8 - Bohong

2005 Kata
Hasta tiba di rumah cukup malam. Ia sangat kelelahan karena pertandingan tadi. Ia berniat hendak mandi dan langsung tidur. Tadinya ia ingin belajar dulu, tapi tak ada tenaga lagi untuk melakukan itu. Ia sampai dengan suasana yang berbeda. Rupanya bapaknya tiba di rumah. Orang tua itu sangat jarang di rumah. Pradipto Brata Raja, komandan kepolisian yang sibuk menghabiskan waktu di luar rumah. Ia sering lupa kalau punya istri dan anak. Parahnya lagi, istrinya juga sibuk menghabiskan waktu di rumah sakit. Betapa kuat Hasta menjalani hidup hanya dengan pembantu. “Nak, kenapa pulang larut? Bapak sama ibu udah nungguin tuh.” “Astaga, aku ada pertandingan tadi bi. Memang mereka sudah lama datangnya?” “Iya. Bibi juga heran. Udah sana, kamu masuk.”seru Bi Ajeng.  Hasta langsung masuk rumah. Ia mendapati kedua orang tuanya sedang menunggu. Mereka tak berubah dan terus berfokus pada ponselnya masing-masing. Entah apa yang membuat kedua orang tua itu sangat sibuk dengan dunianya. Ia langsung duduk tanpa menyapa. Ia menunggu sampai ada yang sadar bahwa ada dia. “Hasta, kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang?”tanya mama sambil memberikan senyuman termanisnya. “Aku ada pertandingan ma.” “Pertandingan apa? Kamu gak usah ikut-ikutan olahraga kayak gitu. Kamu fokus belajar biar bisa jadi dokter.”seru papanya. Sifat otoriter Pradipto memang diikuti oleh profesinya. Ia selalu menganggap bahwa ekstrakulikuler itu gak ada artinya. Akademik adalah yang paling utama. Meskipun Hasta pinta dalam bidang akademik, dia juga ingin mencoba banyak hal. Masa muda yang datang cuma satu kali sebaiknya dihabiskan dengan mencoba berbagai hal. Kalau sudah tua, tak ada lagi kesempatan untuk mencoba semua itu.  “Jangan gitu pa, Hasta juga butuh olahraga. Yang penting jangan mengganggu jam belajar.” “Tumben pulang cepat?”tanya Hasta tak peduli. “Ah ya, papa mau ngasih tahu. Minggu depan ada acara di hotel Gerar. Kamu harus meluangkan waktumu ya. Kita mau kesana.” “Aku sibuk pa.” “Sibuk apa sih? Pokoknya hari sabtu minggu depan. Papa harus bikin tampilan yang baik di depan atasan papa. Acaranya gak lama kok.” “Hmm, ya udah.” “Gimana sekolah tadi?”tanya mama perhatian. “Gak penting juga buat mama. Aku ke kamar dulu.”balas Hasta cuek. Bagi Hasta, mamanya itu sangat egois. Ia hanya sibuk dengan dunianya. Ia lebih parah dari papanya. Ya, papanya masih peduli meskipun kadang menghilang. Kecemburuan adalah alasannya. Ia selalu cemburu dengan pasien mamanya yang diperhatikan dengan baik. Ia benci dengan itu. Terkadang muncul angan-angan, andai mamanya tidak usah bekerja. Hasta memang kurang kasih sayang orang tua. Ia duduk di kamar sambil melihat grup kelas yang mungkin lebih menghibur daripada kisah hidupnya. Saat kesedihan itu memuncak, tiba-tiba saja ada video call dari Tama dan Anin. Hasta langsung menerimanya. “Woy Has, lagi apa lo?”tanya Tama sambil ngaca di layar ponselnya. Hasta terkekeh melihat tingkah konyol itu. Ia jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Tama. Cowok itu konyol dan banyak bicara. Dia bodoh tapi baik. Ia tak suka menghakimi dan cenderung memahami jalan hidup orang lain. Tama itu sosok yang humoris.  