hanya orang asing, seolah-olah dia hanya berperang sendirian.