Qisya membeku. Kata “disengaja” itu berdengung di kepalanya seperti alarm yang tak kunjung berhenti. Seolah tubuhnya belum cukup kaku, kini ia semakin terpaku di kursi, tatapannya kosong, napasnya tersangkut di tenggorokan. Dipandangnya polisi bertubuh tinggi besar di sebelahnya dengan mata memerah dan terbelalak. “A-a… maksudnya disengaja, Pak?” tanyanya dengan suara gemetar. "Saya masih belum dapat mencerna penjelasan Bapak. Mohon maaf ….”
“Oh, tidak perlu meminta maaf, Bu. Anda tidak bersalah. Saya yang seharusnya meminta maaf karena telah membuat ibu terkejut dan merasa cemas. Tentu saja apa yang barusan saya katakan bisa membuat anda bingung. Atau tidak percaya." Iptu Haris menatap Qisya dengan sorot yang kini jauh lebih serius. “Kami masih menyelidiki, Bu. Tapi dari beberapa saksi mata yang berada di sekitar lokasi kejadian, tampak ada kendaraan lain yang memepet motor suami Anda sebelum akhirnya tergelincir dan tertabrak dari arah berlawanan.”
Qisya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Dunia seolah benar-benar berhenti berputar. Sesak luar biasa menghantam d**a Qisya saat mendengar penjelasan dari inspektur. Sebagai reporter televisi, ia sudah terlalu sering meliput berita kecelakaan. Banyak yang tragis, bahkan ada yang mirip dengan kejadian ini. Tapi nyatanya, semua pengalaman itu tak pernah benar-benar mempersiapkan hatinya. Karena rasa itu akan selalu berbeda—jika yang jadi korban adalah orang yang kita cintai. Belahan jiwa kita sendiri.
Ada yang memepet motor Mas Emran? Tapi siapa? Siapa yang ingin mencelakai suaminya?
Qisya menelan ludah, tenggorokannya terasa seperti gurun pasir yang kering kerontang. “Apakah... ada yang sempat mengenali kendaraan itu?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Iptu Haris menghela napas pelan. “Untuk saat ini, kami belum bisa memastikan, Bu. Keterangan para saksi masih belum konsisten—beberapa berbeda, bahkan ada yang saling bertentangan. Kemungkinan karena kejadian berlangsung di malam hari, dengan pencahayaan yang minim. Tapi kami sedang menelusuri rekaman CCTV di area sekitar. Mudah-mudahan ada yang bisa membantu menguatkan petunjuk.”
Qisya menunduk, tubuhnya gemetar. Pikirannya liar, mencoba mencari-cari siapa yang mungkin membenci Emran. Tapi nihil. Tidak ada. Emran tidak pernah berselisih dengan siapa pun. Bahkan dengan orang yang mengalami gangguan jiwa yang sesekali melintas di depan rumah, suaminya masih sempat bercanda.
Qisya terduduk di kursi tunggu. Seluruh tulang-tulangnya terasa ngilu dan ingin copot. Kakinya gemetar. Seolah kehilangan fungsi. Tubuhnya nyaris limbung, dan hanya kesadaran tipis yang membuatnya tetap duduk tegak.
“Apakah ada seseorang yang akhir-akhir ini bersikap aneh? Mungkin menanyakan keberadaan suami Ibu? Atau seseorang yang mengikuti kalian?” tanya Iptu Haris, nada suaranya lebih pelan, seolah tak ingin membuat Qisya makin syok.
Qisya menggeleng pelan. “Enggak ada, Pak… seingat saya enggak ada yang mencurigakan. Dan rasanya sulit dipercaya kalau ada yang ingin mencelakai suami saya, Pak. Mas Emran nggak pernah punya masalah dengan siapa pun. Dia anti konflik. Lima tahun kami menikah, kami nggak pernah bertengkar. Dia selalu menghindari masalah, lebih memilih diam daripada terlibat dalam keributan. Mas Emran bahkan nggak suka debat, apalagi berkelahi. Saya yakin, dia nggak punya musuh. Saya berani jamin.”
“Dari data yang saya terima, suami Anda bekerja di sebuah kafe bernama Millenial. Sudah berapa lama beliau bekerja di sana?”
“Baru sekitar enam bulan, Pak.”
“Sebelumnya beliau bekerja di mana?”
“Di perusahaan periklanan, bagian keuangan.”
“Hmm... cukup jauh perubahannya ya. Dari staf keuangan jadi kepala sekuriti.”
Qisya mengangguk. “Iya, Pak. Suami saya sudah lelah kerja di balik meja terus. Jadi waktu sepupu saya nawarin posisi kepala sekuriti di kafenya, Mas Emran langsung ambil.”
