Part 6

1673 Kata
"Tewaaaaaa!" "Tewaaaaaa!" "Tante Wawaaaa!" Arrayan menghembuskan nafasnya kesal ketika sudah berteriak ke seluruh lantai dua Mansion namun tidak kunjung menemukan keberadaan Anwa. Perasaan anak sepuluh tahun yang baru saja bangun tidur itu perlahan tak enak ketika membayangkan tentang sesuatu. "Tewaaaa!" teriak Rayyan lagi turun ke lantai bawah dengan terburu-buru. "Bi Elen, lihat Tewa enggak?" tanya Rayyan ketika melihat salah satu asisten rumah tangganya nampak sedang bekerja. "Tewa? Maksud Tuan muda, Nyonya Anwa?" tanyanya Bi Elen yang diangguki  cepat oleh Rayyan. Anak laki-laki berharap jika Anwa hanya sedang main di taman belakang atau pergi membeli sesuatu sebentar lalu kembali. Rayyan harus tenang, lagi pula Anwa sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya kan? Ia baru saja merasakan kasih sayang seorang ibu dan tak mau kehilangan. "Nyonya Anwa sudah meninggalkan rumah sejak pagi sekali, Tuan." Arrayan merasakan hatinya hancur ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Bi Elen. Bocah laki-laki itu mengepalkan tangannya, bibirnya perlahan bergetar menahan rasa panas yang mulai menjalar di bagian bawah matanya. "Padahal malam tadi Nyonya Anwa menunggu kepulangan Tuan besar," beritahu Bi Elen membuat Rayyan mengerutkan dahinya. "Apa nyonya Anwa  sudah berpamitan dengan Tuan besar kemarin malam?" Tanpa menjawab pertanyaan Bi Elen, Rayyan langsung berlari ke lantai atas dengan secepat kilat membuat Kepala Pelayan itu yang melihatnya membulatkan mata sekaligus takut jika majikannya itu terjatuh. "Ya ampun tuann! Pelan-pelann!" "Maap Bi Elennnn!" Arayyan kemudian langsung membuka pintu kamar kakaknya tanpa mengetuk. Alis bocah kecil itu langsung bersatu ketika melihat Ansell ternyata masih terlelap dalam tidurnya. "Kak Ansell! Kak Ansell!" "Kak Ansell bangun!" teriak Arayyan sambil menggoyang-goyangkan lengan Kakaknya.  "Apa, Ray?” tanya Ansell masih memajamkan matanya. "Kak Ansell kenapa biarin Tewa pergi?" tanya Rayyan dengan mata berembun. Laki-laki kecil itu merasa sangat sedih sekaligus kecewa pada Anwa yang meninggalkannya. Padahal wanita itu sudah berjanji bahwa akan selalu menemaninya namun apa?  Sungguh, Arrayan menyesal terbuai bujuk rayu Anwa untuk tidur malam kemarin. Jika ia tahu bahwa Anwa akan pergi, Rayyan memilih untuk tidur agar bisa menahan kepergiannya. "Tewa siapa, Ray?" tanya Ansell masih memejamkan matanya mengantuk. Pria itu masih mengenakan pakaian semalam hanya saja tak menggunakan atasan. "Tante Anwa pergi!" seru Arrayan membuat kelopak mata Ansell terbuka sempurna. Kepala pria itu langsung dihantam oleh rasa pusing yang menjalar membuatnya kembali memejamkan mata. "Tewa ngomong sesuatu enggak sama Kak Ansell? Tewa bilang bakal kembali lagi enggak?" tanya bocah itu beruntun membuat Ansell terdiam, ingatannya kemudian langsung tertuju ke arah kejadian semalam. Dimana ia hampir saja melecehkan Anwa karena pengaruh alkohol. "Anwa pergi?" tanya Ansell yang diangguki Rayyan yang sudah menangis. Kepala pria itu begerak ke arah kiri dan kanan, seperti sedang memikirkan sesuatu. Nampaknya mabuk tadi malam membuat kepintaran seorang Ansell sirna setengahnya dan menyisahkan laki-laki yang kebingungan. "Kita harus cari Tewa, Kak Ansell!" "Benar!" seru Ansell mengangguki. Ia bahkan belum sempat meminta maaf atas kejadian semalam dan malah meninggalkan Anwa seorang diri di kamar itu. Pasti wanita itu merasa sangat hancur dan hina dengan dirinya sendiri. "Pake baju duluuuu!" teriak Rayyan ketika sang kakak sudah berlari menuju pintu dengan tubuh tanpa memakai atasan. ————- "Ini kuncinya, perbulannya 700 ratus ribu. Airnya kadang hidup, kadang enggak. Yah gitulah..." "Iya, Buk. Saya sewa satu bulan dulu," kata Anwa sambil memberikan uang sewa kontrakan. "Iya, enggak apa," sahut Ibu pemilik kontrakan itu mengangguk santai lalu menyimpan uang yang diberikan Anwa didalam bajunya, tepatnya di dalam branya. "Oh, iya satu lagi. Disini kalo ketahuan bawa yang bukan suami saha langsung dinikahin, cari hotel aja kalo kebelet begituan. Ada tuh yang 200 ribuan di depan sana!” "Begituan?" tanya Anwa tak mengerti. "Kawin tapi belum menikah," ujar Ibu kos itu membuat Anwa meringgis seketika. “Kamu janda kan?” tanya Ibu itu lagi membuat Anwa mengangguk kaku. “Sudah saya pergi dulu.” "Iya, buk, terima kasih." Anwa lalu masuk ke dalam kontrakannya ketika Ibu kos itu sudah pergi. Tidak ada yang istimewa memang kontrakannya, hanya tiga ruangan bersekat triplek yang kosong. Ruangan tamu yang benar-benar kosong, kamar—-ada satu tempat tidur dan terakhir dapur yang langsung terhubung dengan kamar mandi. Sederhana tapi ini akan menjadi rumah untuknya, tempat saat ia pulang. Anwa bisa bebas melakukan apapun disini tanpa harus merasa sungkan dengan siapapun. Anwa menggigit bibir bawahnya resah ketika mengingat bahwa ia sama sekali tidak berpamitan dengan siapapun saat meninggalkan rumah. Harusnya, ia tetap berpamitan dengan Ansell atau Rayyan. Keduanya sudah sangat baik padanya. Tapi, Anwa takut tidak bisa menolak ketika melihat Rayyan menangis untuk memintanya menatap disana. Dan, masalah Ansell, laki-laki itu mungkin tengah menyesali dirinya yang hampir saja melalukan itu dengan Anwa. Anwa bukan gadis muda yang memiliki tubuh kencang dan langsing. Ia hanya seorang perempuan yang hampir memasuki empat puluh tahun dengan tubuh yang sedikit berisi. Namun, setidaknya ada satu orang yang menyukai tubuhnya. Rayyan, bocah itu bilang bahwa Anwa enak dipeluk karena empuk. Ah, perasaan Anwa menjadi tak tenang ketika mengingat Rayyan. Entah apa yang akan terjadi ketika bocah itu terbangun dan tidak menemukan Anwa. Rayyan mungkin akan bersedih atau malah biasa saja.  Namun, jujur dalam hati Anwa, ia mengharapkan Rayyan merindukannya karena ia juga merindukan bocah sepuluh tahun itu. Krukk! Krukk! Anwa meringgis ketika mendengar bunyi perutnya, ia belum mengisi perutnya sejak meninggalkan rumah Ansell saat pagi sekali. Namun, kini wanita itu sudah tenang karena sudah mendapatkan kontrakan. Ia akan mencari nasi uduk atau sarapan lain di depan gang sana. Siapa tahu dia juga mendapatkan info tentang pekerjaan di sekitar sini? Lima menit, jarak kontrakan Anwa dengan gang cukup jauh namun tidak memberatkannya. Sebenarnya ada kontrakan yang berada tak jauh dari gang namun harganya membuat Anwa yakin tak akan sanggup membayarkannya. "Buk, nasi uduknya dua tapi dijadikan satu saja. Dibungkus ya, Bu.” "Oke, neng!" Anwa mendudukan tubuhnya di sebuah kursi plastik sembari menunggu pesanannya jadi. BRAKK! Anwa terkejut ketika sebuah motor besar tiba-tiba jatuh menabrak sebuah motor matic tak jauh dari gerobak nasi uduk yang sedang ia beli. Seingatnya, penumpang motor itu nampak seperti anak kecil. Buru-buru Anwa mendekat ke sana karena penasaran, berharap bahwa semuanya baik-baik saja. "Rayyan?!" pekik Anwa ketika melihat seorang bocah laki-laki berusaha berdiri. "Tewaaaa?!" pekik Arayyan balik, anak laki-laki itu langsung berlari menuju Anwa walau dengan terpincang dan memeluk Anwa dengan erat. Ansell yang sedang menegakan motornya ikut membulatkan mata ketika meliha sosok Anwa yang berada di antara kerumunan orang yang melihatnya. Rasa sakit yang tertuju pada tangan dan kakinya seperti hilang ketika berhasil menemukan wanitanya. "M-mas, saya minta maaf banget. Saya tadi mau beli nasi uduk tapi langsung potong jalur Mas, selagi saya minta maaf, Mas," sahut si pengemudi yang membuat Ansell dan Arayyan jatuh. Ansell memperhatikan adiknya terlebih dahulu sebelum menjawab perkataan si penabrak itu, karena jika adiknya terluka parah ia tak akan melepaskan pria