Kencan pertama untuk pacar pertama. Tama bersiap untuk malam minggu pertamanya yang tak membosankan. Parfum murah yang sudah berbulan-bulan tak habis dan minyak rambut yang tinggal sedikit isinya. Rasanya tak sulit menghadapi hari ini karena kencan mereka juga cuma pura-pura. Tak ada yang nyata dalam hubungan itu. Ia hanya melakukan skenario sampai waktunya tiba dan ia bisa putus dengan Bunga.
“Tama, sudah ditunggu Anin!”seru nyokapnya Tama dari dapur. Tama segera bergegas. Entah apa tujuan Anin datang di waktu itu.
“Loh, lo mau kemana? Rapi amat.”ucapnya saat melihat tampilan Anin yang cukup rapi. Dia tak punya acara untuk hari ini.
“Kita kan mau pergi.”
“Lah, gue mau malam mingguan An.”
“Iya gue ikut.”
“What?”
“Hasta juga ikut kok.”
“Tapi kan, gue belum bilang sama Bunga. Takutnya dia…”
“Hasta udah bilang kok,”
“Loh kok bisa?”
Anin menggerakkan bahunya memberitahu bahwa ia tidak tahu. Tama segera pamit dan menyusul Anin yang menunggunya. Mereka tiba di mall Xexio sebelum pukul 7. Dan saat tiba, sudah ada Hasta dan Bunga disana.
“Hai…”sapa Anin sambil tersenyum.
“Hai An, sorry ya Tam, gue gak sempat bilang. Gue tadi datangnya bareng sama Bunga karena searah. Sekalian gue mau nyari buku ditemenin Anin.”
“Oh, okay. No problem.”
“Ya sudah, kita izin pamit. You can start your date.”seru Hasta.
“Bye, Tama k*****t!”ledek Anin dan menyusul Hasta yang mempercepat langkahnya untuk sampai di Gramedia.
Tama dan Bunga saling pandang ketika mereka berdua sudah pergi. Tama yang baru pertama kali pacaran itu bingung harus bagaimana. Sungguh tak nyaman jika mereka bertingkah seperti pasangan disaat tak ada yang memperhatikan.
“Mau kemana nih Tam? Langsung pulang?”
“Hmm, nanti ketahuan bapak gue. Tapi kalau lo mau pulang, yowes aja.”
“Jadi lo gak ada ide? Masa kita kudu ngemis di jalanan sih.”
“Kita icip-icip makanan gratis aja yuk di supermarket.”
“Idih najis. Gak level.”
“Hmm, gue pergi sendiri aja dah. Lo balik sana.”seru Tama seraya berjalan mencari supermarket yang ada di mall itu. Sungguh kelakukan Tama yang tak masuk akal itu membuat ilfeel cewek-cewek yang mengenalnya dengan baik.
“Tunggu dulu Tam, mending lo ikut gue.”seru Bunga sambil menarik tangan Tama menuju ke suatu tempat. Tama pasrah dan mengikuti cewek itu. Dia sedikit bangga pada dirinya sendiri karena akhirnya tahu gimana rasanya pacaran. Tangan cewek itu berhasil membuatnya salah tingkah. Mereka sampai di timezone.
“Tenang, gue traktir kok.”
“Gue gak ngerti main ginian.”
“Dasar cupu. Lo tinggal ikuti tarian yang ada di layar. Fine, gue ajarin.”
Bunga mengajari Tama dengan susah payah. Cowok itu gak punya keahlian di bidang apapun. Sungguh memuakkan. Setelah percobaan berkali-kali dan uang habis banyak, Tama akhirnya berhasil menguasainya. Bunga sampai kelelahan dan berkeringat. Lumayanlah sebagai pengganti olahraga.
“Nih,”ucap Tama sambil memberikan botol aqua pada Bunga. Dahaga yang terus menyerang membuatnya terengah-engah.
“Thanks Tam.”
“Ternyata seru juga ya, lain kali lo harus traktir gue lagi.”
“Eh, tau diri dong. Lo harusnya yang traktir gue.”
“Iya deh,,,”
“Hmmm, by the way Tam, Hasta orangnya gimana sih?”
Satu pertanyaan itu berhasil membuat Tama berpikir. “Lo tertarik sama dia?”tanyanya.
“We can say it’s true.”
“Lupain, dia udah punya pacar.”
“Masa sih? Satu sekolah kita?”
“Engga, sekolahnya jauh. Daerah sumatera sana deh.”
“Pernah ketemu gak?”
“Engga sih, tapi pernah lihat fotonya.”
“Okey fine, gue udah beberapa langkah di depan. Gue bisa rebut Hasta dari ceweknya itu.”
“Dasar gila.”
Tama tertawa mendengar penjelasan itu. Ia cukup kagum pada sosok Bunga yang apa adanya.
*****
Buku adalah benda yang paling menarik bagi Hasta. Perhatiannya bisa teralihkan pada buku dalam sekejap. Baginya, buku bisa memberikan beragam arti dalam menjalani hidup. Hidup itu bukanlah sesuatu yang pasti. Ketidakpastian itu bisa didalami dengan membaca banyak buku. As simple as that. Ia berlabuh pada buku fiksi karya-karya terbaru yang cukup menarik perhatian. Disisi lain, Anin tampak bosan dan hanya sibuk membolak-balikkan buku sambil mengecek sosial media di ponselnya. Setidaknya, malam ini bukan malam minggu yang buruk. Saat tahu Hasta akan ke toko buku, ia hanya iseng ingin ikut meski hatinya tak suka dengan tempat itu. Ia lebih suka berburu barang lucu dan kulineran. Setelah cukup lama disana, Hasta melirik ke arah Anin yang terlihat lesu dan tak b*******h. Ia tersenyum karena yakin Anin pasti sudah sangat bosan berada di tempat itu.
“Udah bosan ya An, ayo pergi aja.”
“Honestly, gue gak bosan Has. Cuma lagi ngantuk aja, kurang tidur.”bantah nya kemudian.
“Gak usah bohong. Ayo, we can search for something to eat.”
Anin mengikuti dengan riang gembira. Pergi dari tempat menyebalkan itu tentu tujuan utamanya kini. Hasta merekomendasikan beberapa makanan yang mungkin bisa mereka cicipi. Saat langkah kakinya hendak mencari tempat makan, mereka melihat Tama dan Bunga yang sedang main di Timezone.
“Awalnya gue kira boongan loh An, ternyata mereka benar-benar benar.”
“Apa sih, kalimat lo ambigu.”
Ada sedikit yang berbeda saat Anin melihat mereka sedang bermain begitu gembira. Entah karena apa, seperti ada rasa yang sulit diungkapkan. Ia hanya tidak sebahagia itu melihat sahabatnya pacaran.
“Yang penting, si Tama bahagia An. Gue mah terserah dia aja.”
“Hmmm sama sih.”
“Ya udah ayok, jangan ganggu mereka. Biarin aja berdua-an terus.”
Anin mengikuti Hasta namun hatinya tidak. Ia meyakinkan dirinya bahwa perasaannya itu hanya sekedar kaget. Semacam perasaan disaat punya sahabat yang selalu ada buatnya dan kini harus membagi hati dengan orang lain. Perubahan ini seperti masalah sepele, tapi rasanya tentu tak semudah itu. TIba-tiba ia mendapat pesan dari Tama.
Tama : Lagi apa lo?
Anin : Mau makan nih. Gimana kencan pertama? Besok ceritain ya.
Tama : Kepo banget. Sono nyari pacar, move on dong dari yang dulu.
Anin : Idih, siapa juga yang gak move on. Besok gue nembak Pak Toga ya, hihihi.
Tama : Mau pulang bareng?
Anin : gak usah, lo khan harus nganterin Bunga. See you tomorrow.
Anin kembali berfokus pada Hasta. Hasta adalah cowok yang ia sukai selama ini. Ya, perasaan itu hanya kagum yang berkelanjutan. Meskipun pikirannya sedikit memikirkan Tama, tapi ia berusaha untuk menetapkan hati seperti semula. Ya, pada cowok bernama Hasta yang kini sedang bersamanya. Walau sebenarnya tak bisa karena Hasta sudah berlabuh pada hati yang lain.
Dua porsi ramen dan sushi tiba di meja mereka setelah beberapa saat memesan menu. Wangi makanan itu benar-benar membuat nafsu makan meningkat. Rasanya sudah bisa dipastikan karena mereka sudah sering kesana. Dulu sih bareng sama Tama juga, tapi sekarang keadaan sudah berbeda. Ocha dingin jadi pilihan terbaik karena harganya murah dan bisa refill. Dalam menikmati segala sesuatu harus penuh perhitungan. Seperti kata pepatah, hemat pangkal kaya. Walaupun ada yang tetap kaya meskipun boros, tapi bagi Anin ia tak seberuntung itu. Cowok di hadapannya itulah yang benar-benar mendeskripsikan hal itu. Hidup yang kaya belum tentu seperti yang dibayangkan karena manusia lahir dengan kelebihan dan kekurangan. Itu hal biasa bukan? Jadi alangkah baiknya tidak mendramatisir segala sesuatu. Perlu bagi kita, sebagai manusia yang tahu hal itu untuk saling mengerti dalam hidung berdampingan di dunia ini.
“By the way, gimana hubungan lo sama doi?”
“Hah? Ehm, baik-baik aja.”
“Kasih tips dong, gimana caranya LDR.”
“Gak ada tips, intinya kalau masih nyaman ya lanjut kalau engga ya udah.”
“Ah, gak seru banget.”
“Se simpel itu An.”
“Gak mungkin.”
“Emang lo pernah?”
“Ya nggak sih. Tapi ya, sesuai yang gue baca dan gue lihat di tv, LDR itu menguras tenaga.”
“Hmm, tergantung orangnya. Cukup banyak orang yang berhasil bukan?”
“Iya juga sih.”
Anin mengambil suapan terakhir dan akhirnya perut itu penuh. Kenyang dan memuaskan. Makanan itu seperti sumber kebahagiaan bagi Anin. Lucu bukan? Begitulah adanya. Saat makanan lezat yang memuaskan berhasil berlabuh di lidah, rasanya akan sulit dilupakan. Untung saja badan Anin cukup ahli menyembunyikan lemak-lemak jahat di tubuhnya. Walaupun ia makan banyak, badannya tidak terlihat gemuk. Bisa dikatakan ini anugrah. Namun kerap dia mendapat cacian dari beberapa orang. Sebagai contohnya adalah Tama Wijaya. Ya, dia selalu meledek Anin dengan sebutan cewek yang cacingan. Si Ganteng Maut itu memang sering tidak menggunakan otaknya dengan baik.
“Oh ya An, gue mau nanya.”
“Apa?”
“Kasih tanggapan lo tentang friendzone.”
“Ah, jangan bilang lo suka sama gue?”
“Engga lah.”ucap Hasta. Ia lalu menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan trending twitter hari ini. Sebuah utas yang membahas mengenai kisah-kisah Friendzone di dunia ini. Tema itu cukup menarik bagi kalangan anak muda karena sangat relate dengan mereka. Tiba-tiba saja Hasta terpikir untuk bertanya pada Anin.
“Oh, gara-gara itu. Hmm, menurut gue ya Has, friendzone itu bullshit.”
“Maksudnya?’
“Itu cuma alasan untuk mengakhiri persahabatan. Lo tahu kan, masa muda kita ini belum seserius itu untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. So, kalau suka sama teman sendiri ya gak apa-apa dengan syarat. Syaratnya itu, kalau putus gak boleh berantem.”
“Masalahnya masa depan siapa yang tahu An.”
“Kita bisa ciptakan masa depan kita sendiri. Kalau persahabatan bisa sekuat itu, kenapa tidak dijaga meskipun sempat pacaran. Seringkali orang-orang tak mempersiapkan berbagai kemungkinan. Mereka hanya berserah pada takdir. Takdir itu bisa kita rancang sendiri. Jangan manja dengan mengatakan bahwa persahabatan akan hancur karena pacaran. Not like that.”
“Cukup menarik penjelasan lo. Gue bakal jadikan referensi.”
“Referensi apa?”
“Tugas bahasa indonesia minggu depan.”
Anin tertawa dan kembali mencicipi sisa sushi yang masih ada di meja. Ia tersenyum menatap Hasta yang sibuk membaca thread di ponselnya. Detik yang berlalu tak membuat Anin puas. Ia seakan tak percaya dengan apa yang ia katakan. Semua yang ia katakan adalah kebohongan. Ya, itu cuma karangan semata. Kenyataannya, ia tak sekuat itu jika dihadapkan pada keadaan Friendzone yang nyata. Sama seperti saat ini, ia sedang berada dalam fase menyebalkan itu.