Pertandingan persahabatan diadakan di lapangan luas yang tak jauh dari sekolah. Pertandingan sengit ini akan jadi laga pembuktian untuk masing-masing sekolah. Anin membeli makanan untuk menemaninya menonton pertandingan itu. Ia hanya punya Trisna sebagai teman untuk menyaksikan pertandingan itu karena Gena harus pulang lebih awal. Ia punya jadwal yang tak bisa ditunda.
“An, gue lihat-lihat ya, Tama beneran pacaran deh sama Bunga.”ungkap Trisna. Dari awal Trisna tak pernah percaya kalau mereka pacaran. Berdasarkan pengamatan tak kasat mata, Trisna mengakui bahwa apa yang ia lihat di kantin waktu itu hanyalah kebohongan semata. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan ketulusan.
“Lo aja yang keras kepala. Mereka tuh beneran, soalnya udah sering keluar bareng kalau malam minggu.”
“Engga. Gue baru ngeh malah. Akhir-akhir ini mereka jadi makin dekat.”
“Ya, begitulah.”
“Lo gak cemburu?”
“Hah?”
“Sebagai teman yang tadinya kemana-mana bersama, eh sekarang dia sama orang baru.”
“Well, Trisna yang cantik, maybe gue ngerasa berbeda ya. Tapi kalau dia senang, kenapa gue harus sedih? Lagian, gue masih punya lo. Masih punya Gena sama Hasta. I think its fine.”
Trisna hanya mengangguk sebagai reaksi natural dari pernyataan Anin. Mereka berjalan menyusuri beberapa gedung sekolah untuk sampai di lapangan Dinasti. Lapangan Dinasti punya sejarah yang sangat berarti. Lapangan itu sudah berumur panjang. Tempat yang katanya pernah jadi saksi sejarah dalam penjajahan belanda. Walaupun tidak terlalu luas, lapangan itu jadi tempat diadakannya pertandingan antar warga dan juga sekolah-sekolah terdekat.
Tempat itu tampak ramai dengan banyak manusia. Tak hanya dari murid sekolah yang bertanding. Beberapa siswa SMP hingga SD juga terlihat tertarik untuk menyaksikan pertandingan itu. Biasanya perempuan yang berniat kesana memiliki tujuan untuk cuci mata. Cowok-cowok yang berkeringat dan punya aura luar biasa. Ketampanan mereka meningkat drastis.
Anin dan Trisna mencari tempat paling teduh demi kenyamanan sendiri. Satu-satunya tempat paling teduh sudah diambil oleh para pemain. Dan dengan percaya dirinya, mereka duduk di dekat tumpukan tas yang berserak. Hasta ada disana dan baru saja selesai ganti baju. Cowok itu mengecek jam di tangannya. Ia berharap pertandingan ini bisa cepat usai. Ia harus mengerjakan beberapa topik pelajaran.
“Hey An, nitip ya. “Ucapnya sambil melempar jaket miliknya. “Gue takut entar kecampur sama tas anak lain.”lanjutnya.
“Tapi harus menang ya Has. Biar gak malu sama sekolah lain.”teriak Anin.
“Makanya doa-in.”
“Iya. Good luck!”
Pertandingan dimulai tak lama setelahnya. Para pendukung meramaikan tempat itu dengan support yang luar biasa. Sedang Anin dan Trisna hanya fokus pada makanan yang mereka bawa sambil tertawa karena candaan yang datang tiba-tiba. Saat segalanya tampak menyenangkan, Trisna harus pulang karena mendapat telepon dari orang rumah. Dari awal cewek itu sudah mewanti-wanti harus pulang lebih awal.
“Sorry ya An, gue harus balik karena ada urusan di rumah.”
“Santai Tris. Gue nunggu Hasta kelar dulu deh.”
“Ya udah, see you tomorrow.”
Trisna meninggalkan tempat itu. Anin berusaha fokus pada pertandingan itu. Walau sebenarnya ia tak terlalu paham dengan apa yang terjadi disana. Tiba-tiba saja seseorang datang dan membuatnya kaget. Orang yang sering ia bicarakan dengan Trisna dan Gena. Dia adalah Debby, cewek yang seakan membuat tembok permusuhan dengannya.
“Hey Anin.”sapanya sambil duduk di samping Anin. Satu kata yang mendeskripsikan kondisi Anin, ia gak nyaman.
“Oh, haii.”
“Dukung siapa?”
“Hah? Ya, tentu saja sekolah kita.”
“Gue sih nggak. Sekolah kita banyakan orang gak bener. Suka menyakiti hati orang dan gak berperasaan.”
“Maksud lo siapa?”
Belum sempat Debby menjawab, ia sudah bergegas hendak pergi. Rupanya ia sadar bahwa Tama datang ke tempat itu.
“Udah ya, gue balik. Ditunggu teman-teman gue.”ucapnya sambil melipir dan bahkan ia tak sempat menjawab pertanyaan Anin. Tama dengan kegaduhannya langsung duduk disamping Anin. Entah dari mana cowok itu datang. Sedari awal, Anin belum melihat batang hidungnya. Dan kini ia muncul tiba-tiba.
“Loh, kenapa tu orang pergi?”
“Gara-gara lo.”
“Emang gue kenapa?”
“Gak tahu ah. Lo dari mana Tam?”
“Hmm, habis pacaran.”
“Terus pacar lo mana?”
“Itu.”ucap Tama sambil menunjuk ke arah Bunga yang sedang duduk bak ratu sejagat. Dia dikelilingi oleh cowok-cowok anak STM. Seakan ia punya geng yang tak lekang oleh waktu. Saat ia tak punya teman dekat di sekolah, ia punya banyak relasi di sekolah lain. Lucu dan menarik.
“Lo gak cemburu?”
“Kenapa harus cemburu?”
“Dia itu sama cowok-cowok Tam. Entar lo ditikung sama mereka.”
“Hahaha, dalam berpacaran itu, harus ada asas kepercayaan. Dan harus dikurangi persepsi curigaan.”seru Tama dengan raut wajah yang diatur sedemikian rupa. Ia geli sendiri dengan perkataannya. Pasalnya, ia tak pernah menganggap Bunga sebagai pacar yang sebenarnya. Dihadapkan pada pertanyaan dari Anin, ia berusaha mencari kata bijak yang mungkin bisa diucapkan.
“Iya sih, tapi emang lo rada gak normal sih Tam.”
“Lah, kok gitu?”
“Lo gak kelihatan bernafsu.”
“Parah, otak lo m***m fiks.”
“Eh, tunggu dulu dong. Bernafsu dalam arti berkeinginan penuh untuk mengontrol Bunga.”
“Hey, pacaran gak sekaku itu An.”
“Iya juga sih.”
Gol pertama untuk sekolah Anin berhasil meriahkan suasana. Teriakan keras dari para penggemar meningkatkan percaya diri para pemain. Seakan berada di atas awan, namun mereka harus tetap menjaga konsistensi agar angka itu tetap sama atau bahkan bertambah. Dan jangan sampai musuh punya kesempatan untuk menyamakan kedudukan bahkan memimpin.
“Oh ya Tam, lo ada apa sih sama Kak Winda?”tanya Anin saat ingat kejadian beberapa hari lalu. Bahkan ia lupa untuk mengingatkan Tama tentang apa yang Winda bilang. Ingatan jangka pendeknya memang cukup merisaukan.
Dalam diamnya, Tama berpikir keras. “Ah, itu tuh masalah pribadi.”
“Sok banget sih, kasih tahu atau gue bunuh?”
“Anjir, gue kasih tau nya nanti ya. Jangan sekarang, entar Kak Winda marahin gue.”
“Ish, menyebalkan.”
“Entar lo pasti tahu.”
“Gue mau nya sekarang Tam.”
“Entar aja sih bawel.”
Anin terlihat kesal dan tak menggubris Tama. Tetap saja, keusilan Tama yang sudah sarjana tak bisa diragukan. Ia menggoda Anin dengan berbagai lawakan dan tingkah. Anin tak bisa menahan diri dan harus rela menjemput harga dirinya yang rendah itu. Ia tak bisa marah pada Tama. Entahlah, untuk marah itu butuh keberanian. Harus berani mengambil resiko terburuk. Bisa saja hubungannya jadi hancur. Kadang ia heran dengan orang yang bisa punya banyak musuh, sungguh orang itu sangat berani.
Dalam suasana yang menegangkan dan dramatis, sekolah mereka berhasil menang dengan skor 1-0. Skor yang dari awal tidak bergerak itu cukup membuat frustasi para pemain dari sekolah lawan. Saat sudah semakin sore, pertandingan berakhir dengan kemenangan. Hasta yang penuh dengan keringat dan lelah duduk disamping Anin. Kini Anin berada di antara dua cowok itu.
“Minum nih.”tawarnya sambil memberikan satu botol air mineral untuk Hasta. Cowok itu langsung meraih minuman itu dan meneguknya dengan cepat. Rasa lelah yang sulit diungkapkan itu terlihat jelas.
“Lo keren banget Has.”puji Anin sambil memberikan dua jempolnya.
“Jelas dong. Emangnya Tama.”
“Woah, gue dibawa-bawa. Tapi lo keren sih, lo udah bisa masuk timnas Indonesia.”ungkap Tama.
“Gak gitu juga. Itu kejauhan Tam.”balas Hasta sambil tertawa.
Matahari mulai berjalan menuju sudut yang tak terlihat. Ia ingin memberi pesan bahwa sudah saatnya malam tiba. Suasana senja dimana langit berwarna orange cukup membuat mata terkesima. Rasanya ingin berlama-lama duduk sambil memandangnya. Indah itu memang abstrak. Hal terkecil saja bisa mengindahkan dunia. Betapa manusia kadang tidak bersyukur. Padahal, tiap rasa yang muncul itu sudah jadi salah satu bentuk keindahan. Coba dibayangkan, jika tak ada yang bisa dirasakan. Bukankah hambar dan membosankan? Rasa pahit, asam dan manis. Semua itu bentuk keindahan dan rasa syukur. Ia tercipta untuk memberikan warna dalam hidup. Sama seperti perbedaan. Perbedaan bukan penghancur tapi pemersatu. Ia ada untuk mewarnai hidup manusia yang seharusnya memang penuh lika liku.