“Café Millenial itu milik sepupu Anda?”
“Benar, Pak. Irfan Huzair, CEO-nya, adalah kakak sepupu saya. Ayah kami bersaudara kandung.”
Iptu Haris Gunandar mengangguk pelan. “Jadi, saudara Emran langsung menempati posisi tertinggi di departemen keamanan tanpa melalui proses seleksi apa pun, begitu?”
Qisya mengangguk. “Sepertinya begitu, Pak. Karena Café Millenial adalah usaha keluarga, Irfan mungkin merasa wajar memberi posisi penting pada kerabat sendiri. Apa itu bermasalah, Pak?”
“Oh, tidak sama sekali, Bu. Saya justru baru tahu kalau itu bisnis keluarga. Tapi tetap saja, keputusan semacam itu kadang memicu ketidaksukaan. Bisa jadi, ini yang menimbulkan kecemburuan—atau bahkan dendam. Kita tidak pernah tahu isi hati orang lain. Mungkin saja ada yang merasa tidak adil, merasa tersaingi.”
Qisya menelan ludah. Ia mencoba mencerna maksud ucapan itu. “Saya tidak tahu, Pak. Tapi yang Bapak katakan memang masuk akal. Bisa jadi, pengangkatan Mas Emran menimbulkan kecemburuan... walaupun rasanya nggak mungkin.”
“Hm … kenapa Ibu yakin itu tidak mungkin?”
“Saya sangat kenal Mas Irfan, Pak. Kakak sepupu saya itu memang orangnya santai, nggak suka ribet sama aturan. Saat tahu suami saya punya latar belakang bela diri dan jiwa kepemimpinan, dia langsung menawari posisi itu. Dan saya rasa, semua orang yang kerja di bawah Mas Irfan pasti tahu bagaimana karakternya.”
“Seharusnya begitu.”
“Tapi … apa mungkin ada yang nggak suka dengan kehadiran suami saya di sana?”
“Saya nggak mau membuat Ibu tambah khawatir. Tapi kemungkinannya tetap ada. Bisa saja ada ‘musuh’ di sekitar suami Anda.”
Qisya menegang. “Ya Allah…”
“Entah itu dari tempat kerja lama, lingkungan baru, atau bahkan di luar rumah. Kita belum bisa tahu pasti. Tapi jangan khawatir, Bu. Kami akan usut ini sebaik mungkin. Untuk sekarang, mari kita fokus dulu pada proses operasi Saudara Emran. Hasil penyelidikan akan menjawab semuanya.”
Qisya mengangguk pelan. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di benaknya. Apa benar suaminya punya musuh hanya karena langsung mendapat posisi kepala sekuriti? Apa ada yang sakit hati? Sepupunya sudah lama menjalankan bisnis itu. Bisa saja ada karyawan lama—terutama dari tim sekuriti—yang sudah bertahun-tahun mengincar jabatan tersebut. Lalu, tiba-tiba orang baru datang dan langsung diangkat tanpa proses apa pun. Mungkinkah seseorang merasa dilangkahi, lalu menyimpan dendam?
Bayangan itu membuat dadanya terasa sesak. Kalau benar kecelakaan yang dialami Mas Emran bukan murni musibah, tapi ada unsur kesengajaan, Qisya tidak akan tinggal diam. Dia akan mencari siapa pun yang tega mencelakai suaminya—dengan segala cara.
“Qisya!”
Sebuah suara memotong hening di antara dirinya dan Iptu Haris. Seorang pria tampan melangkah cepat ke arahnya. Jasnya berkibar, wajahnya tegang. Di belakangnya, dua pria berpakaian rapi—pengawal pribadi—ikut menyusul.
“Mas Irfan.” Qisya langsung berdiri. Iptu Haris pun ikut berdiri dan memandang pria yang baru datang itu.
Irfan Huzair, sepupunya sekaligus pemilik Café Millenial, segera menghampirinya. Ia memeluk Qisya singkat, lalu membisikkan kata-kata menenangkan sebelum menyuruhnya duduk kembali. Setelah itu, ia menyodorkan tangan ke polisi di samping Qisya.
“Iptu Haris Gunandar,” ucap sang polisi.
“Irfan Huzair. Owner Café Millenial, tempat Emran bekerja. Saya juga sepupu kandung Qisya.”
“Bu Qisya sudah sempat cerita sedikit tentang Anda,” jawab Iptu Haris ramah.
“Jadi bagaimana, Pak? Apa benar kecelakaan adik ipar saya ada unsur kesengajaannya? Soalnya saya kenal betul lokasi kejadian. Jalanannya mulus, penerangan juga oke. Nyaris nggak pernah ada kecelakaan di sana. Kecuali kalau Emran tiba-tiba ngantuk atau rem motornya blong… tapi kalau bukan itu, saya curiga ada yang sengaja mencelakainya!”
