Hasil MRI kepala Emran akhirnya keluar. Gegar otaknya sudah pulih. Trauma telah berlalu, luka tinggal menunggu penyembuhan. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Dan semua itu terbukti saat Emran mampu menjawab pertanyaan dokter dan perlahan mengingat kembali peristiwa kecelakaan yang menimpanya.
Qisya tak mampu menggambarkan betapa bahagianya ia saat melihat suaminya sadar. Yang paling melegakan—Emran tidak mengalami kehilangan ingatan. Sejak pertama kali tahu suaminya koma, kekhawatiran terbesar Qisya adalah kemungkinan Emran bangun tanpa mengingat apa pun. Kehilangan seluruh kenangan, bahkan dirinya dan Zidan. Ia takut pria yang dicintainya lupa siapa dia. Lupa anak mereka.
Tapi ketakutannya tak jadi kenyataan. Emran sadar dengan ingatan yang utuh. Kalimat pertamanya pun langsung memeluk perasaan Qisya erat-erat: dia bilang rindu. Rindu pada Qisya, rindu pada Zidan.
Tangis bahagia pecah begitu saja. Qisya langsung memeluk suaminya, tak peduli dokter dan perawat masih ada di ruangan. Ia mendekap erat, seolah tak mau kehilangan lagi.
Emran membalas pelukan itu penuh kasih sayang. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia merasakan kehangatan tubuh istrinya. Ia rindu aroma bunga dari helaian rambut Qisya. Rindu rumahnya, yang selama ini ternyata ada di pelukan perempuan itu.
Melihat adegan penuh kerinduan itu, dokter dan perawat keluar dari ruangan, memberikan mereka waktu. Bahkan Irfan pun ikut mundur ke luar, menyambut kedatangan kedua orang tua Qisya yang memilih menunggu di lorong rumah sakit.
“Jangan lakukan ini lagi, Mas! Aku nggak mau lihat kamu terbaring begini lagi di rumah sakit!” gerutu Qisya, separuh menangis, separuh kesal ingin mencubit.
Emran hanya mengangguk, mengelus rambut istrinya dengan lembut. “Aku kangen kamu, Sya. Aku sempat pikir... aku nggak bakal bisa lihat kamu lagi. Atau Zidan.”
“Aku juga kangen banget, Mas,” bisik Qisya, matanya masih berkaca-kaca.
Emran menggenggam tangan istrinya dan mengecupnya berkali-kali. “Zidan di mana, Sayang? Siapa yang jaga dia? Dia baik-baik aja, kan? Dia tahu aku di sini?”
“Zidan baik-baik aja, Mas. Dia di rumah sama Rani dan anak-anaknya. Dia nggak tahu kamu masuk rumah sakit. Kami bilang kamu lagi dinas ke luar kota,” jawab Qisya pelan, sedih. “Ayah nggak izinin dia datang ke sini... kecuali kamu sakit parah.”
Emran mengangguk pelan. “Aku ngerti. Nggak apa-apa. Nggak lama lagi aku pulang, dan bisa peluk dia juga. Tapi... perban di mataku ini, lama banget nggak dilepas. Apa lukanya parah ya?”
Qisya menatap suaminya dengan hati berat. Dokter memang belum bicara apa-apa soal cedera mata Emran. Dan sejak sadar, Emran hanya fokus pada dirinya, bukan cermin atau luka. Qisya belum tahu harus menjawab apa.
“Biar dokter saja yang jelaskan, ya, Mas,” ucap Qisya lembut, berusaha tersenyum meski hatinya masih kalut. Ia lalu memanggil dokter dan mempersilakan Irfan serta kedua orang tuanya masuk ke ruangan.
Dr. Wisnu segera menanggapi pertanyaan Emran tentang kondisi mata kirinya yang masih tertutup perban.
“Cederanya cukup serius, Pak. Ada pecahan kaca dari helm yang menembus cukup dalam. Kemungkinan terburuknya, kornea mata Anda mengalami kerusakan.”
“Rusak bagaimana, Dok?” Emran mulai gelisah. “Masih bisa disembuhkan, atau...?” Ketakutan mulai merayap. Bagaimana jika kerusakannya permanen? Apakah dia akan buta?
“Kami masih menunggu hasil lengkapnya, Pak. Semoga saja penglihatan Anda masih bisa diselamatkan.”
“Tapi... kalaupun tidak? Ada kemungkinan saya mengalami kebutaan?” desaknya.
Dr. Wisnu mengangguk pelan. “Ya, Pak. Kemungkinan terburuknya memang seperti itu.”
Emran terdiam. Dengan satu mata yang masih bisa melihat, ia menatap Qisya. Istrinya hanya berdiri kaku, tak bisa berkata-kata. Emran kembali menoleh ke dokter.
“Kalau hasilnya nanti menyatakan saya benar-benar buta... tidak adakah cara untuk menyembuhkan? Mengembalikan penglihatan saya?”
“Untuk melihat normal seperti sedia kala, kemungkinan itu kecil sekali. Tapi kami bisa melakukan transplantasi kornea. Kita akan mencari donor yang sesuai.”
Kata-kata dokter itu terdengar tenang—terlalu tenang. Tapi bagi Emran, itu seperti pukulan telak. Dadanya sesak. Dunia serasa runtuh. Buta. Kata itu bergema di pikirannya. Meski hanya sebelah mata, tapi tetap saja… hidupnya tak akan pernah sama lagi.
Qisya hanya bisa menggenggam ujung bajunya, menahan tangis yang mengendap di tenggorokan. Irfan, yang tak tahan melihat Emran begitu terpukul, langsung bicara.
“Dok, lakukan apa pun yang perlu dilakukan. Berapa pun biayanya, saya tanggung. Yang penting adik ipar saya sembuh.”
Kedua orang tua Qisya duduk lemas di sudut ruangan. Tak sanggup berkata apa-apa. Mereka tahu, jika mata kiri Emran benar-benar tak berfungsi lagi, dunia yang ia kenal tak akan pernah terlihat sama. Maka saat dokter menyebut transplantasi sebagai satu-satunya jalan, mereka pun mengangguk setuju.
Setelah pemeriksaan selesai, dokter dan para perawat meninggalkan ruangan.
Tiba-tiba, suara Emran memecah keheningan.
“Aku akan mencarinya!”
Bukan sekadar gumaman. Suaranya tajam, penuh tekanan. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal seperti hendak menghantam sesuatu. Semua orang di ruangan langsung menoleh ke arahnya, terpaku.
Emran menatap lurus ke depan. Matanya menyala—bukan karena ketakutan, tapi karena tekad yang baru saja membara.
“Mencari siapa, bro?” tanya Irfan cepat, alisnya langsung berkerut. Qisya juga menatap Emran penuh tanda tanya. Ada yang berbeda dari suaminya. Sikapnya, sorot matanya—seolah sedang menahan amarah yang menggelegak.
“Iya, Mas. Mas mau cari siapa?” Qisya mengerutkan kening, khawatir.
“Orang yang mencelakaiku,” jawab Emran pelan tapi tegas.
Jantung Qisya serasa berhenti berdetak. Kata-kata itu... bukan asumsi biasa. Ada kepastian di dalamnya.
“Maksudmu, ada unsur kesengajaan dalam kecelakaanmu?” Irfan mulai emosi. Wajahnya mengeras. Kalau benar itu ulah seseorang, Irfan takkan tinggal diam. Dia akan mengerahkan semua yang dia punya.
Emran mengangguk mantap. “Aku jatuh ke jurang bukan karena rem blong. Bukan juga karena aku mengantuk. Tapi karena seseorang sengaja menyerempetku dari belakang. Dia sudah mengikutiku sejak keluar dari kafe.”
“Dan kau tahu siapa orangnya? Kau sempat lihat wajahnya?!” Irfan spontan berdiri sambil mengeluarkan ponselnya. Matanya menyala penuh amarah. “Kalau perlu, anak buahku langsung turun tangan. Kita seret dia sampai ke sini!”
“Mas! Jangan begitu!” Qisya terpekik panik, menghampiri Irfan. “Jangan main hakim sendiri!”
“Kau mulai lagi, Irfan Huzair...” suara berat dan tegas Hartono akhirnya terdengar. Sejak tadi ia dan Sukma memilih diam, memberi ruang bagi anak-anak muda itu untuk bicara. Tapi sekarang, ia tak bisa diam saja.
Sukma pun tampak gelisah. Wajahnya tegang, cemas melihat suasana yang mulai memanas.
“Aku nggak bilang mau main kasar, Om,” sahut Irfan dengan nada tajam. “Tapi yang diserang ini adik iparku sendiri. Kalau Emran nggak bisa lawan, aku bisa. Atau harus tunggu korban lagi dulu baru kita bertindak?”
“Pokoknya jangan! Jangan lakukan apa pun!” bentak Hartono, suaranya berat dan penuh tekanan. Wibawanya sebagai mantan perwira TNI langsung memenuhi ruangan. “Serahkan ke polisi. Bukankah sudah ada yang menangani kasus ini kemarin?”
Qisya menoleh pada Emran, matanya berkaca-kaca. “Mas… Mas beneran tahu siapa pelakunya? Mas lihat orangnya?”
Emran menggeleng pelan, wajahnya kesal. “Aku nggak lihat langsung. Tapi aku tahu dia pakai truk. Dia mulai ngikutin sejak aku keluar dari kafe. Bukan kebetulan.”
“Dan Mas curiga siapa pelakunya?” bisik Qisya.
“Aku nggak punya bukti, tapi… aku punya feeling kuat soal satu orang,” gumam Emran.
“Siapa?” sambar Irfan. Suaranya pelan, tapi nadanya tajam. Qisya menahan napas. Detak jantungnya menggema di telinganya.
Sementara itu, Hartono dan Sukma ikut tegang, menanti jawaban dengan hati tak kalah gelisah.
“Abang masih ingat tamu mabuk yang sempat nyandera anak-anak kafe, pas hari aku kecelakaan?”
Irfan menyipitkan mata, mengingat-ingat. Kilasan kejadian itu perlahan muncul di kepalanya. “Yang nyari-nyari perempuan bernama Siska, kan?”
“Ya. Dia.” Emran mengangguk pelan. “Aku curiga, dia pelakunya. Karena aku menghadangnya waktu itu.”
“Tapi dia dalam kondisi mabuk, Em. Dan setelah insiden itu, dia langsung digelandang polisi. Setidaknya dia pasti nginep semalam di sel. Masuk akal nggak kalau dia yang nyerempet kamu?”
Emran terdiam, wajahnya tegang. “Bisa aja dia nyuruh orang, Bang. Bayar preman buat ngelakuin semua itu.”
Irfan mengangguk perlahan. “Iya juga. Sekarang orang bisa nyerang tanpa harus nyentuh langsung. Duit cukup, semua bisa dibayar. Dan dia... kelihatan punya dendam pribadi.”