Kesaksian Yang Hilang

1284 Kata
Atas ultimatum dari Hartono, tidak ada satu pun yang diperbolehkan main hakim sendiri. Semua yang berada di ruangan itu sudah tahu—kecelakaan yang dialami Emran bukan kecelakaan biasa. Ada seseorang, atau bahkan lebih, yang sengaja mencelakainya. Tujuannya? Kemungkinan besar… membunuhnya. Namun Hartono menegaskan dengan suara bulat: hanya polisi yang berwenang menyelidiki kasus ini. Selain karena itu memang tugas aparat, dia tidak ingin ada satu pun dari anak-anaknya—baik darah daging maupun menantu—yang kembali celaka karena gegabah. "Apa kalian semua paham?" tanyanya tegas, pandangannya mengiris satu per satu. Para lelaki muda di ruangan itu hanya bisa menghela napas, menahan gejolak di d**a masing-masing. Tak ada yang membantah. Hartono bukan hanya mertua Emran, tapi juga sosok ayah yang menggantikan tempat orang tua Irfan sejak mereka meninggal dunia saat Irfan masih kecil. Rasa hormat—dan gentar—sudah mendarah daging. Akhirnya Irfan pamit lebih dulu ketika ponselnya kembali berdering. Cafe-nya butuh dia. Saat ini, dia tak bisa melakukan apa-apa selain menunggu perkembangan dari pihak kepolisian. Tak lama kemudian, setelah berbincang sejenak, kedua orang tua Qisya juga memutuskan pulang. Di kamar rawat, Qisya menyuapi Emran dengan penuh kasih. Lengan Emran memang sudah pulih, tapi entah kenapa, pria itu tetap bersikeras ingin disuapi. "Seperti biasa… masakan ibu mertua memang gak ada tandingannya," goda Emran sambil tersenyum kecil. Qisya terkekeh pelan, tapi matanya berkaca-kaca. Dia sangat merindukan momen seperti ini. Kehangatan sederhana… yang nyaris direnggut selamanya saat suaminya koma. "Masakan Ibu memang paling enak sedunia," Qisya tersenyum kecil menanggapi pujian Emran. Dia tidak melebih-lebihkan—ibunya memang jago masak. Restoran keluarga mereka kini sudah punya beberapa cabang, dengan menu andalan yang resepnya ditulis tangan oleh sang ibu sendiri. Setelah suapan terakhir, Qisya meletakkan sendok dengan hati-hati. "Mas… ada yang perlu aku sampaikan." "Katakan saja, Sayang. Kau tahu, kau nggak perlu minta izin buat ngomong apa pun." "Aku menghubungi keluarga di Singapura." Emran terdiam. Tatapannya tertuju pada wajah istrinya, mencoba menangkap maksud yang lebih dalam. Tapi dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Ia hanya menunggu Qisya mengucapkannya. "Kau kecewa lagi, ya?" Qisya mengangguk pelan. "Mereka gak bilang apa-apa. Cuma kirim uang dalam jumlah besar." Emran tertawa pendek. "Tipikal banget. Keluargaku emang tahu caranya bikin hubungan terasa... transaksional." "Aku minta maaf, Mas. Aku cuma mikir, mungkin mereka akan kirim seseorang buat lihat keadaanmu. Sebentar aja." "Sayangku..." Emran meraih tangan Qisya, menggenggamnya hangat. "Kamu udah dengar ceritaku tentang mereka berkali-kali. Tapi kayaknya masih berharap, ya?" "Mungkin aku terlalu naif." "Nggak salah berharap, Sayang. Siapa tahu suatu hari, keajaiban datang juga ke kita." Qisya menatapnya lembut. "Itu Mas lagi menyakinkan diri sendiri atau aku?" Emran tergelak. "Dua-duanya." "Udah deh. Kita tutup topik ini. Aku nggak mau hari ini rusak gara-gara mikirin orang-orang yang nggak peduli. Yang penting, aku bisa lihat lagi wajah istri cantikku." Qisya pura-pura mendelik. "Ih, gombal!" * Menunggu hasil pemeriksaan mata kirinya, Emran menjalani latihan berjalan yang cukup intens, ditemani Qisya. Sendi lutut kanannya masih terganggu, jadi dia harus berlatih rutin agar bisa berjalan normal lagi. Usai latihan, mereka duduk di taman rumah sakit. Angin sore menyapu lembut, daun-daun jatuh satu per satu. "Mas masih ingat yang diceritain Kak Irfan semalam? Tentang pria mabuk yang ngamuk di café?" "Iya, kenapa Sya?" "Kalau memang benar dia langsung ditahan polisi malam itu, berarti dia nggak mungkin jadi pelaku kecelakaan. Pelakunya masih bebas." "Aku kan udah bilang, kemungkinan dia cuma nyuruh orang buat nyelakain aku." Qisya menghela napas. "Kalau ternyata orang itu nggak sepintar itu? Gimana kalau sebenarnya ada orang lain?" Emran menoleh, menatap Qisya dengan mata kanan satu-satunya yang masih berfungsi. "Kamu nggak percaya aku, ya?" "Aku percaya. Tapi aku juga pengen Mas buka pikiran. Bisa aja pelakunya bukan orang yang kita curigai dari awal." Ia menatap wajah suaminya lekat-lekat, suaranya makin pelan. "Mas kan orang baru di café. Langsung dapet jabatan kepala sekuriti, tanpa pengalaman di bidang itu. Mungkin... ada yang nggak senang sama keputusan itu." Emran menghela napas panjang. "Mas ngerti maksudmu. Tapi sejauh ini, hubungan Mas sama anak-anak café baik-baik aja. Sama anak buah juga gak ada masalah. Kalau ada yang dendam... Mas belum lihat tandanya." Qisya tak membalas. Tapi dalam hatinya, firasatnya belum bisa diabaikan. Oke, ini editannya. Aku coba buat suasana emosionalnya lebih terasa dan alur percakapan antara mereka lebih hidup. Dialognya juga lebih alami, dan ada sedikit penekanan pada perasaan Qisya yang kuat dan kepeduliannya terhadap Emran. --- "Terkadang, apa yang terlihat baik-baik saja, di belakangnya bisa menyimpan dendam, Mas. Pasti ada yang nggak suka sama Mas, entah karena alasan apa," ujar Qisya pelan, matanya tetap menatap Emran. "Entahlah, Sayang. Mungkin juga. Tapi aku benar-benar nggak tahu siapa yang diam-diam benci sama aku. Selama enam bulan di Millenial, aku sudah berusaha kerja sebaik mungkin dan menghindari masalah," jawab Emran, suara agak berat. "Mulai sekarang, Mas harus lebih hati-hati. Aku nggak sanggup lagi kalau Mas kenapa-kenapa. Cukup sekali aja jantungku terasa hancur banget ngelihat Mas terbaring tak berdaya selama sebulan penuh. Tolong, jangan sampai itu terulang lagi!" Qisya menatap suaminya dengan penuh kekhawatiran, wajahnya mengeras. Emran menggenggam tangan Qisya dengan lembut, berusaha menenangkan. "Mas janji, akan lebih hati-hati. Terima kasih, Sayang, sudah sabar ngurusin aku. Kau pasti sangat lelah, baik fisik maupun perasaan. Belum lagi perasaan khawatir yang nggak berhenti itu." "Aku istrimu, Mas. Itu sudah jadi tanggung jawabku," jawab Qisya, senyum kecil muncul di bibirnya meski jelas ada kelelahan di matanya. "Memang benar, aku capek banget. Tapi masa aku biarin Mas gitu aja? Nggak bisa." "Sayang, kamu luar biasa," Emran mengusap lembut rambut Qisya, penuh rasa terima kasih. "Makasih, Mas," Qisya membalas senyum suaminya, hati terasa lebih ringan. Waktu seakan berhenti sejenak, keduanya hanya diam dalam keheningan, saling memandang dengan penuh emosi. Angin lembut seakan menambah kesan intim di antara mereka. Namun, derap langkah yang mendekat membuat momen itu buyar. "Itu polisi yang menangani kasus kecelakaan Mas. Tadi pagi dia nelpon dan aku udah bilang kalau dia boleh datang. Aku belum sempat kasih tahu Mas," ucap Qisya cepat, matanya menghindar. "Ah, nggak apa-apa, Sayang. Aku juga udah nggak sabar tahu apa yang sebenarnya terjadi," jawab Emran dengan santai, meski jelas ada ketegangan di matanya. Iptu Haris muncul dengan senyum lebar, melangkah mendekat. "Maaf kalau mengganggu. Tadi saya ke kamar, tapi perawat bilang kalau Pak Emran sudah siuman. Saya Iptu Haris Gunandar, dari Polsek Kota," ujar pria itu sambil mengulurkan tangan. Emran menyambutnya dengan hangat. "Emran Danial." Iptu Haris duduk di sebelah mereka. "Bagaimana kabarnya, Pak? Saya harap Anda baik-baik saja." "Alhamdulillah, masih dalam lindungan Allah," jawab Emran singkat, tangannya terangkat sedikit menyentuh kain perban yang masih menutupi mata kirinya. "Hanya tinggal nunggu hasil tes mata ini beberapa hari ke depan." "Syukurlah," Haris mengangguk. "Saya datang untuk kasih kabar tentang hasil penyidikan terkait kecelakaan yang Anda alami. Anda berhak tahu, dan nanti mungkin saya akan tanya beberapa hal juga." "Oh, silakan, Pak. Saya udah nggak sabar tahu hasilnya. Apakah pelaku sudah ditangkap?" tanya Emran, penasaran. Haris membuka buku catatan kecil dan pena dari saku jaketnya. "Saat kecelakaan itu terjadi, kami langsung gerak cepat, memberi tahu unit-unit lapangan untuk mengejar, mencegat, dan mencari tahu apakah itu tabrak lari atau disengaja." "Dan selama sebulan Anda tak sadarkan diri, kami terus cari bukti dan minta keterangan dari saksi-saksi yang katanya melihat kejadian itu. Sayangnya, mereka yang awalnya bilang melihat, akhirnya mengubah kesaksian." Emran dan Qisya saling pandang dengan bingung. "Kenapa bisa begitu, Pak?" tanya Qisya, tak sabar. "Saya juga nggak ngerti, Bu. Tapi kasus ini masih bisa diselidiki lebih lanjut dengan mengumpulkan bukti-bukti lain. Kami sudah cek di TKP, lihat jejak-jejak kecelakaan, dan temukan beberapa hal yang bisa jadi petunjuk." "Bagaimana dengan rekaman CCTV, Pak? Jangan bilang kalau di sana nggak ada CCTV," tanya Qisya, nada suaranya mulai terdengar kesal. Dengan wajah menyesal, Haris menjawab, "Sangat menyesal, Bu, CCTV di sana memang sudah lama rusak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN