17 - Berubah

1982 Kata
Pemberitaan tentang kejadian di kantor BK jadi buah pembicaraan di kelas 11 IPA 1. Dua kubu yang berseberangan itu sudah tidak ragu-ragu menunjukkan ketidaksukaan satu sama lain. Mereka kembali ke kelas dengan wajah babak belur akibat saling jambak-jambakan.  “Ada apa sih?”tanya Tama saat Anin duduk tepat di depan meja Tama dan Hasta. Anin sekalian meminta air mineral untuk di minum. Rasanya melelahkan menghadapi hari ini. “Cuma kesal sama Debby…”ucap Anin ogah bercerita. Apa yang dirasakan Anin sangat sulit diungkapkan. Tidak mungkin ia bilang kalau kekesalannya bermula dari ucapan Debby yang menjelekkan fisiknya. Tiba-tiba saja Bunga duduk di samping Anin. “Dia ngomongin lo Tam. Katanya, dia sengaja ngejatuhin lo waktu di kemah kemarin.”seru Bunga. Setidaknya Bunga tidak berbohong. Apa yang ia katakan adalah kebenaran. Dan ia kasihan melihat Anin yang kebingungan menjawab pertanyaan temannya itu. “Lo serius?”tanya Tama curiga dan merasa tidak yakin. “Parah sih, kemarin Anin kan udah bilang Tam. Lo aja yang bebal.”seru Hasta nimbrung. “Iya Has, benar banget lo. Gue sampai dimusuhi gara-gara cewek menyebalkan itu.”tambah Anin kesal. “Anindya, lo yang musuhin gue ya.” “Tetap aja, lo gak percaya sama gue.” “Iya, maafin ya. Entar gue mau ngomong sama Debby.” “Eh, buat apa? Entar lo dibunuh, diapa-apain.”seru Bunga tak setuju. “Astaga, semuanya aja mikir gue cowok cupu.” “Memang benar khan??”seru mereka bertiga serempak. Sifat pengecut Tama memang sudah mendarah daging. Hanya saja, kecupu-annya tidak terlihat dari penampilan. Ia lebih terlihat seperti f**k boy. Aslinya jauh berbeda 360 derajat. Makanya ada istilah yang menyebutkan untuk jangan menilai manusia dari covernya. Itu benar dan nyata adanya. Saat guru datang, semuanya kembali ke tempat masing-masing. Walau sudah lega dengan penyelesaian masalah hari ini, Anin tetap saja kepikiran. Apakah tampilannya benar-benar tak layak? Saat ia putus dengan Nando, ia mendapat perkataan jahat dari cowok itu. Dan kini, ia mendapatkannya lagi. Memang sih, tidak ada perubahan signifikan pada dirinya sejak dulu sampai sekarang. Lalu, haruskah ia berubah? Demi orang-orang yang menghinanya itu? Sungguh Kah harus demikian? Bel pertanda pulang menghentikan segala aktifitas. Guru yang mengajar, siswa yang belajar, siswa yang tertidur lelap, dan siswa yang perutnya meronta-ronta meminta diberikan asupan bernilai gizi. Rasa lelah seakan menjalar ke seluruh tubuh. Tidak sabar untuk sampai rumah dan istirahat. “Has, Anin mana ya?”tanya Tama yang sibuk mencari-cari Anin tapi tak kunjung ketemu. Biasanya kalau ada apa-apa pasti ia kasih tahu dulu dari awal.  “Gak tahu. Mending lo telepon. Mungkin dia pergi sama Trisna.” “Iya juga sih. Aneh aja gitu…. Eh, kita main aja yuk.” “Kemana? Gue gak ada waktu untuk main. Gue mau belajar abis ini.” “Ah dasar, punya teman gini amat.” “Mending lu pulang, makan terus tidur. Nikmat banget itu Tam.” “Sialan. Itu mah gue menimbun lemak ditubuh.” Hasta langsung izin pamit karena memang harus pulang cepat. Ia sudah punya rencana sendiri. Bukan kemana-mana, tapi hanya berkutat dengan buku pelajaran. Kalau Tama mengikuti cowok itu, dia hanya akan menghabiskan waktu yang sia-sia. Ia tak suka belajar. ***** Anin tak henti-hentinya takjub. Untuk pertama kalinya dia naik mobil mewah dan akhirnya tiba di rumah yang luasnya tak terhitung. Anin melongo sambil memcoba menyakinkan dirinya kalau apa yang ia lihat itu nyata. Pernahkah ia bermimpi punya teman anak orang kaya? Bagi orang seperti Anin, itu adalah mimpi di siang bolong. Perbedaan kasta yang amat besar seakan menolak mimpi itu tercapai. “Ayo An, masuk!”ajak Bunga setelah pintu terbuka. Anin masuk dengan hati-hati. Masuk ke dalam rumah itu membuat Anin semakin sadar diri kalau dia adalah orang biasa di dunia ini. “Kita ke lantai 2 aja ya. Kamar gue!” “Tapi mau ngapain, Bunga?” “Udah ikut aja!”ucap Bunga sambil menarik tangan cewek itu. Akhirnya mereka sampai di kamar besar yang penuh dengan warna ungu. Perpaduan warna ungu yang sangat sempurna. Aneka poster artis korea terpampang nyata. Dan tak hanya itu, rupanya Bunga penggemar One Direction garis keras.  “Gue bakal dandanin lo!”ucap Bunga menjelaskan. “What? Eh, gak usah. Gue gak mau berubah.” “Tidak ada yang salah dengan perubahan. Awalnya pasti merasa aneh, tapi entar pasti terbiasa.” “Tapi gue malu…” “Tahu gak, lo itu sebenarnya cantik. Lo hanya tidak tahu cara menunjukkannya.” “Hmm, tapi…………” “Gini aja. Gue dandanin lo dengan perlengkapan yang ada disini. Kalau nanti lo gak puas dengan hasilnya, gue bisa ubah lo seperti semula. Gimana?” “Ya udah deh….” Bagi Anin, perubahan diri itu bisa menjadikannya pusat perhatian. Saat beberapa orang suka jadi the center of attention, Anin tidak. Ia lebih suka jadi orang biasa yang bebas mau ngapa-ngapain. Sesaat ia ingat dengan perkataan Debby yang menusuk. Perkataan jahat itu tak bisa lepas dari kepalanya. Bunga langsung mempersiapkan berbagai hal. Ia hendak mengajari Anin agar cewek itu bisa make up. Setidaknya besok pagi, ia bisa menunjukkan kepada Debby dan teman-temannya bahwa ia lebih cantik dari kumpulan cewek jahat itu. Cukup banyak waktu yang dihabiskan untuk membuat Anin sedikit mahir dalam menggunakan make up. Anin juga menyuruh Bunga untuk meluruskan rambutnya. Ya, ia hanya ingin tahu bagaimana penampilannya jika rambut terurai dengan panjang. “Tuh, kalau rambut lo terurai gitu, pasti lebih ringan kan?” “Iya sih,,,” “Intinya bukan karena rambut lo bentuknya gimana. Tapi gimana cara lo mengaturnya.” Sebelum Anin pulang, mereka makan malam dengan hidangan yang sangat menggiurkan. Anin merasa bersalah karena sudah menyusahkan Bunga. Rasanya tak biasa mengandalkan orang lain selain Tama dan Hasta. Anin itu orangnya gak enakan. Dia segan menyusahkan orang-orang di sekelilingnya. Bisa dikatakan, setipe people pleaser gitu. Kecuali untuk orang-orang yang ia kenal dengan dekat, ia bisa lebih apa adanya. “Hmm, boleh nanya gak?”tanya Anin saat ia sudah puas dengan makanannya. Perutnya sudah penuh dan tidak bisa diisi lagi. “Hmm, iya.” “Lo suka sama Hasta?”tanyanya blak-blakan. Bunga sampai tersedak mendengar pertanyaan itu. “Gue gak bermaksud apa-apa. Gue cuma heran, kenapa lo bantuin gue.” “Ok, pertama gue jelasin. Gue bantuin lo itu karena lo beda sama yang lain.” “Beda gimana?” “Lo, Tama sama Hasta itu bukan orang yang melihat dari latar belakang orang. Gue bisa membuat kesimpulan kayak gini karena lo jelas tahu siapa bokap gue.” “Komisaris kepolisian?” “Yups! Di sekolah gue dulu, mereka memanfaatkan status itu untuk bersilat lidah di depan gue. Tapi gak tulus.”curhatnya sedih. “Alasan gue berbohong adalah biar orang-orang gak terlalu mendekati gue.” “Tapi harusnya lo jujur aja, karena sebenarnya gak semua orang itu sama.” “I know it An. Cuma mungkin butuh waktu buat gue sadar, kalau gak semua orang itu sama.” “Tapi pertanyaan gue belum lo jawab.” “Ya, sesuai sama pikiran lo aja.” “Jadi beneran?” Bunga mengangguk. Pertanyaan itu membuat Bunga sadar kalau orang seperti Tama itu sangat bisa menjaga rahasia. Tama bisa saja membocorkan semuanya pada Anin, nyatanya tidak.  Anin sendiri syok dengan pengakuan itu. Ada kelegaan dalam dirinya. Kenyataannya, dulu Anin pernah suka pada Hasta. Ya, sebelum Bunga jadi murid baru di sekolahnya. Sebelum Bunga pacaran dengan Tama, Anin pernah merasa bahwa ia menyukai Hasta. Namun ternyata tidak, saat dia tahu Bunga memendam perasaan kepada Hasta, ia malah senang. Rasa senang itu sulit untuk diungkapkan. Ya, bisa saja ia senang karena Hasta disukai oleh perempuan sebaik Bunga. “Tapi jangan bilang Hasta ya An. Gue lagi benci sama dia.” “Ada apa sih? Dia punya salah sama lo?” “Begitulah, intinya dia belum minta maaf.” “Dasar tuh anak. Dia emang kurang peka sih.”seru Anin sambil tertawa. Baru kali ini, Bunga merasakan pertemanan yang tulus. Pertemanan yang tak berniat mendapatkan keuntungan. Saat seseorang berpura-pura baik, ujungnya pasti akan ketahuan. Tak ada yang bisa tersembunyi di dunia ini. Pasti akan ada waktu untuk segala nya terungkap. Bunga seketika ingat tentang hari dimana ia harus pindah sekolah karena dianggap menyombongkan diri. Ia dianggap punya segalanya dan bisa menang dari cewek-cewek munafik itu. Saat orang seperti Bunga bisa menang dari seseorang, ia akan dianggap punya privilege. Ia akan dianggap punya hak istimewa karena latar belakangnya. Padahal segalanya tak menyangkut itu saja.  Bunga bisa membuktikan diri di sekolahnya yang sekarang. Ia berhasil melengserkan juara 1 umum. Dia sedikit bersyukur telah berbohong. Tapi disisi lain ia juga merasa bersalah. “Besok bakal banyak yang kaget.” “Kaget kenapa?” “Lo cantik banget An. Pasti banyak yang suka sama penampilan baru lo.” “Ah, gue jadi gak yakin.” balas Anin tidak percaya diri. Kepercayaan diri adalah satu dari sekian masalah manusia sejenis Anin. Ia selalu iri melihat orang-orang yang punay kepercayaan diri tinggi, bahkan orang yang berlebihan. Sungguh, orang seperti itu sangat beruntung. Mereka bisa berkoar-koar menunjukkan siapa diri mereka dengan mudah tanpa peduli apapun. Andaikan dia bisa seperti mereka. Tapi rasanya tidak mungkin.  “Intinya lo harus balas dendam sama Debby. Cewek kayak dia cuma bikin masalah. Jelas-jelas dia yang salah. Tama sampai off IG juga gara-gara dia. Dasar cewek gak sadar diri. Gue penasaran, apa adiknya tahu dia kayak gitu.” “Menurut gue sih enggak. Gue pernah ketemu adiknya. Dia terlihat lebih baik dan sopan.” “Bagus kalau gitu. Besok kita permalukan dia di depan adiknya.” “Eh, tapi….” “Udah serahkan sama gue.” Sebuah panggilan mengalihkan pandangan Anin. Panggilan dari Tama. Cowok itu sudah menelepon dia sebanyak 10 kali.  “Kenapa Tam?” “Lo dimana? Kenapa belum balik jam segini?” “Gue lagi sama Bunga kok. Santai aja kali.” “Tapi kan lo gak bilang sama gue. Gue khawatir tahu.” “Iya, gue mau pulang bentar lagi. Udah ya, bye!” “Mau gue jemput gak?” “Gak.,,,, gak usah. Udah ya Tam.” Buru-buru Anin mematikan telepon itu. Ia tidak mau kalau sampai Tama melihat perubahannya itu. Ia ingin menyiapkan hati satu malam ini. Apa yang akan terjadi besok, biarlah terjadi.  “Udah sana balik, entar dicariin.” “Iya, makasih ya Bunga. Lo doakan gue, semoga besok gak canggung di sekolah.” “Pastinya, lo harus percaya diri. Besok gue bakal bikin Debby kapok.” Saat kakinya hendak melangkah pulang, ia berpapasan dengan seseorang yang akan masuk ke rumah. Wanita itu datang dengan tampilan bak ibu-ibu sosialita. Ia menyapa dengan senyuman di wajahnya. “Eh, kamu bawa teman?”ucapnya ramah.  “Hallo tante, aku Anindya, temannya Bunga.” “Oh Anindya ya. Tante senang banget kalau Dewi bawa teman ke rumah. Ini mau pulang? Lain kali datang saja ya.”lanjutnya. Anin seketika terpaku melihat perubahan wajah Bunga. Ia tak seperti tadi. Wajah Nya langsung suram. Anin sudah merasakan perang urat syaraf di sana. Hal terbaik yang dapat dilakukan adalah segera beranjak pergi. “Oh iya, aku izin pulang ya tante.”seru Anin sambil menjabat tangan hendak meminta izin. “Bye!”serunya pada Bunga. Bunga tersenyum. Anin sangat yakin bahwa ada yang tidak beres dengan mereka. Bunga hendak melongos pergi.  “Dewi, kamu gak nyapa tante?” Dewi adalah panggilan Bunga di rumah. Ia selalu kesal setiap perempuan itu memanggilnya demikian. Dia tak pantas untuk lebih dekat dengan Bunga. Dia tak pantas untuk itu semua. Dia tak menggubris dan langsung berjalan ke lantai 2. Rasa kesal selalu menghantuinya. Bukan karena perempuan itu bersalah. Dia tidak salah apa-apa. Dia hanya orang yang mencintai papanya. Bunga hanya belum siap menerima orang baru di keluarganya. Dia tidak siap dengan keadaan baru yang tidak ia harapkan itu. Disaat hatinya belum siap kehilangan seorang ibu, ia malah dikenalkan dengan orang baru. Ia sempat kecewa dengan ayahnya. Tapi waktu mengubah segalanya. Ia hanya belum berdamai dengan orang baru yang seharusnya ia panggil ibu itu.  Ia langsung rebahan di tempat tidurnya yang berantakan karena peralatan make up. Mood baik yang sedari tadi ada tiba-tiba hancur berantakan karena kehadiran wanita itu. Ia membuka i********: demi mencari hiburan. Hingga akhirnya dia melihat postingan Tama. Ada seseorang yang begitu menyemangati cowok itu di i********:. Namanya tidak asing. Ia langsung menghubungi sekretaris kelas bernama Salsa. Cewek itu cukup tahu tentang semua orang yang ada di kelas 11 IPA 1. Dia sumber gosip terpercaya yang bisa diandalkan. “Kenapa lo, tumben nelfon gue?” “Gue nanya dong Sal, lo tahu nama adiknya si Debby?” “Adiknya yang kelas 10?” “Iyaps.” “Hmm, kalau gak salah sih, namanya Chintya.” “Tahu instagramnya gak?” “Wait bentar, gue temenan sama dia.”ucap Salsa dari seberang. Bunga hanya perlu menunggu beberapa menit agar mendapat balasan suara dari seberang. “Nih, akun IG nya 09tycha” “I see, thank you Sal.” “Buat apa tuh?” “Besok bakal ada pertunjukan besar. Lo orang pertama yang gue kasih tahu.” “Tunggu dulu, lo mau labrak si Debby lagi?” “Lebih dari itu. Pokoknya tunggu aja. Udah ya, bye!” Bunga tersenyum puas. Ia hanya perlu menciptakan kejadian seru di sekolah. Kejadian ini tidak akan membuatnya ikut andil tapi ia adalah perancangnya. Bukankah menjadi tukang adu domba untuk kebaikan itu tidak masalah? Orang jahat sebaiknya menerima akibat dari perbuatannya. Jika dibiarkan, dia hanya akan semakin menjadi. Orang menjadi semakin jahat karena adanya kesempatan untuk berkembang. Mari tidak membiarkan orang seperti Debby berkembang lebih jauh. Biarkan dia sadar sebelum karma benar-benar mendekatinya. Bukankah karma lebih parah dari apapun? Bunga mengirimkan pesan kepada Chintya dengan fake accountnya. Ia menjanjikan sesuatu tentang kebenaran mengapa Tama off i********:. Si Ganteng Maut yang ia puja-puja itu adalah segalanya. Kenyataan tentang Tama yang berubah bermula dari Debby. Sudah sepantasnya kebenaran itu terungkap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN