Kerinduan yang membuncah antara seorang anak dan ayah tergambar begitu jelas. Emran tak henti-hentinya menciumi putranya yang kini duduk nyaman di pangkuannya. Sementara Zidan memeluk erat leher Papanya, membenamkan wajah mungilnya seolah tak mau dilepas lagi. Seakan dunia hanya milik mereka berdua. Orang lain di rumah itu serasa tak terlihat. Padahal, Hartono dan Sukma duduk tak jauh dari sana. Rani di dapur, menyiapkan makanan dan minuman, dan Qisya lalu-lalang dari kamar tidur ke kamar mandi, sibuk membereskan segalanya setelah sekian lama rumah itu tak ditinggali. Bahkan baju-baju kotor pun menumpuk, siap dibawa ke laundry. “Papa nggak pergi lagi, kan?” bisik Zidan, suaranya halus, nyaris tertelan pelukan. Emran tersenyum, mencium pipi putranya. “Tentu, Sayang. Papa nggak akan pergi-

