Bagian 4

1097 Kata
Takdir seolah tengah sengaja mempertemukan Disa dan Rain. Kampus Disa saat ini tengah merayakan ulang tahun. Disa yang hanya mahasiswi biasa hanya bisa memperhatikan, mengamati, tanpa mampu ikut andil dalam acara ini. Disa cukup terkejut dengan keberadaan Rain. Gadis ini melihat sosok Rain kala pemuda itu dan teman band-nya ikut mengisi acara. Memang ini adalah acara ulang tahun dan ada beberapa pengisi acara yang memang didatangkan dari kampus lain, mungkin Rain dkk salah satunya. Disa mengamati wajah pemuda itu, sudah tak ada lagi luka. Tentu saja, karena kejadian itu sudah terjadi cukup lama. Perut Disa sejak tadi berbunyi, dia tahu jika perutnya tengah berdemo dan meminta diisi. Tadi pagi dia hanya sarapan roti dan sepertinya roti itu tidak mampu menahan perutnya. Disa berjalan-jalan ke stand makanan yang berada di area kampusnya. Stand ini sengaha didirikan agar memudahkan pengunjung jika tengah lapar, seperti Disa saat ini. Namun, Disa hanya mampu melihat tanpa bisa membeli. Semua makan di sini menggiurkan di mata gadis itu, hingga tepukan di pundaknya menghentikan lamunannya. “Disa.” “Rain?” “Gue tadi agak ragu itu lo, ternyata beneran lo. Btw, ini kampus lo?” tanya Rain dan dijawab anggukan oleh gadis itu. “Lo kuliah, tapi lo kerja? Aneh,” kata Rain. “Nggak ada yang aneh. Kalau bisa bagi waktu antara belajar dan kerja, semuanya akan mudah,” jelas Disa. Gadis ajaib, batin Rain kala melihat Disa yang masih bisa tersenyum dengan keadaannya yang seperti ini. “Dis, kita makan, yuk?” ajak Rain. Disa tampak menimbang sejenak, “Tenang saja, gue yang traktir,” imbuh Rain. Rain sejak tadi memang memperhatikan tingkah Disa, dan dia tau jika gadis itu tengah kelaparan. “Nggak usah, Rain, gue nggak lapar,” tolak Disa. “Udah, jangan nolak. Anggap aja ini sebagai balas budi gue karena waktu itu lo udah selamatin gue, ok? Yuk.” Tanpa menunggu jawaban dari Disa, Rain segera membawa gadis itu menuju ke stand makanan yang tersedia. *** Seperti suatu kebiasaan rutin, kali ini Disa sudah berada di rumahnya, kelas pagi yang ia ambil sudah selesai sejak setengah jam yang lalu, dan pekerjaan part timenya sudah menunggu. Disa tak pernah mengeluh dengan keadaannya, toh anggap saja ini semua anugerah dari Tuhan. Setidaknya Disa mampu belajar untuk mandiri. “Ma?” Biasanya sepulang dari kampus, gadis itu akan mendapati sang mama tengah merajut di ruang tamu, tapi kali ini beda. Sang mama tidak ada. Disa mencoba mencari sang mama di kamarnya, tapi Kirana tidak ada di sana. Pilihan terakhir ada di kamar mandi. Pintu kamar mandinya tertutup, itu berarti sang mama berada di dalam, Disa lega. Tok tok tok “Ma? Mama? Apa Mama di dalam?” Hening, tak ada jawaban. Bisanya sang mama langsung sigap menjawab jika itu suara Disa. Tok tok tok “Ma … please jangan buat Disa takut. Buka pintunya, Ma.” Ada raut kegelisahan dalam wajah gadis itu. Pintu kamar mandi terkunci, dan itu artinya sang mama benar-benar ada di dalam. Tak ada pilihan lain, Disa harus mendobrak pintu itu. Brakkk Brakkk Brakkk Brakkk Jangan ragukan tenaga Disa, kecil-kecil begitu, gadis itu cukup kuat jika hanya mendobrak sebuah pintu. Hal pertama yang Disa dapati adalah, Kirana yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai kamar mandi. “MAMAAAAA.” Rain lagi dan lagi mengumpat kesal, sang papa kembali menggunakan kekuasaannya. Dengan ancaman penarikan semua fasilitas serta penghapusan nama Rain dari daftar keluarga sudah membuat pemuda itu tidak berkutik. Bima meminta Rain untuk menjemput Mona yang tengah berada di rumah sakit. Sakit? Tentu saja gadis itu tidak dalam keadaan sakit. Mona hanya periksa rutin sebulan sekali, hal ini sudah biasa ia lakukan dalam keluarganya. Sejujurnya Rain juga begitu, tapi dia terlalu malas untuk ke rumah sakit. Toh jika hidup kita sehat maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, yang membuat kekesalan Rain berlipat ganda adalah, Mona yang tadi memberitahunya jika dirinya harus ke dokter spesialis kulit dulu. Kebetulan di rumah sakit itu ada dokter kulit. Mona hanya ingin mengecek tangannya, kemarin dia terkena cipratan minyak saat dia tengah mengambil minum di dapur. Tanpa sengaja, sang asisten rumah tangga yang tengah memasak ikan, membuat tangan Mona terciprat minyak panas. Padahal hanya sedikit, tapi sudah sedikit membuat Mona khawatir. Dia takut jika itu akan meninggalkan bekas. Lebay. Itulah satu kata yang terlintas dalam pikiran Rain. Mona adalah tipe-tipe gadis yang suka menghamburkan uang, dan Rain tidak begitu suka dengan gadis seperti itu. “Sus, saya mohon. Mama saya harus segera mendapat pertolongan, Sus.” Suara itu … Rain kenal, lantas dia pun memusatkan perhatiannya kepada gadis yang tengah berada di bagian administrasi. “Maaf, Mbak, saya hanya menjalankan prosedur rumah sakit. Mama Mbak akan diambil tindakan jika Mbak sudah membayar administrasi dulu.” Disa memilih meninggalkan bagian administrasi, dia sudah sejak tadi membujuk suster itu, tapi semua sia-sia. “Disa?” Disa mendongak kala mendengar seseorang memanggilnya. Rain. Itu Rain, pemuda itu menghampirinya. “Gue kira siapa, ternyata itu beneran lo,” imbuh Rain dan dibalas senyum samar dari Disa. “Dis … Mama lo sakit?” meskipun sudah tau jawaban dari apa yang dia dengar tadi, tapi Rain akan mencoba bertanya. “Ya begitulah. Rain … gue harus pergi.” Disa berpamitan. “Tunggu Dis.” Rain mencegah gadis itu pergi, “Gue bisa bantu lo.” Disa menolak halus kebaikan Rain. Disa cukup sadar diri dan dia tidak ingin melibatkan orang lain. “Please, Dis. Anggap saja ini ucapin terima kasih gue karena lo udah nolong gue. Waktu itu lo selamatin nyawa gue, sekarang biarkan gue selamatin nyawa Mama lo.” Disa terharu, dia terharu masih bisa mendapatkan orang baik seperti Rain. Namun, keadaannya berbeda, Disa tak begitu mengenal Rain dan dia tak ingin merepotkan pemuda itu. “Rain … gue –“ “Lo cukup terima dan diam.” Tanpa menunggu aba-aba, Rain segera membawa gadis itu kembali ke bagian pembayaran. Rain segera melunasi semua biaya rumah sakit mama gadis itu. Setidaknya Rain bisa balas budi. “Disa, sebaiknya Mama pulang. Seharusnya kamu jangan bawa Mama ke rumah sakit, Nak. Itu akan menghamburkan uang kamu,” ucap Kirana setelah dirinya sadar. “Ma … uang bisa dicari, keselamatan Mama yang paling utama.” “Nggak Disa. Bagaimana kamu bisa membayar rumah sakit ini. Kemarin kamu baru saja membayar biaya kontrakan, dan Mama yakin uang kamu belum sepenuhnya bisa membayar biaya rumah sakit Mama.” “Biaya rumah sakit sudah dibayar sepenuhnya, Ma. Kebetulan tadi ada teman Disa yang memberi Disa pinjaman.” Teman? Tidak biasanya Disa memiliki teman. Kirana tau jika anaknya adalah anak yang tertutup. Gadis itu tidak percaya dengan kata pertemanan, jadi terasa aneh jika Disa bercerita tentang temannya, apalagi sampai meminjamkan uang kepada gadis itu. “Apa boleh Mama bertemu dengan teman kamu yang baik itu? Mama hanya ingin mengucapkan terima kasih karena sudah membantu kita.” “Tadinya dia mau ketemu Mama, tapi tiba-tiba saja dia punya kepentingan mendadak. Jadi, dia nggak bisa ketemu dengan Mama saat ini,” jelas gadis itu. “Oh baiklah, sampaikan ucapan terima kasih Mama jika kamu bertemu dia, ya.” “Baik, Ma.” Rain tadinya sudah ingin mengunjungi mamanya Disa, tapi tiba-tiba saja dia mendapat telepon dari Mona jika gadis itu sudah selesai. Mau tidak mau Rain batal bertemu dengan mamanya Disa. Terima kasih untuk ❤ dan komennya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN