Rain saat ini tengah sibuk-sibuknya. Pemuda itu sedang bersiap untuk tampil di kampus. Saat ini kampus tempat Rain menimba ilmu sedang mengadakan bakti sosial. Baksos ini di buka untuk umum, jadi keadaan di sana tengah ramai. Namun, bukan keadaan yang tengah ramai yang membuat Rain kesal. Dia kesal lantaran Mona selalu mengikutinya kemana pun ia pergi. Padahal sudah berkali-kali pula pemuda itu mengusir Mona.
“Mon, udahlah, jauh-jauh dari gue. Gue enek lama-lama lihat kelakukan lo,” ucap Rain yang tengah menahan amarahnya. Teman-teman Rain menahan tawa, mereka tau jika Rain tengah bersikeras agar bisa terbebas dari nenek lampir ini.
“Rain … aku tuh mau jagain kamu. Ini perintah Om Bima.”
“Jagain? Lo kira gue bayi? Udah sana lo pergi, jangan ganggu gue,” usirnya sekali lagi.
“Ihh kamu kok –“
“Rain, ada yang nyariin lo tuh.” Ucapan Mona terpotong lantaran kedatangan Adit yang memberitahunya jika ada yang tengah mencari seorang Rain.
Seakan mendapat kesempatan untuk terlepas dari Mona, Rain segera melesat keluar. Sayangnya Mona mengikuti kemana pun pemuda itu pergi.
“Rain … tungguin dong,” kata Mona yang kembali bergelayut manja di lengan pemuda itu.
“Ck, gue kan udah bilang, jangan sentuh gue. Berapa kali gue harus bilang sama lo!” Kesal, Rain tentu saja kesal. Dia sudah tak peduli jika orang-orang menganggapnya kejam.
“Rain?” suara seseorang mampu membuat Rain menoleh.
“Disa?”
Seakan mendapat durian runtuh, Rain segera berjalan menuju ke tempat gadis itu. Tidak disangka ternyata orang yang sedang mencarinya adalah Disa. Rain mencoba memanfaatkan keadaan. Dia segera merangkul Disa seolah-olah mereka sudah dekat lama. Dan jangan lupakan kecupan ringan di puncak kepala Disa yang menambah keterkejutan gadis itu.
“Rain! Kamu apa-apaan, sih, pakai cium dia!” protes Mona.
“Dan lo,” tunjuknya kepada Disa, “lo, kan, pegawai restauran itu. Ngapain lo ketemu Rain?” lanjutnya.
“Gue –“
“Mona, ini Disa. Disa, ini Mona. Mona, Disa ini adalah pacar gue.”
“WHAT?” Kedua gadis itu sama-sama terkejut apalagi Disa. Disa hendak protes, tapi genggaman tangan yang ada di tangannya terasa erat. Disa menoleh kepada Rain meminta penjelasan, Rain memberi isyarat kepada Disa untuk diam dan melanjutkan permainannya.
“Dari awal gue udah bilang sama lo, jangan dekat-dekat sama gue. Alasannya ya ini, gue udah punya pacar.”
“Nggak! Ini pasti bohong, kan, Rain? Dia itu cuma pelayan restauran.”
“Terus kenapa kalau dia hanya pelayan? Apa dia nggak boleh jadi pacar gue? Gue suka sama dia apa adanya. Status sosial bukan penghalang dalam kamus gue,” ucap Rain percaya diri.
“Ya, tapi Om Bima pasti nggak akan setuju kalau kamu sama dia.”
“Ini hidup gue, nggak ada satu pun orang yang bisa ngatur gue, termasuk Papa.”
“Ish, awas aja, aku bakalan laporin ini ke Om Bima,” ancam Mona yang kemudian langsung melesat meninggalkan keduanya. Setelah dirasa Mona sudah hilang dari pandangan, barulah Rain sedikit menjauh dari Disa.
“Dis, gue bisa jelasin –“
“Memang lo wajib jelasin ke gue,” potong Disa dengan nada kesalnya.
“Gue males dijodohin sama si Mona. Papa bersikeras buat jodohin gue. Mana anaknya ngintilin gue mulu lagi. Males banget. Karena kebetulan tadi lo di sini, jadi gue manfaatin aja keadaan. Sorry kalau gue sudah manfaatin lo.”
“Lo tau, kan, Rain masalah ini itu sensitif. Secara nggak langsung, lo udah libatin gue dalam masalah lo.”
“Sorry, Dis, gue nggak bermaksud, sumpah.”
“Yaudahlah, males gue ribut. Btw, gue kemari mau balikin duit lo nih,” kata Disa dengan menyerahkan amplop coklat yang berisi uang. “Mama ucapin terima kasih karena lo udah bantu kita,” imbuhnya.
Seakan mendapat sinyal keuntungan, lagi dan lagi Rain memanfaatkan keadaan, “Dis, lo ambil lagi aja uangnya. Gue tau, lo lebih butuh uang itu.” Disa mengernyit bingung, tumben.
