Suara anak kecil itu terdengar sangat menyayat di telinga Emran. Lirihnya bukan sekadar bisikan—tapi jeritan halus dari jiwa yang tersesat. Emran merasa dadanya tergores. Irama kesedihan dari anak itu mengingatkannya pada tangisan anak balitanya sendiri saat merengek minta digendong atau sekadar ingin diperhatikan. Memang, yang berdiri di depannya ini bukan manusia. Tapi arwah. Namun tetap saja—ia adalah anak-anak. Jiwa muda yang seharusnya belum mengenal penderitaan, apalagi kematian. Emran menarik napas panjang, mencoba meneguhkan hati. Mungkin ini satu-satunya kali lagi dia akan ikut campur dalam urusan arwah. Tapi bagaimana mungkin dia tega membiarkan sosok sekecil itu terjebak dalam penderitaan? “Aufa?” panggilnya pelan. Anak perempuan itu menoleh. Wajahnya yang tadi pucat seketik