Waktu itu, saat Hasta sedang piket sepulang sekolah. Tama menatap kertas ujiannya dalam diam. Hasil ujian yang dibagikan itu sangat menampar Tama. Kebodohan yang ia punya seakan terlihat jelas. Ia tak bisa menangis tapi hanya menatap nanar kertas itu. Hasta yang merasa terganggu, terpaksa menyuruh Tama pergi. Setidaknya cowok itu keluar kelas agar Hasta bisa mengerjakan tugasnya membersihkan ruangan kelas. “Lo pergi deh.” “Bisa gak, bisa gak lima belas menit aja. Gue harus merenungi apa yang gue lakukan ini.”ucap Tama tegas. Namun, dalam ketegasan itu ada kesedihan. “Makanya belajar biar gak bodoh.”balas Hasta. “Gue gak bisa belajar bro. Harusnya gue gak dilahirkan ke dunia ini.” “Dasar bodoh.” “Tapi gue masih punya kebahagiaan. Setidaknya gue gak jadi orang termalang. Iya gak?”ucapnya tiba-tiba. Kini ia ceria seakan tak ada yang terjadi. Hasta sampai bingung. “Gue bantuin lo beresin kelas deh. Oh ya, gue Tama.” “Ah, Hasta.” “Kalau beres-beres itu ajak teman lah. Jangan sendirian. Entar lo didatengin hantu sekolah.” Hari itu jadi kesan pertama yang menyenangkan. Ia dan Tama pulang bersama. Tama tak sama seperti orang lain. Tama berteman bukan karena tujuan lain, ia hanya ingin berteman dengan tulus. Saat mereka hendak keluar pintu gerbang, ada Anin yang menunggu Tama dengan wajah sangar. Kesan pertama Hasta terhadap Anin, Anin adalah cewek biasa yang menyeramkan. Rambut keriting, baju usang, pendek dan ekspresi menyeramkan. “Mati gue.”seru Tama. “Dia siapa?” “Dia kayak emak-emak cerewet.”ucapnya. Mereka sampai di dekat Anin yang masih kelihatan murka. Cewek itu seperti lagi PMS. “Lama banget sih. Lo lagi ngapain? Emangnya nungguin lo doang gampang?” “Ya maaf.” “Dia siapa?” “Teman gue. Hey Hasta, ini namanya Anin. Teman terbaik yang kumiliki.”ucapnya. Hasta sampai bingung. Tama itu bermuka dua. Bisa-bisanya dia berubah saat di hadapan Anin. Sepertinya dia agak takut dengan Anin. “Hai, aku Anin.”ucapnya lembut. Dia tersenyum manis. Tak seperti ekspresi awalnya, sekarang ia menunjukkan ketulusan dalam senyumannya. “Jadi kenapa lo lama?” “Nilai gue jelek An. Gue sedih banget.” “Astaga, nilai doang. Nilai gue lebih jelek juga biasa. Yang penting lulus Tam.” “Masalahnya ini gak melewati standar.” “Ya udah, entar belajar aja. Setidaknya gak remedial. Don’t worry.”lanjutnya.  Baru kali ini Hasta melihat yang demikian. Dua orang yang saling menyemangati meskipun sama-sama tak ahli dibidangnya. Mereka saling memiliki dan tentu saja ada kebahagiaan disana. Pertemuan pertama itu jadi pondasi yang menetapkan bahwa pertemanan mereka berkembang cukup pesat. Mereka jadi semakin dekat lebih dari saudara kandung. “Seperti biasa Tam, stay di kamar mau istirahat.”jawab Hasta atas pertanyaan Tama barusan. “Anin dimana?” “Hey, gue disini.”jawab Anin sambil menunjukkan wajahnya di layar. Dia tampak sedang mengeringkan rambutnya. Rambut keriting dan mengembang yang selama ini menghancurkan tatanan wajahnya. Dan saat rambut itu menjuntai dan tak mengembang, wajahnya terlihat sangat cantik. Wajahnya yang manis dan cantik. Melihatnya, Tama dan Hasta sampai salah tingkah. Bukan hal biasa melihat wajah Anin secantik itu.  “Kenapa lo pada?”tanyanya saat melihat kedua cowok itu tak membalas sapaannya. “Ah, eng,,engga.” “Iya, ga apa-apa kok.” “Dasar aneh.” “Oh ya, pada mau main gak entar hari sabtu. Nonton bioskop.”ajak Hasta.  Sesaat Tama langsung teringat pada janjinya dengan Bunga. Bunga akan mulai mengajarkan beberapa hal yang tak bisa ia lakukan. Jika ia berhasil, ia ingin mengajari Anin. Tama dan Anin memiliki banyak kesamaan. Wajar saja, mereka hidup dalam lingkungan yang sama dan sudah saling kenal sejak kecil. “Gue gak bisa.”ucap Tama. “Kenapa?” “Gue ada janji sama Bunga.” “Cie, mentang-mentang.”seru Hasta. “Namanya juga pacaran bro.”seru Tama sok asik.  Anin berpikir sedemikian rupa. Kejujuran adalah yang utama. Apakah ia harus mengungkapkan apa yang mengganjal di hatinya? Apa yang ia lihat selama ini. Ia tak boleh berdusta di depan sahabatnya itu. “Hmm, lo gak ngerasa aneh Tam?”tanya Anin serius. Keseriusan itu membuat Tama sedikit terusik. Mungkinkah Anin tahu tentang apa yang ia lakukan? Kebohongan yang dirancang dengan baik itu. “Aneh apa?” “Kalau lo Has?”tanyanya lagi. Kali ini pada Hasta. Anin hanya ingin jujur mengenai apa yang ia rasakan. Tak lebih dan tak kurang. “Entahlah, gue gak ngerti maksud lo.” “Jadi gini,,,,”seru Anin. Tama sampai keringat dingin. “Kayaknya Bunga sukanya sama lo Has. Bukan sama Tama.” Saat mendengar ucapan itu, Hasta langsung batuk. Pernyataan gak berdasar itu sungguh mengagetkannya. Disisi lain, Tama berdesis. Ucapan Anin itu benar seribu persen. Namun, keadaan memaksa Tama harus berbohong. Ia tak mungkin membongkar semuanya padahal masih baru dimulai. Apalagi ia ada janji penting dengan Bunga. “Bisa-bisanya pikiran lo ngaco.”ucap Hasta tak terima. “Lo inget gak Tam, waktu di perpustakaan yang kita mau nyusul Hasta? Gue tuh lihat sendiri gimana ekspresi Bunga disana. Beda banget waktu dia sama lo.”ucap Anin menjelaskan. “Terlebih gue gak mau lo berantem gara-gara Bunga. Masa persahabatan hancur gara-gara orang lain.”lanjutnya. Dalam hatinya, Tama tertawa. Bagaimana bisa pikiran Anin sejauh itu. Rasanya ia ingin pengakuan dosa segera. Antara miris atau merasa bersalah.  “Dasar Anin k*****t. Kalau dia suka sama gue, kenapa dia nerima cintanya Tama?”ucap Hasta. “Ya, aku gak tahu sih.” “Udah deh. Stop berasumsi. Bunga sama gue itu beneran pacaran. Dan yang namanya pacaran, kita gak tahu masa depan. Dan gue gak bakal berantem gara-gara cewek. Ngerti gak An?”seru Tama. “Iya Tam. Gue cuma takut kalian perang saudara.” Malam itu cukup lama mereka membicarakan banyak hal. Hingga rasa kantuk datang, video call itu berakhir. Rasanya menyenangkan menghabiskan waktu dengan orang yang kita sayang. Waktu itu akan terasa singkat. Begitulah dunia dirancang. Anin segera berkemas untuk tidur. Niatnya itu hilang saat Winda datang. Ia duduk di kasur Anin. “Dek, pilih mana yang bagus.”ucapnya sambil menunjukkan dress di salah satu e-commerce. Anin melihat dua buah dress yang terlihat disana. “Kakak ada acara apa beli dress?” “Ada reuni sama teman SMA hari minggu ini.” “Seangkatan kakak?” “Yoai, mantanmu juga pasti ikut. Cowok b******k itu pengen kutabok lagi.” Mantan pacar Anin adalah manusia terjahat yang ia tahu. Cowok yang menghinanya diam-diam. Cowok itu membuat Winda murka dan bermasalah sampai ke kantor BK. Ia menghina Anin secara fisik. Padahal cowok itu tak lebih tampan dari manusia pada umumnya. Dia hanya cowok b******k yang kebetulan diberi nafas oleh Tuhan. “Jadi bagus yang mana?”tanya Winda lagi. “Aku suka yang kuning.” “Okey, berarti gue beli yang pink.” “Kurang ajar lo kak. Kalau mau minta pendapat yang bener dong. Ini malah milih yang gak gue pilih.” Winda beranjak dan hendak meninggalkannya, “Aku tahu seleramu jelek An.”lanjutnya sambil tertawa. Rasanya memang menyebalkan digituin. Siapa yang tidak kesal coba. Saat Winda pergi, Anin sedikit kepikiran. Harusnya ia mengubah diri? Ia berdiri di depan cermin. Ia memperhatikan setiap sudut tubuhnya. Sebenarnya badannya proporsional.  Satu-satunya yang buruk dari tampilannya adalah rambut yang mengembang dan keriting. Wajahnya sih tidak ada masalah serius.  “Apa aku coba pakai make up ya?”batinnya.  Di jaman sekarang ini sudah jarang cewek yang tidak pakai make up. Make up bertransformasi jadi kebutuhan primer. Tanpa make up banyak orang yang tak percaya diri di depan umum. Anin teringat pada mantannya itu. Betapa jahat ucapannya dulu. Dia bahkan tega menyebut Anin sebagai salah satu cewek jelek di sekolah itu.  Akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi Gena. Ia mengirim pesan w******p untuk menanyakan pendapatnya secara jujur. Anin : Gena, gue mau nanya. Gena : Apa Anindya? Anin : Menurut lo, rambut gue jelek gak? Gena : Anjir, kenapa pertanyaan lo absurd banget sih? Anin : Jawab aja, tapi harus jujur. HARUS JUJUR. Gena : Hmm, gak jelek kok An. Cuman kayaknya itu rambut perlu diatur biar lebih rapi.  Anin : Oh gitu ya.. Gena : Gak ada rambut yang jelek An. Tinggal bagaimana kita menerima segala yang ada pada kita. Kalau lo mau rebonding, kayaknya itu pilihan bagus. Siapa tahu lo jadi saingannya Bunga. Hahaha. Menurut gue lo bisa jadi saingannya dia. Anin merebahkan dirinya di tempat tidur. Ia tak akan pernah insecure jika bukan karena orang lain. Persepsi orang yang selalu menstandarisasi suatu hal memang memuakkan. Padahal manusia bisa saling bangga dengan keunikan masing-masing. Tapi standar seakan membunuh keunikan itu. Setiap orang diharapkan untuk mengikuti arus. Cewek cantik itu harus berkulit putih, langsing, berambut lurus, glowing dan sebagainya. Jika benar demikian, kenapa Tuhan tega menciptakan manusia dengan berbagai tampilan? Anin menutup wajahnya dengan selimut. Berusaha untuk tidak overthinking terhadap segala sesuatu. Seketika ia memikirkan Tama. Cowok itu tampak biasa saja saat ia mengatakan bahwa Bunga suka pada Hasta. Bukankah seharusnya dia waspada? Ya, meskipun Hasta tak mungkin berkhianat. Sungguh rumit segala sesuatu yang ada di dunia ini. Dinginnya malam mengakhiri overthinking itu. Raga akan istirahat sejenak sebelum waktu mengakhirinya lagi. Malam identik dengan ketenangan. Saat malam tiba, hati akan merasa tenang dan menikmati indahnya tidur. Saat-saat itu akan memulihkan energi sehat. Jiwa yang penuh kekhawatiran bisa sejenak tenang. Bersyukurlah masih bisa menikmati saat-saat itu. Mata yang masih bisa terlelap dan bangun sesuai waktunya. Dan kadang berat rasanya membuka mata karena masih ngantuk. Ah, semua itu adalah hidup yang menyenangkan. Walau sebenarnya tak banyak yang mau mengakuinya. Apa jadinya jika insomnia menyerang? Rindu. Ya, rindu akan waktu-waktu sederhana yang pernah terjadi.  Anin terlelap dalam pikiran penuh pertanyaan. Ia terlalu memikirkan orang lain disaat dirinya perlu perhatian lebih banyak. Tapi percayalah, sebanyak kita memikirkan orang lain, sebanyak itu juga seseorang memikirkan kita. Tanpa kita sadari, hidup ini dirancang dengan keseimbangan yang cukup baik. Pepatah yang mengatakan bahwa dunia ini tidak adil itu salah. Dunia ini sangat adil bagi mereka yang ingat untuk bersyukur. Dunia ini sangat adil bagi orang-orang yang mengenal bahagia, sedih, sakit dan sehat. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN