Kertas putih itu masih bersih tak bernoda. Kuis tiba-tiba membuat jantung berdetak lebih cepat dan pikiran gak bisa konsentrasi. Bagi orang berotak pintar, kuis dadakan seperti ini adalah sebuah challenge yang menarik. Mereka bahkan berbahagia bisa menilai kemampuan mereka sejauh ini. Namun bagi Anin, kuis konyol ini tak berguna. Kertas yang tak bisa diisi karena untung mengarang saja sulit rasanya. Akhirnya ia menjawab ngasal dengan penjelasan yang tak berhubungan dengan pertanyaan. Semoga saja diberikan nilai kasihan. Andai guru di depan sana punya belas kasihan.
“Ah.,, menyebalkan.”keluh Anin sambil memukul-mukul kepalanya. Hasil kuis itu sudah dikumpulkan karena bel istirahat tiba.
“Lo isi berapa soal An? Gue cuma dapat dua soal. Bisa dipastikan masa depan gue suram.”curhat Gena.
“Masih mending lo Gen, gue cuma jawab satu dan dapat dipastikan jawaban itu salah. Soalnya gue ngarang bebas.”
“Sudahlah, semua orang juga gak punya persiapan. Pasti nilainya juga jelek.”
“Guys, kita bakal liburan akhir semester ini.”ungkap Trisna sambil nimbrung bersama Anin dan Gena. Cewek itu tampak tak memikirkan kuis laknat yang baru saja terjadi.
“Serius lo? Kemana?”tanya Gena antusias.
“Belum diomongin sih. Tapi pasti jadi.”balasnya. Trisna adalah anggota pengurus kelas. Dia cukup sering rapat kelas untuk membahas mengenai banyak hal. Mulai dari kelengkapan kelas, keuangan hingga rencana-rencana seperti liburan dan lainnya.
“Yes! Sudah saatnya bersenang-senang.”seru Anin tak kalah antusias.
“Kita harus belanja banyak. Biar entar bagus kalau foto-foto.”seru Trisna.
“Gimana kalau kita janjian aja. Nanti sebelum hari H, kita harus belanja bareng. Pada mau kan?”tanya Gena.
“Okey, gue siap 86.”seru Trisna.
“Gue juga. Tapi Tris, bilangin sama ketua kelas, kalau mau liburan ke alam aja. Jangan ke perkotaan.”ucap Anin menyarankan. Anin adalah cewek yang suka berpetualang. Lahir di perkotaan membuatnya ingin hidup di alam bebas yang udaranya segar.
Tiba-tiba Tama datang dengan gelagat isengnya. Ia langsung duduk di meja yang tepat didepan Anin. Cowok itu tersenyum nakal. Senyuman yang cukup menjijikan dari Si Ganteng Maut.
“Hai guys,,,”sapanya.
“Kenapa Tam?”
“Gak mau ke kantin?”
“Lah, bukannya lo pergi sama pacar lima langkah lo?”
“Bunga? Dia mau ke perpustakaan, gue males.”
“Anjir, bisa-bisanya lo begitu sama pacar sendiri. Jangan-jangan….”ucap Gena curiga.
“Diam aja deh Gen. Jangan negatif otak.”
“Negatif thinking kali.”
“Iya itu. Ayo An, buruan.”ucapnya sambil menarik tangan Anin. Anin mengikutinya karena memang tidak ada pilihan lain. Mereka berjalan melewati beberapa kelas untuk sampai ke kantin. Kantin sudah mulai ramai dengan manusia. Anin langsung memesan makanan kesukaannya. Ia duduk dan Tama segera memesan makanannya.
“Jadi gimana Tam? Sudah sejauh mana perkembangan kalian?”
“Perkembangan apa?”
“Lo sama Bunga, dasar pea.”
“Ohhh, ya gitu deh.”
“Masa gitu doang. Harusnya ya, sebagai pacar pertama, ada kesan yang baik dari kisah kalian.”
“Kesan baik ya, pokoknya Bunga itu cewek yang apa adanya. Dia cantik tapi baik juga.”
“Masa sih? Kok gue gak yakin ya.”
“Kenapa gak yakin?”
“I mean, cewek cantik itu kebanyakan…”
“Tuh kan, lo emang ngeliat dari penampilan. Gak selamanya cewek cantik itu manja atau gimana. Semua tergantung orangnya An.”
“Hmm, intinya gue masih gak percaya.”
“Jangan bilang kalau lo cemburu.”
“Ogah. Udah makan tuh sebelum dingin kayak hati lo.”
Tama tertawa dan menyeruput soto dengan nasi yang terhidang di mejanya. Banyak sekali perhatian yang tertuju pada mereka. Detailnya sih tertuju pada Tama Wijaya, Si Ganteng Maut yang digandrungi banyak wanita. Banyak sekali persepsi dari orang-orang itu. Apalagi Tama menghabiskan makan siang bukan dengan pacarnya tapi dengan Anin, cewek biasa yang amat sangat biasa.
“Mending lo cepetin makannya Tam. Gue gak tahan dilihatin.”
“Tumben banget. Biasanya lo gak terusik.”
“Kan biasanya ada Hasta. Kalau gue dijambak, gue bisa berlindung dibalik ketiak Hasta.”
“Entar bau.”
“Bau?”
“Ketiak Hasta.”balasnya terkekeh. Anin tertawa lebih keras lagi. Hal-hal receh memang cenderung membuat tawa. Apalagi jika candaan itu mengalir apa adanya tanpa persiapan. Begitulah yang terjadi pada mereka di siang itu.
“Hasta gak nitip apa-apa?”
“Engga sih, apa beli roti ya.”
“Ya udah, gue beli roti. Lo abisin dulu tuh makanan. Jangan sisa ya.”
“Iya bawel.”balas Tama. Anin tidak pernah tega meninggalkan sebutir nasipun di piringnya. Bagi cewek itu, makanan tak boleh disisakan karena masih sangat banyak orang yang kesulitan untuk menikmati itu. Selain itu, ia juga sangat peduli pada petani yang bekerja banting tulang untuk memenuhi pangan di Indonesia. Untung membalas jasa itu, manusia sepertinya hanya bisa menikmati nasi tanpa menyisakannya.
Tama dan Anin berencana ke perpustakaan untuk menemui Hasta yang mungkin saja kesepian. Ya, itu hanya kemungkinan kecil. Hasta bahkan kekurangan waktu jika itu menyangkut buku. Tiba-tiba saja Tama nimbrung dengan sohibnya di trotoar dengan perpustakaan. Anin memutuskan untuk berjalan duluan. Hingga akhirnya dia sampai di perpustakaan. Saat kakinya mulai melangkah masuk, ia mencari sosok Hasta. Dan matanya tertuju pada dua orang yang duduk disana. Hasta dan Bunga sedang membahas sesuatu yang begitu menarik. Dan Anin bisa melihat dengan jelas bahwa Bunga begitu ceria. Ya, dia tak bertingkah seperti saat dia bersama Tama. Perasaan Anin bimbang. Awalnya memang ia punya perasaan pada Hasta. Perasaan itu sudah bertahan dalam waktu yang cukup lama. Rasa itu ia pendam demi kebaikan bersama. Kebaikan antara dirinya, Hasta dan Tama. Mereka bertiga memang dilahirkan untuk panggung yang sama.
Ia membalikkan badan dan melihat Tama mengakhiri percakapan dengan temannya. Kali ini, ia bertindak bukan untuk perasaannya. Ia takut jika Tama melihat sikap Bunga yang berbeda. Ia takut jika Tama melihat apa yang ia lihat. Ia tak mau sahabatnya itu bertingkah konyol dengan tindakan galau yang akan susah diredakan. Ia bingung dan langsung pergi menahan langkah kaki Tama.
“Kenapa An? Hasta dimana?”
“Gak ada. Kita langsung ke kelas aja yuk.”
“Oh, dia udah balik ke kelas?”
“Kayaknya.”
Anin dan Tama berjalan untuk bisa sampai di kelas yang lokasinya cukup jauh dari perpustakaan. Dan seperti biasanya, Tama iseng untuk membuat cewek itu kesal. Kadang menarik rambutnya hingga meledek rambut keriting itu. Sudah berapa kali Tama memberikan penghakiman terhadap rambut ciptaan Tuhan itu. Terkadang Anin ingin meluruskan rambutnya. Nyalinya belum sampai ke tahap itu. Mungkin suatu saat nanti akan terealisasi.
“Kak, ini buat kakak.”ucap seorang adik kelas menahan langkah kaki Tama. Tama yang kaget sampai melonjak. Pada saat itu, Tama sedang fokus pada rambut Anin. Tiba-tiba saja ada orang lain yang muncul. Tentu saja ia kaget. Cewek itu memberikan Tama coklat dan surat berwarna pink.
“Ehmm, makasih ya. Ah, ini dari siapa ya?”
“Dari aku kak.”
“Maaf ya, dia udah punya pacar.”sergah Anin. Anin mengambil coklat dan surat yang sudah berada di tangan Tama untuk diberikan kepada cewek itu. Cewek itu tampak kaget.
“Dia udah pacaran sama cewek lain. Jadi rasanya gak baik kalau lo ngasih dia surat sama coklat.”ucap Anin menjelaskan. “Gue cuma gak mau lo di PHPin sama Tama, itu lo makan sendiri aja ya. Udah yuk Tam.”lanjutnya. Tama hanya mengikuti alur dan menyusul Anin yang berjalan jauh di depan.
“Ish, kenapa sih An? Biasanya juga ga apa apa kalau gue dapet coklat. Kasihan tahu dia, mukanya langsung sedih abis lo ceramahin.”
“Tama Wijaya, sekarang lo udah punya Bunga Dewi. Gak boleh lagi berhubungan sama cewek lain.”
“Gue berhubungan sama lo.”
“Kita kan teman Tam. Mereka itu berharap banyak sama lo. Kalau lo terima surat tadi, otomatis harus lo balas. Emang mau?”
“Gak sih, gue kan gak pintar menulis surat.”
“Makanya, mending gak diterima. Daripada bikin sakit hati.”
“Iya juga sih. Gue jadi sedikit terbantu ya.”
“Terbantu?”
“Iya, setelah pacaran, fans gue pasti berkurang drastis.”
Ada sedikit kebanggaan di hati Tama. Kebohongan yang ia buat bersama Bunga ternyata cukup berguna. Ia sedikit terbebas dari mata-mata genit para cewek di sekolahnya. Ternyata kehadiran Bunga sangat berpengaruh betul. Hingga ia mendapat banyak notifikasi dari f*******:. Sebuah laman itu membuat ponselnya ramai oleh nada dering.
“Kenapa Tam?”
Tama fokus dan ia kaget mengetahui detail notifikasi itu. Ia menunjukkannya pada Anin. Sebuah laman fanbase untuk Tama dan Bunga. Anggota dari grup itu cukup banyak untuk ukuran manusia biasa.
“Astaga, udah gila orang-orang.”
“Kalau begini, sama aja gue diteror.”
“Hahaha, nikmatin aja Tam. Yang terpenting adalah lo bahagia sama Bunga.”
Bahagia untuk sebuah kebohongan memang sangat epic. Tama sedikit menyesal telah membohongi Anin. Dulu mereka pernah berjanji untuk satu rahasia untuk semua. Tak boleh ada kebohongan dengan tujuan apapun. Pertemanan dimulai dari kejujuran. Ia hanya bisa berharap pada waktu. Entah sampai kapan kebohongan ini tersimpan dalam-dalam.