Luka Lama dan Luka Baru

1625 Kata
Saat Qisya sadar dari pingsannya, matanya terbuka perlahan dan yang pertama ia lihat adalah langit-langit kamar bercat putih. Pandangannya berputar, menangkap banyak sosok berdiri di sekelilingnya—Irfan, Iptu Haris, kedua orang tuanya, Dion sang adik, seorang perawat, dan seorang dokter yang segera memeriksa kondisinya setelah Irfan memanggil dengan suara keras. Setelah pemeriksaan singkat, dokter menyatakan bahwa kondisi Qisya stabil. Ia hanya mengalami syok berat akibat kabar tentang kondisi suaminya. Kecelakaan parah dan hilang kesadaran saja sudah cukup mengguncang, tapi kini mimpi buruk itu bertambah dengan ancaman kebutaan yang mungkin diderita Emran. “Ya Allah…,” lirih Qisya, menahan pusing yang menyerbu. Kepalanya terasa berat dan ruangan seolah berputar. Air matanya kembali mengalir, membayangkan derita yang harus ditanggung suaminya. Kedua orang tuanya buru-buru mendekat, menggenggam tangan putrinya sambil berusaha menenangkannya dengan kata-kata penghiburan. Mereka tahu, kata-kata mungkin tak akan mampu menyembuhkan luka di hati Qisya, tapi setidaknya bisa jadi sandaran sementara. Dion, adik Qisya yang juga bekerja sebagai sekuriti di Café Millenial—tempat Emran menjadi manajer—ikut mendekat. Wajahnya penuh empati, suaranya lembut saat mencoba memberi dukungan. “Zidan…,” ucap Qisya tiba-tiba, mengingat putra kecilnya yang tadi ditinggalkan di rumah hanya bersama ART mereka. “Dia di rumah cuma sama Bibik. Apa Rani sudah sampai di rumah?” “Tenang, Mbak. Zidan aman kok,” Dion cepat menjawab. “Rani dan anak-anak udah kuantar ke rumah buat nemenin dia. Mereka bakal tinggal di sana sementara waktu, jadi Mbak bisa fokus jagain Kak Emran di sini.” Qisya menghela napas panjang. Dadanya sedikit lebih ringan mendengar kabar itu. Zidan memang sangat dekat dengan Rani, adik iparnya itu. Kehadiran Rani dan anak-anaknya di rumah akan membuat Zidan tetap merasa nyaman, meski dunianya sedang kacau. “Kami sudah melihat Emran. Sekarang dia masih di ruang ICU,” ujar Hartono, ayah Qisya, dengan suara tenang namun berat. Pensiunan TNI itu menatap putrinya dengan sorot khawatir. Di sampingnya, Sukma—ibu Qisya—hanya bisa mengangguk pelan sambil terus menyeka air matanya yang belum kering. “Kondisinya stabil, Nak. Masa kritisnya sudah lewat,” lanjut sang ayah. “Kamu mau lihat dia sekarang?” “Mas Emran sudah boleh dijenguk?” tanya Qisya, duduk perlahan sambil mencoba menahan gemetar di ujung suaranya. “Sudah. Tapi kamu harus benar-benar pulih dulu. Jangan sampai kamu malah drop waktu lihat kondisinya,” kata Hartono lembut. Qisya menarik napas panjang, lalu dengan susah payah berusaha bangun. “Memangnya… separah apa, Pa? Apa Mas Emran terluka parah?” Hartono tak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangan sejenak, lalu menatap putrinya dalam-dalam. “Papa nggak akan bohong, Nak. Banyak alat medis menempel di tubuh Emran. Selang, kabel, monitor… semuanya ada. Kepalanya diperban. Begitu juga mata kirinya.” “Ya Allah…” Suara Qisya tercekat. Ia langsung menunduk, bahunya bergetar hebat. Air mata jatuh satu per satu, membasahi tangannya. “Mas Emran…” Sukma segera duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Qisya dengan penuh kasih. “Sayang, kamu masih sangat lemah. Lebih baik istirahat dulu. Nanti kalau sudah agak kuat, baru kita ke sana, ya?” Qisya menggeleng cepat. “Aku ini istrinya, Ma. Justru aku harus ada di sana. Aku harus nemenin Mas Emran. Dia pasti butuh aku sekarang.” “Tapi kamu juga baru pulang dari luar kota kemarin. Belum sempat