Bagian 1

819 Kata
Disa kembali beraktiftas seperti biasa. Kebahagiaan dia bertambah kala mengingat kemarin dia baru saja membelikan Kirana hadiah ulang tahun. Memang tidak mewah, tapi itu sudah membuat hatinya bahagia kala melihat sang mama tersenyum. Rain sekali lagi mengumpat kesal dan melajukan kendaraannya dengan kencang. Patah hati membuat dirinya kembali merasakan sakit. Baru beberapa hari yang lalu dia dan Lala tengah tersenyum bahagia. Sekarang dia harus menelan kenyataan pahit kala melihat sahabatnya sendiri berkhianat kepada dirinya. Memang sejak semalam Rain merasa aneh dengan kekasihnya itu. Sejak pesan singkat yang Lala kirim semalam dan baru ia buka tadi pagi. Lala Rain, terimakasih untuk semua kasih sayang yang kamu kasih ke aku. Aku minta maaf karena selalu menyusahkanmu. Aku harap kamu bahagia. Rain yang tadi pagi masih dalam keadaan mengantuk, sedikit mencerna arti pesan itu. Tak ada yang aneh, hanya ucapan terima kasih dari seorang kekasih. Namun, Rain sedikit mengerut bingung kala memahami arti pesan itu. Berulang kali pemuda ini mencoba menghubungi nomer Lala, tapi selalu suara operator yang mengangkatnya. Tak butuh waktu lama, pemuda itu segera menuju ke rumah Lala untuk meminta penjelasan. Pikiran berkecambuk dan hati semakin teriris kala menyaksikan kekasihnya tengah berpelukan dengan Renal, sahabat dari pemuda ini. Emosi mulai berada dalam diri Rain, hingga suaranya yang dingin mampu melepaskan pelukan mereka. Prok prok prok “Bagus. Jadi ini? Ok, gue paham.” Lala terkejut, Renal pun sama. Lala mencoba mendekati pemuda itu, “Rain, ini nggak seperti yang kamu pikir,” jelas Lala dengan air mata yang terus mengalir. “Simpan air mata palsu lo. Gue nggak akan terpengaruh. Dari awal seharusnya gue nggak pernah pilih lo. Semoga kalian bahagia.” Ya, itulah kata terakhir sebagai penanda jika hubungan keduanya memang benar-benar berakhir. Rain segera melesat pulang guna mendinginkan pikirannya, dia mampir ke sebuah minimarket yang kebetulan berada dekat perumahan yang ia tempati. Rain dan Renal adalah sahabat, mungkin itu dulu sebelum kehadiran Lala membuat keduanya saling membenci. Rain menyukai Lala, begitupun Renal. Kedua sahabat ini saling bersaing untuk mendapatkan hati seorang Lala. Namun, gadis itu memilih Rain dibanding Renal. Rain kaya, sedangkan Renal hanyalah anak dari seorang karyawan biasa. Mungkin itulah pertimbangan dari Lala. Akan tetapi, hubungan itu tak selamanya harus tentang harta. Perlahan Lala menyadari itu, yang awalnya gadis itu memandang sesuatu dari status sosial, sekarang tidak. Rain sering kali sibuk dengan band-nya dan Lala sendiri merasa kesepian. Di saat itulah peran Renal masuk hingga membuat hati Lala nyaman dan dia baru menyadari bahwa seharusnya dia memilih Renal dari pada Rain. Nasi sudah menjadi bubur, lagi dan lagi Rain kembali patah hati oleh seorang gadis. Selalu saja takdir membawanya pada kata perpisahan. “WOI, INI TOKO APA TEMPAT RONGSOKAN? KULKAS NGGAK GUNA GINI MASIH SAJA DIPAKAI!” Suara lantang Rain mampu membuat beberapa pengunjung toko sedikit takut, tak pelak beberapa dari mereka memilih keluar toko dan tidak jadi membeli. Disa mendengkus kesal. Hal ini sudah biasa ia temui. Pembeli rese yang membuat onar dan berulah di tempat ia bekerja. “Maaf, Mas, kebetulan kulkas di sini sedang rusak, mungkin besok akan ada kulkas yang baru. Untuk sementara, Mas, bisa ambil minuman biasa saja dulu,” kata salah satu pegawai laki-laki di sana mencoba memberi pengertian pada Rain. “Ck, nggak becus. Kalau nggak mampu beli kulkas yang bagus, nggak usah buka toko kayak gini,” omel Rain. “Maaf, Mas, jika Mas tidak ingin membeli, diharap segera keluar. Karena, Mas, sudah mengganggu kenyamanan pengunjung toko ini,” sambung Disa yang mulai sedikit kesal dengan kelakuan Rain yang seenaknya. “Tenang saja, gue kaya, gue juga mampu beli toko ini,” jawab Rain sambil mengambil air mineral di sana dan segera menuju kasir. Sombong. Mungkin kata itu yang saat ini berada di benak gadis itu. Untuk bersikap profesional, Disa segera menuju kasir di mana memang saat ini dialah yang bertugas di sana. “Semuanya Rp 4.500, Mas.” Rain merogoh saku celananya mencari dompet kulit yang selalu ia bawa ke mana-mana. Nasib sial, dia lupa membawa dompet karena terburu-buru ke rumah Lala untuk meminta penjelasan kepada gadis itu. Mengingat nama Lala, Rain kembali kesal. “Gue lupa bawa dompet,” kata Rain tanpa bersalah. “Ya, terus?” “Gue haus. Rumah gue ada di perumahan sebelah, gue akan pulang dan balik lagi buat bayar ini minuman.” Tak ada nada bersalah sama sekali yang keluar dari mulut pemuda ini. “Nggak bisa, Mas. Mas kalau mau minum ini, harus bayar dulu. Mas nggak bisa minum terus bayar nanti. Ada uang, ada barang. Anda senang, kami pun senang.” “Ck, ribet. Kulkas rusak, terus masalah ginian dibesarin segala,” cibir Rain. “Bukan masalah dibesarin, Mas. Saya menjalankan pekerjaan sesuai prosedur yang ada. Jika Mas tidak bisa membayar, lebih baik Mas pergi dan cari toko lain. Toh toko lain juga tidak akan memberikan minumannya secara percuma,” jawab Disa. Tidak mau ambil pusing, Rain memilih pergi dari toko itu. Kalau bukan karena haus, dia tidak akan mau berhenti di toko itu. Sudah diputusin, kemudian debat dengan pegawai toko yang menyebalkan. Hidup Rain selalu berada dalam penderitaan. Bukan hanya Rain yang kesal, Disa pun sama. Seumur-umur baru sekarang dia bertemu laki-laki se rese Rain. Kalau bukan karena dia masih memakai baju pegawai, sudah Disa ajak ribut. Jangan lupa untuk memberi ❤ dan komentar jika ingin
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN