Bab.1 Malam Pertemuan
Langkah Meela berderap cepat di jalan setapak yang sepi. Napasnya terengah, tersengal oleh rasa takut yang mencekik. Malam itu, angin berhembus kencang membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Bulan sabit bertengger pucat di langit, seakan menonton perburuan yang sedang terjadi.
Meela tahu dirinya sedang diburu. Sejak keluar dari kafe tempatnya bekerja paruh waktu, ia merasa bayangan itu terus mengekori. Awalnya ia mencoba menepisnya, berusaha meyakinkan diri bahwa itu hanya perasaan takut biasa. Namun langkah-langkah kasar di belakangnya terlalu nyata. Nafas berat dan cekikan tawa kecil yang menyeramkan semakin mendekat.
“Jangan lari, Cantik…” suara itu terdengar parau, penuh nafsu yang sangat teramat menjijikkan.
Meela menoleh sekilas. Dua pria bertubuh besar mengejar dengan wajah bengis. Sorot mata mereka seperti predator yang menemukan mangsa empuk. Panik membuncah, membuat kakinya bergerak lebih cepat, menyusuri gang sempit tanpa arah. Hatinya berdegup kencang, seakan akan meledak kapan saja.
“Aku harus lari… aku harus selamat…” batinnya berulang kali.
Namun, gang itu berakhir buntu. Dinding bata tinggi menjulang, tak ada jalan keluar. Meela menatap sekeliling dengan mata melebar, mencoba mencari celah meski tahu usahanya sia-sia.
Kedua pria itu muncul dari balik bayangan. Senyum licik mereka membuat darah Meela membeku.
“Sudah kubilang jangan lari.” Salah satu dari mereka melangkah maju, wajahnya penuh luka bekas perkelahian. “Sekarang kita bisa bersenang-senang.”
“Jangan mendekat!” Meela menjerit, mundur hingga punggungnya menempel pada dinding dingin. Tangannya meremas tas kecil yang ia bawa, meski tahu itu tak akan banyak membantu.
Pria lain tertawa rendah. “Percuma melawan. Malam ini kau milik kami.”
Air mata mulai menggenang di sudut mata Meela. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya gemetar hebat ketika pria pertama mengulurkan tangan kotor untuk menyentuh wajahnya.
Namun sebelum jemari itu menyentuh kulitnya, sebuah geraman rendah menggema di udara. Suara itu berat, menggetarkan, dan bukan berasal dari manusia biasa.
Kedua pria itu sontak menoleh. Dari kegelapan gang, seorang pria muncul. Tubuhnya tinggi menjulang, berbalut jas hitam elegan yang kontras dengan suasana malam kumuh. Wajahnya tampan dengan garis tegas, rahang kokoh, dan mata keemasan yang berkilat tajam.
Meela terpaku. Ada sesuatu pada tatapan mata pria itu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Bukan sekadar aura kekuasaan—ada sesuatu yang lebih liar, lebih buas.
“Siapa kau? Jangan ikut campur!” salah satu penjahat mendengus, meski nada suaranya terdengar ragu.
Pria berjas itu Goldbin, menyeringai tipis. Senyum yang tak menyiratkan kebaikan, melainkan ancaman. “Kau berani menyentuhnya di hadapanku? Itu kesalahan terbesar dalam hidupmu.”
Geraman kembali terdengar, kali ini jelas berasal darinya. Sekejap, matanya berubah lebih tajam, pupilnya menyipit seperti predator malam. Kedua pria itu saling pandang, ketakutan mulai merayap di wajah mereka.
“Apa-apaan dia ini… matanya…” gumam salah satu, mundur selangkah.
Goldbin bergerak cepat, terlalu cepat untuk mata manusia biasa. Dalam hitungan detik, ia sudah berdiri di hadapan mereka. Satu pukulan keras menghantam d**a pria pertama, membuat tubuh besar itu terlempar menabrak dinding. Suara retakan tulang terdengar jelas, diiringi jeritan kesakitan.
Pria kedua mencoba kabur, tetapi cengkeraman tangan Goldbin mencengkal lehernya dengan kekuatan tak masuk akal. Dengan mudah ia mengangkat pria itu ke udara, seakan tubuh besar itu tak lebih berat dari selembar kertas.
“Lepas… aku mohon…!” pria itu tercekik, wajahnya memerah.
Goldbin mendekat, matanya berkilat emas. “Kau hampir menyentuh sesuatu yang menjadi milikku.”
“M-milikmu…?” suara serak itu nyaris tak terdengar.
Dengan hentakan kasar, Goldbin melempar pria itu ke tanah. Tubuhnya terhempas keras hingga tak sanggup bangun lagi. Kedua pria itu kini tergeletak tak berdaya, merintih kesakitan.
Suasana kembali hening. Meela masih terpaku, jantungnya berdetak tak terkendali. Ia baru saja menyaksikan kekuatan yang tak masuk akal, kekuatan yang tak mungkin dimiliki manusia biasa.
Goldbin berbalik perlahan. Tatapannya kini tertuju pada Meela. Cahaya lampu jalan memantulkan kilatan emas di matanya, membuatnya terlihat semakin menyeramkan sekaligus memukau.
“Kau baik-baik saja?” suaranya berat, dalam, namun ada kelembutan samar yang sulit dipercaya keluar dari sosoknya.
Meela membuka mulut, tetapi tak ada suara keluar. Tubuhnya masih gemetar hebat, antara takut dan takjub.
Goldbin melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar tegas, membawa aura yang membuat udara sekitar bergetar. Ia berhenti tepat di hadapan Meela, cukup dekat hingga gadis itu bisa mencium aroma maskulin yang tajam namun anehnya menenangkan.
“Jangan takut.” Ia menunduk sedikit, menatap mata Meela lekat-lekat. “Aku tak akan menyakitimu.”
Tatapan itu menusuk, seolah mampu menelanjangi isi hatinya. Meela menelan ludah, mencoba menguasai diri. “Terima kasih kalau bukan karena Anda…” suaranya bergetar.
Goldbin mengangguk singkat, lalu menyapu pandangan ke arah dua pria yang masih meringis di tanah. “Mereka tak akan berani lagi. Tapi lain kali, jangan pulang sendirian melewati jalan ini.”
Ada nada perintah dalam ucapannya, bukan sekadar nasihat.
Meela mengangguk cepat, meski hatinya berdesir aneh. Pria ini baru saja menyelamatkannya, tapi entah kenapa ia merasa seperti seekor rusa yang baru saja berpindah dari satu predator ke predator yang lebih berbahaya.
Di dalam mobil hitam mewah miliknya, Goldbin duduk bersandar, memperhatikan Meela yang kini diam terpaku di kursi penumpang. Ia bersikeras mengantarnya pulang, tak memberi kesempatan Meela untuk menolak.
Cahaya lampu jalan melintas di wajahnya yang tampan dingin. Rahang tegas, hidung mancung, bibir tipis yang kadang melengkung dalam senyum sinis, semuanya membuat Meela sulit menoleh.
“Siapa nama mu?” tanyanya tiba-tiba, memecah keheningan.
“Meela…” jawabnya pelan.
“Meela.” Goldbin mengulang dengan nada dalam, seolah mencoba meresapi. “Nama yang cantik.”
Meela menunduk, pipinya panas. Ia tak terbiasa menghadapi pria dengan aura seperti ini. Ada sesuatu dalam tatapan dan suaranya yang membuat jantungnya berdegup tak terkendali.
“Kenapa Anda menolong saya?” akhirnya ia memberanikan diri bertanya.
Goldbin melirik sekilas, lalu menatap kembali ke jalan. “Karena aku tidak suka ada orang lain yang menyentuh apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Perkataan itu membuat Meela terdiam. Ada sesuatu yang berat, menuntut, dalam kata-katanya.
Namun, jauh di balik sikap dingin dan arogan Goldbin, ada sesuatu yang tak diketahui Meela. Goldbin bukan pria biasa. Ia adalah keturunan Lycan murni darah serigala mengalir kuat dalam dirinya. Itu sebabnya kekuatannya tak masuk akal, tatapannya mampu menundukkan siapa saja, dan instingnya selalu tajam.
Dan kini, insting itu berkata jelas, gadis di sampingnya bukan sekadar manusia biasa yang kebetulan ia selamatkan. Ada sesuatu dalam aroma tubuh Meela, sesuatu yang membangkitkan sisi terdalam dari dirinya.
Sebuah hasrat yang bahkan tidak pernah ia rasakan terhadap Brenda wanita yang selama ini ia pelihara sebagai simpanan.
Saat itu, Goldbin menyadari satu hal: malam itu bukan sekadar pertemuan kebetulan. Malam itu adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Di sisi lain kota, Brenda berdiri di balkon penthouse mewah milik Goldbin, sambil menyesap anggur. Gaun satin merah membalut tubuhnya dengan sempurna. Ia memandang jam di pergelangan tangan, bibirnya melengkung tipis.
“Di mana kau, Goldbin…” bisiknya lirih, penuh rasa memiliki.
Ia tak tahu bahwa pria yang selalu ia yakini tak tergantikan itu kini sedang bersama wanita lain, wanita yang tanpa sadar akan menjadi titik balik dalam segitiga cinta berbahaya mereka.