istirahat sama sekali. Kamu butuh tenaga—” “Enggak usah pikirin aku, Ma. Mas Emran yang harus dikhawatirkan.” Suara Qisya mulai meninggi, nyaris putus di tengah-tengah kalimatnya. “Dokter bilang dia koma. Enggak ada yang tahu kapan dia akan sadar. Bisa besok… bisa minggu depan… atau bulan depan…” “Qisya…” “Dan—dan itu belum yang paling buruk, Ma.” Suaranya pecah. “Mata kirinya… kata dokter, terluka parah. Kena pecahan kaca dari helmnya. Dan… kemungkinan besar… Mas Emran… akan buta.” Sukma langsung memeluk putrinya erat-erat. Isak Qisya pecah di pelukan ibunya. Tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa takut dan sakit itu. Yang tersisa hanya pelukan hangat dan air mata yang mengalir diam-diam. Irfan mendekat. “Sya, aku dan Iptu Haris akan periksa ruang kerja Emran di kafenya. Besok aku balik lagi ke sini. Kalau kau butuh apa pun, langsung hubungi aku, ya.” Qisya hanya mengangguk pelan. Tak sanggup menjawab. Bahkan suara pun seperti hilang dari tenggorokannya. Irfan menatapnya dengan senyum tipis penuh simpati. Lalu melangkah keluar. Iptu Haris ikut menganggukkan kepala sebelum menyusul Irfan ke balik pintu. Begitu pintu tertutup, Qisya tiba-tiba tersentak oleh satu pikiran. “Ma… aku belum kasih kabar ke keluarga Mas Emran soal kecelakaan ini.” “Sudah, sayang. Jangan khawatir,” jawab Hartono cepat. “Papa yang telepon mereka tadi.” Qisya menoleh. “Mereka… bilang akan datang?” Hartono menggeleng pelan. “Mereka tak janji akan segera datang. Tapi Papa yakin, setidaknya akan ada satu atau dua orang yang datang menjenguk. Keluarga mereka pasti ingin tahu kondisi Emran.” “Alhamdulillah…” gumam Qisya, mencoba menenangkan hatinya sendiri. Ia berharap sungguh-sungguh akan ada yang datang. Meski hanya satu orang pun dari pihak keluarga Emran, itu sudah cukup berarti. Mengingat mereka semua tinggal di Singapura, bisa dimaklumi jika yang datang hanya perwakilan. Tapi tetap saja, Qisya akan bersyukur. Selama ini, Emran seperti hidup sendirian di dunia ini. Bukan karena tak punya keluarga, tapi karena tak ada satu pun yang peduli padanya. Padahal, ia berasal dari keluarga berada—salah satu keluarga terkaya di Singapura. Banyak dari sanak saudaranya sudah jadi warga negara sana, sukses, dan terpandang. Namun bagi mereka, Emran seolah tak pernah ada. Anak yang dibuang dari lingkaran mereka. Qisya masih ingat betul lima tahun lalu, saat ia dan Emran menikah. Tak satu pun anggota keluarganya datang. Emran sudah cerita sejak awal—tentang masa kecilnya, tentang tiga generasi keluarganya yang menetap di Singapura, dan bagaimana perlahan-lahan ia dijauhkan. Kakek-neneknya, bahkan paman dan bibinya, sudah melebur sepenuhnya ke kehidupan di sana, menukar kewarganegaraan, dan mungkin juga... menukar kepedulian mereka terhadap Emran. Dan kini, di tengah kondisi seperti ini, Aisya hanya bisa berharap - akan ada yang mengingat Emran. Meski pun telat. Meskipun hanya sekali saja. Dari semua keturunan Danial, hanya Emran yang merasa tak betah hidup di negeri tetangga. Meski lahir dan tumbuh remaja di Singapura, ia memilih kembali ke Indonesia. Keputusan yang tidak mudah, apalagi tanpa membawa sepeser pun dari kekayaan kakeknya—seorang pengusaha besar dengan banyak bidang usaha di sana. Kedua orang tua Emran telah lama tiada, meninggal saat ia masih kecil. Sejak itu, kakeknya yang keras dan otoriter mengambil alih perwalian seluruh cucunya. Ia mendidik mereka dengan disiplin militer dan tekanan tanpa kompromi. Tapi Emran berbeda. Ia tak tahan hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan sang kakek. Ia memilih keluar dari rumah itu, menanggalkan nama besar keluarganya, dan membangun hidupnya sendiri di Indonesia—dari nol. Dan mungkin karena keputusan itu dianggap bentuk pembangkangan, saat Emran mengundang seluruh keluarganya untuk menghadiri pernikahannya dengan Qisya, tak satu pun datang. Tak ada suara, tak ada ucapan selamat, apalagi kehadiran. “Mereka takut pada Kakek,” ucap Emran pelan waktu itu. “Mungkin… kakek mengancam akan mencoret mereka dari kartu keluarga kalau berani datang ke sini.” Qisya ingin menyangkal, tapi tak bisa. Ia menyaksikan sendiri gurat perih di wajah Emran saat mengucapkannya. Pria itu memang pandai menyembunyikan luka, menyelipkan kesedihan di balik senyuman dan sikap santainya. Tapi hari itu, luka itu terlalu dalam untuk ditutupi. Sampai sekarang—lima tahun telah berlalu—Qisya masih merasakan nyeri yang sama setiap kali mengingat momen itu. Pernikahan mereka berlangsung tanpa satu pun perwakilan dari keluarga Emran. Ia sempat mencoba menjelaskan pada beberapa kerabat dekat agar tidak salah paham. Tapi untuk para tamu yang lebih jauh hubungannya, mereka pasti kebingungan—mengapa tak ada satu pun keluarga dari pihak pengantin pria? Syukurlah, Emran punya banyak teman baik. Teman-temannya datang, memenuhi ruangan, dan ikut bersuka cita. Mereka yang menggantikan kehangatan keluarga yang tak pernah hadir. * Lima Tahun Lalu — Hari Pernikahan Alunan musik tradisional mengalun pelan. Tamu-tamu berdatangan, beberapa membawa bunga, lainnya membawa senyum lebar. Di pelaminan, Qisya duduk anggun dengan kebaya putih gading, senyumnya manis meski kedua tangannya terasa dingin sejak tadi. Di sampingnya, Emran berdiri gagah dalam setelan adat berwarna senada. Wajahnya tenang, terlalu tenang—hingga terasa seperti topeng. “Masih belum ada kabar dari mereka?” tanya Qisya pelan, nyaris berbisik. Hanya Emran yang bisa mendengarnya di tengah hiruk-pikuk pesta. Emran menggeleng. Singkat. Matanya lurus ke depan, senyum tipis terpahat paksa. “Tak akan ada yang datang, Sayang,” ujarnya lirih. “Aku tahu itu sejak awal.” Qisya menunduk, menahan getir. “Maaf...” “Kenapa minta maaf? Ini bukan salahmu.” Emran menggenggam tangan Qisya sebentar—lalu melepaskannya saat tamu berikutnya maju untuk memberi ucapan selamat. Mereka berganti-ganti berdiri, tersenyum, mengangguk sopan, menerima doa dan selamat seolah segalanya baik-baik saja. Tapi Qisya tak bisa menahan diri untuk sesekali melirik ke kursi tamu paling depan—tempat yang sengaja dibiarkan kosong oleh panitia, berjaga-jaga kalau-kalau ada anggota keluarga Emran yang muncul. Tapi kursi itu tetap kosong sampai akhir acara. Tak ada suara yang memanggil nama Emran dengan hangat. Tak ada peluk hangat seorang paman atau tawa renyah dari sepupu-sepupu yang datang jauh-jauh dari negeri seberang. Tak ada kado dari keluarga besar. Hanya kekosongan. Sunyi. Dan luka yang Emran simpan rapat-rapat di balik senyumnya. Usai acara, saat mereka sudah duduk berdua di kamar pengantin, Emran membuka sepucuk surat undangan yang tak pernah dikirimkan. "Ini buat Kakekku. Tapi aku tahu dia nggak akan baca," katanya. Qisya menatap surat itu, lalu menatap suaminya. "Kalau kamu nggak punya siapa-siapa yang datang hari ini, Mas... anggap aja kamu dapat satu orang baru," ujar Qisya sambil memeluk Emran erat. "Aku istrimu sekarang. Aku keluargamu. Dan aku nggak akan pergi." Untuk pertama kalinya hari itu, Emran menutup mata, membiarkan air yang semula tertahan akhirnya jatuh diam-diam ke pundak Qisya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN