"Mas?" Kepala Qisya muncul dari balik pintu. “Ngapain di luar? Kok nggak masuk-masuk?” “Ini juga mau masuk, Sayang,” sahut Emran sambil mengangguk dan tersenyum. “Ayo, semua udah nungguin pengin lihat Mas. Dan sebelum kopinya keburu dingin,” goda Qisya sebelum kepalanya menghilang lagi dari balik pintu. Emran pun segera menyusul masuk, mengunci pintu, lalu bergabung bersama yang lain di ruang keluarga. Irfan yang memang sudah terbiasa tidak makan nasi sama sekali, tak masalah datang setelah makan malam selesai. Ia cukup puas hanya dengan segelas kopi dan sepiring snack. Malam itu, topik obrolan mereka jelas seputar Emran—tentang kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya, pengalamannya selama koma, dan terutama soal pencangkokan matanya, yang sampai sekarang masih belum banyak diketahu

