Perpustakaan sekolah begitu menarik perhatian Hasta. Pelajaran barusan membuatnya sadar bahwa masih ada beberapa hal yang tidak diketahuinya secara detail. Semakin banyak tahu, semakin banyak yang tidak kita tahu. Begitulah kata pepatah. Ia berjalan dengan penuh semangat hingga langkahnya dihentikan oleh suara seseorang yang ia kenal. Ia menoleh dan mendapati Bunga sedang berlari menyusulnya.
“Bunga?”
“Aku boleh ikut gak?”
“Ke perpus?”
“Iya.”
“Hmm, boleh.”
Mereka berjalan dalam diam. Tak nyaman rasanya bagi orang baru untuk diajak Hasta bicara. Hasta sangat berbeda dengan Tama. Hasta lebih hati-hati dan dia cukup misterius. Itulah yang membuatnya lebih disukai oleh teman sekelasnya dibandingkan Tama, cowok dengan gelar Si Ganteng Maut itu.
Tiba di perpustakaan, Hasta langsung mencari buku terkait biologi. Ia tertarik dengan beberapa penyakit yang menyerang manusia dan barusan diajari di kelas. Bunga yang memiliki tujuan lain mencoba berbaur dengan situasi dan kondisi. Dia melihat Hasta yang semakin tampan saja saat memilih buku yang ia inginkan. Ketertarikan cowok itu membuatnya penasaran. Bagaimana bisa dia punya pacar disaat dia hanya sibuk dengan buku? Bisa dipastikan bahwa perempuan yang pacaran dengan Hasta adalah orang yang punya kesabaran tinggi.
Sebenarnya, Bunga juga suka membaca. Bedanya, Bunga lebih suka membaca novel dan cerita-cerita seperti biografi dan kisah hidup seseorang. Kisah-kisah inspiratif kerap jadi pelajaran berharga. Hidup memang jalan untuk berkaca. Masa lalu bukanlah kekelaman tapi pelajaran yang baik. Tergantung bagaimana sudut pandang manusia dalam menanggapinya.
Bunga langsung mengambil buku yang sekiranya menarik. Ia duduk di depan Hasta yang sedang membaca buku sains begitu serius. Dinginnya AC membuat tubuh Bunga reflek gemetaran. Hasta menyadarinya karena memang cukup mengganggu.
“Bung, duduk disini aja. Disitu dekat AC.”ajaknya ramah. Bunga yang bahagia langsung mengikuti. Ia duduk disamping Hasta dengan wajah sumringah. Sifat konyol Bunga tak terlihat di depan Hasta. Dia seakan berbeda saat bersama Hasta dan Tama. Saat jatuh cinta memang sangat unik. Sifat dan kelakuan bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat. Lucu bukan? Cinta itu tak terdefinisi. Cinta itu hanya bisa dirasakan tanpa bisa diukur derajat kepentingannya. Jika cinta sudah menjelma, maka prioritas bisa melebihi akal sehat. Logika tak ada harga dirinya jika disandingkan dengan cinta. Rasa yang menjadi-jadi bukan bualan semata. Pengorbanan adalah reaksi naluri dari mereka yang jatuh pada rasa itu.
“Has, boleh nanya?”
“Hah? Iya, mau nanya apa?”
“Sebenarnya tadi gue kurang ngerti sama pelajaran biologi kita. Boleh minta ajarin gak?”
“Ya udah, lo gak ngerti di bagian apa?”tanya Hasta sambil mengarahkan pandangannya pada Bunga. Mereka berdiskusi banyak hal. Selain pintar, Hasta juga pintar mengajari orang lain. Ia bisa jadi calon dosen jika ia mau. Satu yang Bunga tahu, ia semakin suka dengan Hasta. Segalanya tentang cowok itu membuatnya jatuh hati. Pertama kali bertemu di restoran itu, ya, Bunga ingat dengan jelas. Matanya tertuju pada Hasta. Hanya saja, Hasta tak melihatnya sedikitpun. Pertemuan yang awalnya terasa seperti cinta sesaat itu ternyata bisa bertemu dalam takdir yang membawanya.
“Ternyata lo pinter ngajar Has.”
“Emang iya?”
“Yups,,, lo gak sadar?”
“Engga sih.”
“Emangnya gak ada yang minta lo ajarin selama ini?”
“Gue gak terlalu dekat sama yang lain. Biasanya mereka minta diajarin sama Debby.”ucapnya. Debby punya track record yang baik di kelas 11 IPA 1. Hasta dan Debby terjebak dalam persaingan ketat selama ini. Mereka selalu berganti-ganti jadi juara 1 umum dan juara 1 kelas. Mereka tak terlalu dekat juga karena Hasta memang susah bergaul dengan orang lain.
“Kalau Tama sama Anin, boro-boro mau belajar. Mereka lebih memilih untuk tidak tahu daripada harus belajar.”lanjutnya sambil tertawa. “Eh, sorry ya. Jangan bilang pacar lo, entar gue ditabok.”
“Engga lah, tenang aja.”balas Bunga sambil tertawa.
Bel tanda masuk berbunyi. Sudah waktunya para siswa kembali ke kelas untuk mendengarkan materi dari guru. Tak lupa buku-buku yang mereka baca dikembalikan ke tempatnya semula. Ya, ini adalah bentuk tanggung jawab yang seyogyanya harus dilestarikan.
Setibanya di kelas, mereka malah mendapatkan keributan yang tak biasa. Adu mulut terdengar dari beberapa orang yang berdiskusi mengenai liburan akhir semester. Rupanya kegiatan itu sudah diumumkan oleh ketua kelas. Ketua kelas memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memberikan rekomendasi kemana mereka akan pergi. Beberapa orang memilih untuk pergi ke Singapura dan sisi lain ingin ke gunung atau perkemahan.
“Gue gak setuju ke Singapura. Lo kira biaya ke sana gak banyak?”seru Trisna tegas.
“Bukan soal itu Tris, ke singapura itu gak mahal kok.”
“Buat lo. Buat gue mah mahal.”lanjut Anin.
“Tapi kan,.,,,”
“Iya, gue maunya berkemah aja. Lebih dapat feel nya.”
Kericuhan ini segera ditangani oleh ketua kelas. Ia memerintahkan semuanya untuk tenang dan akan memberikan hak untuk melakukan vote. Keputusan akhir adalah hasil dari itu. Tak boleh ada yang membantah. Voting Pun dilakukan. Kubu yang memilih untuk pergi ke Singapura adalah Debby dan teman-temannya. As we know, mereka lahir dari keluarga kaya. Mereka tidak mengenal yang namanya pahit mencari sesuap nasi. Beberapa anak orang kaya lainnya memilih berkemah dengan alasan membantu teman yang tidak mampu. Selain itu, mereka juga lebih suka alam daripada gedung pencakar langit yang sebenarnya bisa dilihat dengan jelas di Jakarta. Rasanya mubazir pergi jauh-jauh sedangkan di Jakarta banyak tempat seperti itu.
“Sudah ya. Kita jadinya berkemah. Ini sudah fiks dan tidak dapat diganggu gugat.”seru ketua kelas. Beberapa orang bergembira dan ada sepasang mata yang menatap tajam. Debby menahan rasa kesal di dadanya. Rasanya sudah banyak kekalahan yang ia terima sejauh ini. Ia kesal tapi terungkapkan.
“Yash! Tos dulu dong.”seru Trisna sambil berbagi kemenangan dengan Gena dan Anin. Mereka dan pihak Debby seperti perang urat syaraf. Mereka tak bisa mengumumkan permusuhan tapi bertingkah sebagai musuh.
“Bisa-bisanya si Debby ngajak ke Singapura. Dia kira kita anak sultan apa.”ucap Gena kesal.
“Sebenarnya gue bingung sih, dia kayak nyari masalah gitu sama kita.”balas Trisna.
“Udah ah, gak usah ngomongin mereka. Kita fokus aja buat belanja nanti. Habis ujian yeah.”seru Anin. Anin sebenarnya merasakan hal yang sama. Alih-alih benci pada Trisna, Debby itu tidak suka pada dirinya. Atau bisa saja dia tidak suka Tama dan Hasta. Entahlah, belum ada yang bisa dipastikan.
Di sudut lain, Hasta malah sibuk belajar. Dia tak peduli dengan kegaduhan itu. Ia hanya perlu menerima hasil akhir tanpa peduli prosesnya. Ia tak terlalu antusias dengan liburan itu.
“Has, lo tadi jadi ke perpustakaan gak sih?”tanya Tama sambil memperhatikan keributan yang ada di depan kelas. Semua orang sedang sibuk membahas hal tentang liburan nanti.
“Jadi, kenapa emang?”
“Hmm, tadi lo disana lama?”
“Iya. Sampai bel masuk kelas.”
“Oh, gue kira kemana. Tadi gue kesana sama Anin. Kata Anin lo gak ada.”
“Hah? Masa sih? Jelas-jelas gue,,,,”
“Nih,”ucap Tama sambil meletakkan roti di meja Hasta. Roti kacang merah dengan toping keju. Itu adalah kesukaan Hasta yang pasti ia beli setiap hari.
“Baik banget deh. Lagi kerasukan apa?”
“Makan aja sih. Itu dibeliin Anin biar lo gak sakit perut.”
Hasta menoleh ke arah Anin yang cekakak cekikik di bangku belakang. Seketika ia mengucapkan terima kasih dalam hatinya. Hasta memang punya sakit maag karena lupa waktu. Sebanyak dia sakit maag karena telat makan, sebanyak itu juga Anin memberikan ceramah bak orang tua.
“Makasih loh Tam, kapan lagi gue dibeliin makanan secara sukarela.”
“Makanya, lain kali jangan ke perpustakaan terus. Harus makan dulu baru belajar lagi.”
“Iya deh, iya.”
“Oh ya Has, kapan pertandingan timnas?”
“Astaga, gue lupa.”
“Hah?”
“Mati deh gue, belum beresin jersey lagi.”keluh Hasta. Hasta masuk dalam anggota timnas sekolah untuk bertanding sepak bola dengan sekolah sebelah. Pertandingan persahabatan ini bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan.
“Gimana sih, kenapa jadi gue yang inget. Jelas-jelas gue gak main.”
“Tapi untung lo ingetin Tam. Gue masih bisa latihan beberapa hari ini.”
“Lo kan hebat. Tinggal nendang bola aja susah amat.”
“Heh, lo aja gak bisa main bola ya Tam. Ga usah sok ngajarin.”
“Iya sih, gue masih bingung harus jadi apa entar. Gak ada yang bisa gue kuasai di dunia ini.”
“Lo jual tampang aja. Pasti laku.”
“Sialan. b******k lo ya.”
“Hahaha.”
Tama merenungi apa yang ia ucapkan. Selain diberi gelar sebagai Si Ganteng Maut, ia tak punya keahlian apapun. Ia hanya tampan. Apakah ganteng bisa jadi solusi dalam segala hal? Tapi kan, ganteng tak bisa membeli makanan? Mau jadi seperti apa nanti Tama, ia cuma mengikuti alur saja. Jika dibandingkan dengan Hasta, dia bukanlah apa-apa. Hasta bisa segala hal. Apapun bisa dia lakukan.
Pengumuman singkat datang dari ketua kelas. Ia bilang guru yang akan mengajar tak bisa hadir dan terpaksa harus belajar sendiri. Tama memutuskan untuk pergi ke belakang kelas sekedar mencari udara segar. Ia kaget saat mendapati Bunga disana. Cewek itu sedang merokok dengan gaya bak cewek tidak benar. Bunga tersenyum disaat Tama kaget.
“Woy Tam….”
“Lo ngerokok?”tanya Tama setelah mencoba menyadarkan diri dengan keadaan itu. Ia duduk di samping Bunga. Cewek itu seakan tak peduli dengan kehadiran Tama.
“Iya. Mau?”
“Gak. Gue gak ngerokok.”
‘Hmm, boleh minta tolong gak?”
“Hah?”
“Tentang ini, jangan kasih tahu Hasta ya.”
“Wah, gila lo ya. Lo masih berniat ngincer dia?”
“Ya, siapa tahu ada kesempatan. Gue gak mau meninggalkan kesan buruk di mata dia. Dia pasti gak ngerokok kan?”
“Sejauh yang gue tahu sih engga.”
“I know it.”
“Lo lagi stres?”
“Enggalah. Kenapa emang?”
“Gue kira orang merokok gara-gara stres.”
“Hmm, awalnya sih iya. Tapi sekarang karena gue butuh aja.”
“Ohh..”
“Lo kenapa, kayak bad mood gitu?”
Tama menatap langit yang biru. Betapa jauh dan luasnya itu. Sebanyak itu juga keahlian dan bakat yang dimiliki oleh manusia. Tapi kenyataannya, ia tak punya bakat dibidang apapun. Ia hanya disematkan dengan berbagai ketidakmampuan.
“Lo punya bakat gak?”
“Pertanyaan apa itu? Ini nih bakat gue, ngerokok.”ledek Bunga sambil menghembuskan asap rokok ke wajah Tama. Cowok itu sampai batuk-batuk.
“Bukan itu, itu mah aib. Jawab serius dong Bung.”
“Hmm, gue pintar akademik.”
“Mulai halu lu ah.”balas Tama tak percaya.
“Terus kenapa lo nanyain itu?”
“Gue bingung menemukan bakat gue. Disaat orang-orang punya sejuta kemampuan tapi gue gak bisa apa-apa.”
“Hey dude, gak usah dipikirin. Entar juga mengalir apa adanya.”
“Ah, emang gak ada yang mengerti gue.”
“Sok mendramatisir banget ellah.”
“Lo tahu gak, gue gak bisa olahraga, naik sepeda, berenang. Bayangin!”
“Kenapa gak bisa? Pasti lo gak pernah belajar.”
“Hmm, iya.”
“Ini mah gampang. Gue ajarin lo deh. Sekalian buat memperkuat alibi.”
“Serius?”
“Iya. Tapi lo harus selalu siap bantuin gue kalau menyangkut Hasta. Gimana?”
“Oke.”
Bunga tersenyum. Bagi Bunga, Tama itu teman yang cukup menyenangkan. Dia gak suka nge judge dan konyol. Dia tak seperti cowok dewasa yang fokus pada cewek cantik. Dia seperti sedang mencari jati dirinya. Dia bukan cowok m***m yang hobby memacari cewek cantik di sekolah. Dia seperti anak yang tersesat dan butuh pengarah untuk menentukan jalannya.
“Ayo balik ah, entar dicariin sama temen lo.”ajak Bunga.
“Itu mulut gak mau abis ngerokok?”
“Gue punya penangkal dong.”balas Bunga sambil mengambil permen dan parfum dari kantongnya. Dua benda penting untuk menyembunyikan kelakuannya. Bahaya jika ada yang tahu apalagi guru. Itu benar-benar akan menghancurkan masa depannya di sekolah ini.
“Gak mau nyoba Tam?”tanyanya iseng.
“Gak ah, nyium baunya aja batuk gue.”
Saat mereka tiba di kelas, kegaduhan masih tetap terjadi. Berisik dan gaduh. Tama langsung ke tempat Anin. Ia mendapat hinaan dari Trisna dan Gena. Sedang Anin hanya tertawa melihat penghinaan itu. Mungkin ini bisa jadi balas dendam Anin atas keisengan Tama beberapa minggu yang lalu.