itu. Namun, karenanya pria itu juga akhirnya Ansell dan Rayyan menemukan Anwa, mungkin ia akan berbaik hati. Toh, adiknya juga hanya luka sedikit. "Iya, tidak apa-apa. Lain kali hati-hati." "Saya harus ganti berapa, Mas?" tanya si penabrak ketakutan karena motor yang dibawa Ansell berharga setengah miliyar. "Tidak usah," jawab Ansell membuat si penabrak langsung mengucapkan terima kasih. "Kaki Kak Ansell berdarah!" seru Rayyan ketika melihat cairan merah di kaki kakaknya. "Ray enggak ada yang luka?" tanya Ansell balik, tak mempedulikan dirinya sendiri. "Ansell, kaki kamu luka! Kamu harus segera diobati!" jerit Anwa yang memang dasarnya sedikit trauma dengan darah. Ansell mengangguk, jika yang mengobatinya adalah sosok Anwa. Ia tidak akan menolak dua kali. Jika perlu, ia ingin setiap hari diobati. Ansell kemudian dibantu oleh beberapa warga untuk menuju kontrkan Anwa. Dua respon adik dan kakak itu tentu saja kompak ketika menilai rumah dari Anwa. "Tewa kenapa tinggal digudang?" tanya Rayyan masuk ke kontrakan Anwa dengan sendal. "Kamu tidak berencana tinggal disini kan, Anwa?" tanya Ansell yang sudah dibaringkan di ruang tamu. "Jangan bilang kalo sudah—-awhhh!" "Ansell, diam!" gemas Anwa yang heran kenapa pria itu masih banyak bicara. "Baik-baik," sahut Ansell langsung membiarkan Anwa mengobati lukanya. "Tewa laper..." sahut Rayyan duduk di samping Anwa. "Ini Tewa tadi beli nasi uduk tapi cuman ada satu, nanti Tewa beli saja lagi untuk Kak Ansell." "Tidak usah, kita makan bertiga saja. Ini porsinya banyak!" seru Rayyan takjub melihat nasi uduk itu dengan porsi besar. Sebenarnya itu dua porsi yang disajikan jadi satu, Anwa yang meminta. Wanita itu ingin merangkam sarapan dan makan siangnya.  Rencananya ia ingin mencari kerja setelah ini namun takdir malah berkata lain. Anwa yang mengira bahwa Ansell dan Rayyan akan menjadi bagian kenangannya seperti Mbah Endang ternyata kembali dipertemukan. "Aaaaaa... Tewa buka mulutnya..." pinta Rayyan sambil menyodorkan sendok berisi makanan ke arah Anwa. "Sekarang Kak Ansell lagiii... tutt! Tutt!" "Kak Ansell jangan buka mulutnya terus!” kesal Rayyan yang melihat Ansell tak henti-henti membuka mulutnya. Lapar sekali Kakaknya itu nampaknya tapi Rayyan juga sedang lapar masalahnya. “Kita beli gerobak dan penjualnya nanti,” sahut Ansell santai membuat Anwa yang mendengarnya gemas. Tanpa sadar menekan luka pria itu membuatnya berteriak. “Aaaaaa!” pekik Ansell kesakitan. Rayyan yang melihatnya tertawa dan Anwa merasa sedikit bermasalah. "Tewa, mau pipis," cicit Rayyan menarik baju Anwa pelan. "Di belakang, ada kamar mandi. Ray pipis disana saja.” "Oke!" Rayyan mengacungkan jari jempolnya. "Sudah selesa,” kata Anwa ketika sudah membalut luka Ansell dengan baik. "Anwa,” panggil Ansell ketika wanita itu sedang membersihkan kotak obat yang ia pinjam dari tetangga. “Hmm,” dehem Anwa tanpa menoleh. Ansell menggaruk kepala belakangnya bingung. Laki-laki itu merasa bingung untuk mengatakan apa namun ia tiba-tiba teringat dengan perkataan Anwa ketika mengajari Rayyan tentang tiga kata ajaib. Maaf, terima kasih dan tolong. “Terima kasih dan... maaf.” "Tidak perlu meminta maaf, kalian tidak merepotkan,” jawab Anwa sambil tersenyum kecil menatap ke arah Ansell. "Maaf tentang kejadian malam kemarin, Anwa,” ungkap Ansell. Tubuh wanita itu sontak membeku membuat Ansell yang melihatnya semakin merasa bersalah. "Tidak apa, aku akan melupakannya. Aku tahu jika Ansell mabuk, karena itu Ansell ingin malakukannya," jawabnya dengan pelan. Ansell sebenarnya ingin mengatakan bahwa tanpa mabuk pun, ia ingin bersama Anwa. Namun, itu sama saja menyakiti hati wanita itu bukan? Ansell tidak tahu ingin mengatakan apalagi, akhirnya laki-laki itu memutuskan untuk diam. Itu yang terbaik sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN