Seorang wanita tengah berdiri di depan sebuah gerbang Sekolah yang sebentar lagi akan mengumandangkan bel pulang, beberapa orang tua murid juga sudah berada di depan sana menunggu putra dan putri mereka.
Anwa menundukan kepalanya saat merasakan tatapan aneh dari orang tua siswa yang turut menunggui anaknya. Tentu saja mereka heran dengan keberadaannya, tidak mungkin seorang dengan seragam office girl mampu menyekolahkan anaknya di sebuah Sekolah termahal di kota ini?
“Disuruh sama atasan untuk jemput anaknya ya, Buk?” tanya seorang wanita muda tiba-tiba menghampiri, melirik dari atas hingga bawah tubuh Anwa.
Anwa mengangguk saja sambil tersenyum kecil lalu kembali menundukan pandangannya.
Setelah mendapatkan jawaban, wanita muda itu kembali menuju rombongannya. “Bukan jemput anaknya, jeng,” kata ibu muda itu lagi pada teman-temannya, sedikit jauh dari Anwa.
“Ya iyalah, mana mampu,” celetuk seseorang wanita dari rombongan itu yang masih dapat Anwa dengar. Lalu disusul dengan tawa kompak dari mereka.
Anwa menggigit bibir bawahnya resah ketika mendengar perkataan dari ibu-ibu muda itu, bukan masalah ucapan mereka yang mencelanya namun tentang Ray nanti. Ia juga merutuki kesalahannya yang tidak mengganti baju seragam kerjanya dengan baju biasa—-atau paling tidak melapisinya dengan jaket.
Pekerjaannya hari ini cuup banyak hingga membuatnya lupa bahwa hari ini ia memiliki janji untuk untuk menjemput Ray di sekolahnya. Wanita itu sungguh terkejut ketika melihat jam sudah menujukan pukul 12, itu artinya lima belas menit lagi Ray akan pulang.
Anwa bergegas meninggalkan pekerjannya untuk menuju sekolah Ray yang untungnya tak jauh dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang.
Dan, sekarang Anwa dilanda dilema, apa dirinya kembali saja dan mengganti pakaian terlebih dahulu? Atau tetap menunggu disini?
Tapi, bagaimana jika Ray malu dengan kehadirannya?
Keresahan yang melanda hati Anwa tiba-tiba lenyap ketika melihat seorang anak laki-laki yang sedang berjalan bersama tiga temannya, melambaikan tangan dengan penuh semangat ke arah Anwa. Tak lupa sebuah senyuman yang membuat batin wanita itu menghangat
Sebelum Ray berlari menuju Anwa, anak-laki itu menujuk wanita yang menjemputnya itu pada ketiga temannya dengan wajah sombong. “Itu Bundaku!”
“BUNDAAAA!”
Ada dua hal yang membuat beberapa orang tua—terutama ibu-ibu terkejut ketika mendengar teriakan dari Rayyan. Pertama, mereka tahu betul siapa itu Arrayan. Adik dari seorang pengusaha sukses yang perusahaanya tak jauh dari sini. Lalu yang kedua, Ray yang memangggil Bunda pada seorang office girl?!
“Ray seneng banget Bunda tepatin janji buat jemput Ray di Sekolah,” ucap Ray tersenyum lebar sambil mengayun-ayunkan langan Anwa yang masih terkejut dengan panggilan bocah laki-laki padanya.
“Ayo, Ray mau lihat tempat kerja Bunda!” Anwa mengangguk, wanita itu kemudian menggengam tangan Ray untuk menuju tempat kerjanya.
Sedangkan para ibu-ibu sosialita yang masih terkejut mulai merapatkan lingkaran mereka dan mulai mengeluarkan suara dengan lirikan sinis pada Anwa yang pergi bersama Ray.
Mereka tidak menggibah tapi berbagi informasi dengan gaya.
“Itu benaran Ibunya si Ray?”
“Kan udah lama meninggal, Jeng.”
“Jangan-jangan itu Isteri Kakaknya?!”
“Hah? Masa? Tapi kok kayak udah tua ya, Jeng.”
“Terus pake seragam office girl pula.”
“Mungkin lagi cosplay jeng, orang kalo udah terlanjur kaya emang agak beda tingkahnya.”
“Besok pakai itu juga yuk, jeng,” ajak salah satu ibu-ibu.
“Hayuk!”
Tak perlu memusingkan rumpian ibu-ibu itu, kini Anwa dan Ray sedang berjalan bersama di atas trotoar menuju perusaahan dimana Anwa bekerja.
“Panas, nak?” tanya Anwa melihat wajah Ray yang memerah. Anak laki-laki yang merepatkan tubuhnya ke arah Anwa itu menggeleng.
Anwa menghela nafasnya, padahal ia tahu sekali bahwa cuaca saat ini tengah terik. Ia jadi sedikit menyesal saat mengiyakan keinginan Ray yang minta dijemput olehnya. Padahal anak laki-laki itu bisa pulang ke rumahnya dengan mobil yang jelas tak akan membuatnya kepanasan namum karena bersama Anwa, bocah itu malah harus berjalan kaki di bawah sinar matahari yang cukup terik.
Mereka kemudian sampai di perusahaan tempat Anwa bekerja. Tentu saja mereka tidak masuk dari pintu utama, melainkan dari tempat parkir yang terhubung dengan ruangan tempat teman-teman sejawat Anwa istirahat.
“Makan siang dulu ya? Tewa suapin.”
Ray yang mendengar perkataan Anwa mengangguk tidak bersemangat membuat sang wanita merasah aneh.
Anwa mengajak Ray untuk makan di sebuah taman yang memang jarang sekali dikunjungi oleh para karyawan kantor.
“Tewa,” lirih Ray saat Anwa menyuapkan bocah itu dengan bekal yang ia bawa dari rumah.
“Hem? Apa?” tanya Anwa sambil membersihkan sebutir nasi dari bibir sang bocah.
“Ray mau minta maaf karena panggil Tewa dengan sebutan Bunda tadi,” tutur bocah laki-laki itu menatap ke arah Anwa dengan mata bulatnya.
“Memangnya kenapa Ray tadi panggil Bunda tadi?” tanya Anwa penasaran.
“Ray mau tunjukin kalo Ray punya Bunda,” lirih bocah itu membuat hati Anwa tiba-tiba ikut merasa sedih. Sejujurnya, ia tak masalah dengan panggilan yang Ray berikan padanya.
“Tapi, Ray bohong lho. Dan, Ray tahu kan kalo itu enggak baik?” tegur Anwa dengan lembut.
“Ray kesal diejek sama teman-teman karena enggak punya Bunda!” ungkap anak itu membuat Anwa menariknya ke dalam pelukan. Tubuh anak itu langsung bergetar dan isakannya terdengar membuat sang wanita semakin terenyuh.
“Ray punya Bunda kok cuman emang enggak bisa nemenin Ray disini,” ucap Anwa sambil mengelus rambut bocah itu yang lebat.
“Mama,” lirih Ray.
“Oh, Ray panggilnya Mama ya?” tanya Anwa sambil mengelus rambut sang bocah dan dijawab dengan anggukan.
Anwa membiarkan bocah itu memeluknya hingga tangisnya mereda. Ia memang tidak keberatan dengan panggilan Ray namun Anwa merasa bahwa ia tidak bisa seenaknya saja. Bagaimana dengan pandangan Ansell nanti?
Ansell? Sudah beberapa hari setelah kecelakaan dan permintaan maaf itu, pria itu tidak pernah menampakan rupanya lagi. Kata Ray yang selalu tiap hari ke rumahnya, Ansell memang sedang sibuk di kantornya.
“Pak Ujang, Rayyan-nya ketiduran,” ucap Anwa ketika sopir pribadi milik Ray menghampirinya, mungkin untuk menjemput tuan mudanya itu kembali ke rumah.
“Biar saya gendong ke mobil, Nyonya.”
Anwa yang mendengar Pak Ujang masih memanggilnya Nyonya sudah menyerah untuk menolak dipanggil seperti itu. Sebelum memberikan Rayyan, Anwa menyempatkan untuk mencium dahi bocah itu sedikit lama.
Ia benar-benar sudah menyayangi Rayyan.
“Kalo begitu saya sama tuan muda, pulang ya, Nyonya.”
“Hati-hati, Pak!”
—————
Anwa agak sedikit cepat saat mendorong troli berisi alat kebersihan munuju lift yang memang dikhususkan untuk pekerja sepertinya. Setelah berada di dalam kotak besi itu, baru ia dapat bernafas lega dan mengistirahatkan tubuhnya yang baru saja selesai makan namun harus segera kembali bekerja.
Ia sedikit meringgis ketika melihat pantulan tubuhnya di lift. Gendut.
Wanita itu terlambat makan karena harus menyuapkan Ray terlebih dahulu plus menenangkan tangisnya. Namun itu tidak membuat Anwa menjadi kesal, ia malah bertambah semangat untuk bekerja. Ia jadi ingat perkataan Karin, janda anak satu yang selalu menyebut bahwa alasan ia semangat bekerja adalah anaknya.
Ting!
Lift ini berhenti tepat di lantai 25, tepat dimana ruangan bos berada. Anwa merasakan jantungnya sedikit berdetak kencang, untuk pertama kalinya ia ditugaskan untuk membersihkan lantai dimana pemilik perusahaan ini berada.
“Permisi Mbak,” sapa Anwa pada seorang wanita muda yang nampak cantik, nampaknya sekretaris sang Boss.
“Petugas kebersihan ya, Buk?” Anwa sama sekali tidak merasa kesal ketika dipanggil Ibuk. Tuh, dia memang sudah memiliki anak.
“Iya, Mbak,” jawab Anwa sedikit bisa bernafas lega karena sang sekretaris nampak ramah.
“Kalo mau bersihin ruangan Bapak, boleh banget sekarang, Buk.” Anwa mengangguk mendengarkan. “Tapi, agak cepat ya, Buk. Soalnya satu jam lagi Bapak pulang dan beliau enggak suka kalo ada petugas kebersihan ada di ruangannya waktu masuk.”
“Iya, Mbak. Saya masuk dulu ya,” ujar Anwa sedikit takut mendengar pesan dari sang sekretaris.
Buru-buru Anwa membersihkan ruangan Bos dengan sebaik dan secepat yang ia bisa, tentunya dengan teliti agar tidak ada benda yang nilainya mungkin berkali lipar dari gajinya rusak.
Namun, naasnya, perkiraan sang sekretaris tidak tepat. Pintu terbuka membuat tubuh Anwa berhenti bergerak. Jantungnya kembali berdetak dengan kencang, bagaimana jika ia langsung dipecat?
Seorang pria paruh baya yang Anwa yakin adalah pemilik perusahaan ini masuk, awalnya ia menatap Anwa dengan dahi mengerut namun saat mata itu menjelajah dan melihat bagaimana bentuk tubuh Anwa. Bibirnya menyunggingkan sebuah seringai yang membuat Anwa takut. Ia benar-benar merasa takut.
Seringai yang lebih mengerikan dari milik Ansell.
“Silahkan langsung duduk saja, Pak Burhan.” Seorang laki-laki muda menyusul masuk, Anwa kembali terkejut ketika melihat sosok berdiri tak jauh darinya. Ada beberapa detik terbuang ketika Anwa melihat Ansell, namun entah kenapa juga merasakan lega ketika tahu ada Ansell disini.
Setidaknya, Anwa tahu bahwa Ansell adalah orang yang baik.
“Pak Ansell ternyata punya pekerja yang seksi juga,” kelakar pria tua itu membuat Ansell yang awalnya terkejut dengan kehadiran Anwa menoleh ke arah pria paruh baya itu dengan mata menajam.
“Maaf, Pak Burhan,” sanggah Ansell. Pria itu kemudian mendekat ke arah Anwa dengan pandangan tajam. Apa-apaan seragam yang mencetak tubuh Anwa dengan sempurna ini? Apa wanita tidak meminta seragam yang lebih besar?!
“Kenapa kamu berada disini?” tanya Ansell dengan tekanan membuat Anwa takut.
“Apa Sekretaris saya tidak bilang bahwa saya tidak ingin melihat tugas kebersihan disini?” ucap pria itu dingin membuat Anwa menundukan kepalanya, mulai takut.
“Keluar!” teriak Ansell membuat Anwa mendongak, hati wanita itu sedikit berdenyut nyeri ketika melihat bagaimana rahang wajah pria itu mengeras dan tatapannya menajam.
Anwa buru-buru meminta maaf dan segera pergi dari sana dengan kepala menunduk. Namun di tengah perjalanan, Anwa berjengkit kaget ketika ada yang mencolek bokongnya. Wanita itu menjadi semakin ingin menangis ketika melihat Pak Burhan tertawa kesenangan.
“Ayo kita mulai saja Pak Burhan,” ujar Ansell yang melihatnya namun tidak melalukan apapun hingga akhirnya Anwa menghilang dari ruangan sana.
“Pak Ansell, saya ingin pekerja wanita tadi. Saya yakin rasanya mantap. Bolehkan saya bawa ke hotel?” tanya Pak Burhan dengan senyum cabulnya.
“Silahkan. Tapi, Pak Burhan setujukan kalo perusahaan kita akan merger?”
“Kalo urusan itu mudah, Pak Ansell.”
———-
Anwa menghela nafasnya lega ketika seluruh pekerjaannya telah selesai walau perasaanya setelah kejadian di ruangan Bosnya tadi membuatnya menjadi takut. Namun, wanita itu berusaha untuk berpikiran baik.
Saat melihat ada beberapa minuman segar yang terletak di atas meja ruangan untuk petugas kebersihan, Anwa mengambilnya satu tanpa berpikir apa-apa.
“Segarnya...” ujar Anwa tersenyum lega. Tapi, tidak lama dari itu ia merasakan tenggorakannya terbakar sehingga kembali meneguk minuman itu hingga kosong.
Setelah memastikan bahwa target meminumnya, laki-laki yang bersembunyi itu segera menuju sebuah mobil yang terpakir disana. “Terget sudah meninumnya, Bos.”
Pak Burhan tertawa, laki-laki tua itu baru saja menyuruh anak buahnya untuk memberikan minuman berisi cairan peransang pada minuman Anwa.
“Sabar, sebentar lagi,” ucap pria paruh baya itu tergelak mengusap tonjolan kecil di bagian resleting celanannya tak sabar. “Nanti kalo saya udah puas, kalian boleh memakainya!” tambah Pak Burhan menatap anak buahnya.