Irfan memandang adik iparnya dengan sorot mata serius. “Kau yakin akan hal itu?” Emran menggeleng pelan. “Sejujurnya… tidak, Mas.” “Nah, aku juga meragukannya. Memang, kita sudah menemukan Melia. Tapi Aufa belum. Jadi, mungkin saja dugaanmu benar. Bisa jadi ini adalah petunjuk menuju Aufa.” Emran menghela napas panjang. “Karena kita terlalu ingin menemukannya, Mas. Kita berharap alamat ini membawa kita pada jasad Aufa. Tapi bagaimana kalau ini hanya jebakan?” Irfan mengangguk, raut wajahnya mengeras. “Itu juga yang kupikirkan. Kita tidak tahu siapa yang mengirim pesan ini. Bisa saja pesan pertama—yang mengarahkan kita ke Melia—memang sengaja dikirim sebagai pancingan agar kita lengah. Dan sekarang, mereka mengirim lokasi kedua… untuk menjebak kita.” “Itulah yang sejak tadi membuatku r