“Tapi … ada syaratnya,” lanjut Rain dengan tatapan penuh arti. Disa sudah mengira bahwa Rain ada maunya. Memang ya semua orang di dunia ini tidak ada yang tulus.
“Apa?”
“Lo bantu gue jauhin si Mona. Seenggaknya kita bisa pura-pura punya hubungan sampai dia pergi jauh dari hidup gue.”
“Ha? Lo nggak salah nyuruh gue?”
“Kenapa? Uangnya kurang? Atau lo keberatan?”
Sebenarnya Disa kesal ketika Rain menghinanya dengan uang, tapi dia tetap bersabar.
“Nggak selamanya semua hal bisa lo beli dengan uang Rain,” ujar Disa mencoba menjelaskan, “seenggaknya lo bisa bicarakan dengan baik-baik. Segala kepura-puraan itu jika dijalani tidak akan berakhir dengan baik. Gue harap lo tau itu.”
“Iya sih, tapi siapa lagi yang bisa gue minta bantuan selain lo, Dis. Jadi, gue mohon kali ini aja lo bantu gua, ya.”
Itu muka pakai di melas-melasin segala lagi, k*****t emang, batin Disa.
“Baiklah gue mau bantu lo, tapi dengan satu syarat, kalau keadaannya semakin runyam, gue nggak ikut-ikutan.”
“Siap,” jawab Rain dengan semangat.
Di hari itu Disa habiskan untuk menemani Rain karena ini permintaan pemuda itu juga. Untung saja Disa bisa minta ijin untuk tidak bekerja dengan alasan ada kegiatan di kampus. Kehadiran Disa membuat Rain tidak perlu khawatir lagi karena dengan begitu Mona tidak akan lagi mengganggunya. Setelah mengisi acara di kampus, Rain mengantar gadis itu pulang. Karena Rain sendiri sudah pernah ke rumah Disa, jadi dia tidak perlu bertanya lagi di mana rumah gadis itu. Tidak lupa Disa mengucapkan terima kasih karena Rain sudah mengantarnya.
“Rain, duduk, Papa mau bicara.”
Rain sudah tau jika sang papa akan mempertanyakan hal tadi. Dan sudah dipastikan jika Mona sudah mengadu kepada papanya. “Jika Papa tanya soal aduan Mona, maka jawabannya iya,” ungkap Rain sebelum sang papa bertanya.
“Apa kamu serius dengan gadis itu?” tanya Bima dengan raut muka serius.
“Maksud Papa?”
“Kamu sudah dewasa dan bisa menentukan masa depanmu sendiri termasuk pendamping. Sebetulnya Papa tak pernah melarang kamu untuk berhubungan dengan siapa pun, asal kamu senang, Papa akan tetap dukung. Tapi, untuk kali ini aja papa mohon, kamu berhenti bermain-main dengan gadis-gadis itu. Tak baik seorang laki-laki mempermainkan gadis. Dan Papa tak suka jika putra yang berbuat seperti itu.”
“Papa tenang saja, Rain tak akan menyakiti siapa pun.”
Seenggaknya ini cuma pura-pura.
“Baguslah. Untuk itu … bawalah dia ke Papa dan kita tentukan tanggal pertunangan kalian,” kata Bima enteng sambil menyeruput kopinya.
“APA?!”
“Kenapa kamu terkejut? Kalau kalian sudah serius dan saling mencintai, bukankah lebih baik segera diresmikan?”
Wah, bahaya nih, batin Rain was-was.
“Ya tapi kan, Pa, segala sesuatunya tak bisa dilakukan terburu-buru. Rain baru saja menjalin hubungan, masa tiba-tiba meminta dia untuk tunangan, itu nggak mungkin, Pa.” Alasan Rain setidaknya masuk akal.
Bima menatap anaknya serius, “Papa bukannya mau membuatmu buru-buru, Rain. Kalau boleh Papa cerita, Papa ingin bercerita kenapa Papa selalu menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis Papa. Ini bermula ketika salah satu dari mereka mengetahui kamu. Laki-laki yang tumbuh dewasa dan dengan tampang rupawan, siapa yang tak ingin memiliki menantu seperti kamu? Rekan bisnis Papa juga begitu, mereka begitu menginginkan kamu hingga membuat Papa tak punya pilihan untuk menjodohkan dengan anak mereka. Papa sebenarnya tak mau begini, tapi Papa bisa apa? Maka dari itu, jika pertunangan kamu terdengar oleh mereka, sudah dipastikan jika mereka tak akan lagi menyodorkan anak mereka kepada Papa. Kamu tau sendiri Papa berat untuk menolak,” jelas Bima.
Rain termenung, dia baru mengetahui fakta jika sang papa sebenarnya tak ingin menjodohkannya dengan gadis-gadis itu. Rain menjadi merasa bersalah karena dia sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Bima.