“Itulah yang sedang kami selidiki saat ini,” jawab Iptu Haris. “Beberapa saksi di TKP sempat melihat sebuah truk yang tampaknya sengaja mendesak motor Saudara Emran hingga jatuh ke jurang. Tapi karena masih gelap saat kejadian, tak ada yang melihat secara jelas. Kami masih mengumpulkan semua keterangan untuk memastikan itu.”
“Tapi rasanya sulit dipercaya ada orang yang sengaja ingin mencelakai Emran,” gumam Irfan, dahinya mengerut. Ia mencoba mengingat-ingat kembali sosok suami adik sepupunya itu. “Sejauh yang aku kenal, Emran itu orang paling baik. Nggak pernah neko-neko, nggak pernah cari musuh.”
Iptu Haris mengangguk pelan. “Bu Qisya juga bilang hal yang sama. Tapi, apa ada kemungkinan Emran saat itu di bawah pengaruh alkohol atau—”
“Mabuk?” Irfan memotong cepat. “Itu nggak mungkin! Emran nggak minum alkohol sama sekali. Padahal sebagai kepala sekuriti, dia bisa aja dapat jatah makanan dan minuman apapun dari café, tapi dia selalu menolak. Jangankan miras, minuman bersoda aja dia nggak mau sentuh. Emran cuma minum air putih atau kopi.”
“Baiklah, itu informasi penting. Akan saya catat. Dalam waktu dekat, saya mungkin akan datang ke café Anda untuk melanjutkan penyelidikan.”
“Silakan, Pak. Saya juga penasaran... apakah benar ada yang nggak suka sama adik ipar saya itu. Walau rasanya agak aneh.”
“Aneh gimana maksudnya, Pak?”
Irfan menarik napas, lalu mengangkat bahu. “Yang sering bikin orang sakit hati itu sebenarnya saya. Saya yang keras kepala, saya yang banyak bikin keputusan sepihak.”
“Hm, begitu ya?” Iptu Haris menanggapi datar.
Irfan mengangguk pelan, lalu bergumam seperti pada dirinya sendiri, “Apa mungkin sekarang orang-orang mulai menyerangku lewat keluargaku?”
Sebelum Haris sempat menjawab, pintu ruang IGD tiba-tiba terbuka. Qisya yang sedari tadi tak melepaskan pandangan dari pintu itu langsung berdiri, jantungnya seakan melonjak. Irfan dan Iptu Haris menyusulnya, sama-sama bersiap menyambut seorang dokter yang baru keluar dari ruang gawat darurat.
“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Qisya tergesa, nadanya penuh kecemasan. Wajahnya menegang, matanya nyaris berair. Ia tahu, dari raut sang dokter yang tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi lega—kabar baik sepertinya jauh dari harapan.
“Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang masih mengenakan seragam operasi.
“Saya istrinya.”
Dokter itu mengangguk pelan. “Saya turut prihatin, Bu. Dengan berat hati saya sampaikan bahwa kondisi suami Anda cukup serius. Kami telah melakukan operasi di bagian kepala dan berhasil melewati masa kritis. Namun… pasien mengalami benturan yang sangat keras di kepala, menyebabkan trauma parah dan gegar otak.”
Qisya mulai gemetar. Napasnya tercekat.
“Kami khawatir, dalam beberapa hari ke depan, pasien akan kehilangan kesadaran. Bisa dikatakan, saat ini beliau masuk dalam kondisi koma.”
“Ap—apa?” suara Qisya bergetar, dan tubuhnya ikut melemah. Irfan dengan sigap menopang adiknya yang nyaris jatuh. Dengan sisa tenaga, Qisya mencoba berdiri tegak kembali, meski tubuhnya seperti tak lagi miliknya.
Dokter itu menatap mereka sejenak, lalu melanjutkan, “Dan masih ada satu hal lagi, Bu.”
Irfan yang kini mengambil alih, bertanya, “Apa lagi, Dok?”
“Ditemukan pecahan benda keras yang menusuk mata kiri pasien. Luka tersebut merusak jaringan retina.”
“Maksudnya…?” Irfan menatap dokter dengan alis berkerut, meski hatinya mulai merasa tak enak.
“Kemungkinan besar, mata kirinya mengalami kerusakan permanen.”
“Apakah itu berarti… dia bisa buta?”
Dokter mengangguk pelan. “Itu yang paling kami khawatirkan saat ini.”
Dan saat itulah dunia Qisya benar-benar runtuh. Napasnya memburu, telinganya berdengung, pandangannya berputar—hingga semuanya gelap.
*