Tama tiba di lokasi yang dikirimkan Bunga tadi siang. Sebuah area perumahan elit yang penuh dengan rumah-rumah besar. Dari awal Tama sudah tahu kalau cewek itu memang kaya, tapi ia tidak menyangka sekaya ini. Diantara rumah yang berjejer di sana, tak ada satupun rumah yang sesuai perkiraan Tama. Sedang ia hanya mengenakan setelan murah dengan motor honda punya orang tuanya.
“Ah, gue kesini cuma buat diajarin.”batinnya dalam hati. Ia menekan bel di gerbang depan dan pintu langsung terbuka lebar. Detik itu juga Tama langsung kagum pada kekayaan Bunga. Ia dipersilahkan masuk oleh seseorang dan menunggu di ruang tamu. Tama sibuk mengamati sekitar hingga matanya tertuju pada foto yang ada disana. Foto keluarga dimana Bunga jadi satu-satunya anak di tengah kedua orang tuanya. Foto yang dikenal Tama dengan jelas karena bapak-bapak berjas itu sering muncul di televisi.
“Ngeliatin apa?”
Sebuah kalimat yang membuat Tama kaget. Ia sedang terciduk meneliti foto keluarga itu. Siapa sangka, Bunga lebih kaya daripada yang ia pikirkan.
“Ga apa-apa kok.”
“Lo pasti kaget. Atau lo punya dendam sama bokap gue?”tanyanya.
Komisaris kepolisian Republik Indonesia, gelar yang melekat pada sosok lelaki itu. Jika banyak yang membenci bapaknya, Bunga benar-benar mengerti akan hal itu. Wajar dan sangat lumrah. Polisi adalah sosok yang sering jadi musuh masyarakat. Ada banyak hal yang membuat itu terjadi. Dan sangat sulit bagi polisi jaman sekarang untuk mengubah citra buruk itu.
“Gue cuma kaget kok. Ngapain gue punya dendam sama bokap lo? Gue aja cuma remahan rengginang.”
“Sok asik banget.”
“Tapi kenapa gak pernah bilang kalau lo anak pejabat?”
“Emangnya penting?”
“Entahlah. Tergantung sih.”
“Sudah banyak sekolah yang gue jalanin. Hampir semua sekolah swasta di Jakarta pernah gue tempatin. Jelas gampang karena bokap gue orang penting. Gue akhirnya berniat masuk sekolah negeri, tapi gue nyuruh bokap buat ngerahasian latar belakang gue.”
“Emang bisa? Terus guru-guru taunya bokap lo kerja apa?”
“Pengusaha kaya. Setidaknya kalau gue bawa barang bermerk, teman-teman gak curiga.”
“Hmm, I see.”
“Lo udah makan?”
“Udah. Tapi kalau mau ditraktir juga gapapa.”
“Ye, pede banget. Gue cuma takut lo pingsan. Gue kalau ngajarin orang cukup otoriter.”
Tama terkekeh. Takdir membawanya pada tempat itu. Kapan lagi bisa nongkrong di rumah orang kaya. Kekagetan Tama tak cukup sampai disitu. Mereka dibawa ke sebuah lapangan luas yang masih berada dalam area rumah Bunga. Ada dua sepeda yang sedang parkir di sana. Tama sibuk melihat merk sepeda itu. Dan saat ia cari harga di browser, ia hanya bisa geleng-geleng kepala. Apalagi sepeda itu diberikan kepadanya, ia akan menjualnya untuk membantu perekonomian keluarganya.
“Aneh sih lo, bawa motor bisa. Tapi sepeda gak bisa.”keluh Bunga.
Tak berapa lama, Tama sudah bisa membawa sepeda dengan baik. Sesuai prediksi, dia hanya tak pernah diajari dan sudah menyerah sebelum mencoba.
“Oke, cita-cita gue bertambah satu.”
“Apa?”
“Beli sepeda murah buat gue pakai jalan-jalan.”
Bunga tertawa. “Sekarang lo belajar renang.”lanjutnya.
“Istirahat dulu dong. Gue capek.”
“Cemen banget. Pantes lo gak bisa main sepak bola. Udah buru.”
Tama mengikuti Bunga menuju ke tempat lain. Rasa kagum Tama tak henti-hentinya datang. Kolam renang itu sangat besar dan bersih. Ia langsung berganti pakaian dan mengikuti arahan Bunga. Langkah-langkah penting untuk pemula dalam belajar berenang. Pernafasan dan gaya yang tepat. Tama latihan untuk waktu yang lama. Setidaknya ia bisa mengambang di atas air. Itu sudah sebuah peningkatan. Hari itu juga, Tama merasa bahwa berenang dan naik sepeda tak sesulit yang ia bayangkan selama ini. Dan setelah mencoba, ia merasa bahagia.
“Gila, makasih banget ya Bunga. Satu hari aja, gue udah bisa banyak hal.”
“Anytime. Lo harusnya sadar, kalau bakat itu bisa muncul kalau lo rajin.”
“Iya sih. Gue cuma iri aja sama orang yang punya ambisi. Sedangkan gue cuma berambisi tidur dan main.”
“Mau sekalian makan gak? Mumpung gratis.”
“Gak usah. Gue ada janji besok. Belum prepare macem-macem.”seru Tama saat sadar besok ia ada janji. Ia langsung berkemas untuk pulang. “Makasih ya Bung. Lain kali kalau butuh bantuan, call me.”
Tama bergegas untuk kembali. Hari semakin larut. Ia mendapat banyak pesan dari Anin. Cewek itu sangat hiperaktif. Apalagi Tama tak mau berbagi cerita tentang hari ini. Ia hanya bilang mau pacaran. Cewek itu sangat tidak sabaran.
“Halo An..”
“Lo dimana sih?”
“Ini mau balik An.”
“Buruan.”
“Emang kenapa?”
“Ga apa-apa sih. Gue cuma mau nanya sesuatu. Lo ada janji apa sama Kak Winda?”
“Astaga, lo tanya Kak Winda aja ya.”
“Ish, menyebalkan. Udahlah bye.”
“Eh An, tunggu dulu.”
“Kenapa lagi?”
“Ga jadi deh.”
“Dasar. Ya udah hati-hati di jalan.”
Telepon dimatikan. Tama kembali fokus pada jalanan malam itu. Cahaya lampu jalan menghiasi jalanan itu. Beberapa muda-mudi tampak sedang menikmati malam yang penuh dengan bintang itu. Hawa dingin menyergap pori-pori tubuh. Walaupun terkesan panas, kota Jakarta tetap saja terasa dingin jika melawan arah angin dengan motor butut. Saat tiba di komplek rumah, ia berhenti di sebuah warung. Di sana ada Anin yang sedang membeli ice cream. Saat hendak pergi, cewek itu melihat Tama yang sedang tersenyum padanya.
“Tama, kenapa gak manggil sih?”
“Abis lo beres aja. Ayo naik. Daripada jalan kaki.”
“Tunggu bentar.”ucapnya dan kembali ke warung. Ia hendak membeli sesuatu lagi. Dan saat kembali, ditangannya ada ice cream rasa vanilla kesukaan Tama.
“Gue ditraktir nih?”
“Kagak, ini utang. Kapan-kapan lo bayar.”ucapnya dan langsung naik. Motor itu melaju lambat karena berada di area perumahan. Banyak anak kecil dan orang tua yang nongkrong di depan rumahnya masing-masing.
“Jadi, lo ngedate sampai semalam ini? Benar-benar bucin.”komentar Anin saat motor itu sedang dimasukkan ke dalam basement rumah Tama.
“Sebenarnya gue sekalian belajar renang.”
“Siapa yang ngajarin?”
“Bunga.”
“Gila, fiks sih Tam. Bunga itu cewek yang lo cari selama ini.”seru Anin. Sudah beberapa kali Tama berhadapan dengan beberapa cewek. Cewek yang mendekatinya cenderung suka Tama hanya karena popularitasnya. Ya, Si Ganteng Maut yang sering dibicarakan di sekolah. Setelah mengenal lebih dalam, mereka cenderung ilfeel dengan sosok Tama. Apalagi Tama bukanlah orang yang menyembunyikan ekspresinya. Dia cenderung blak-blakan tentang apapun itu. Anin sangat heran dengan sikap Bunga. Cewek secantik Bunga sampai rela mengajari Tama berenang. Aneh tapi nyata.
“Jalanin aja dulu An. Sejauh ini sih, dia masih mau nerima gue.”balas Tama. Apa yang dia katakan itu hanya dusta semata. Dari awal hubungan itu memang bukan untuk memadu kasih. Dari awal hubungan itu hanya kepura-puraan semata. Dan kini, Tama hanya bisa menganggap Bunga sebagai sahabat.
Ia menatap Anin yang sibuk menikmati ice cream di tangannya. Cewek itu belepotan dengan cream yang menempel dimana-mana. Ia semakin sadar bahwa perasaannya memang hanya tertuju pada cewek itu. Rasa cinta yang ia miliki hanya untuk Anindya, cewek yang jadi sahabatnya selama ini. Namun, tangannya tak cukup panjang untuk menggapai. Nyalinya tak cukup berani untung mengambil resiko. Ia mengambil sisa ice cream di tangannya dan memakannya sebagai suapan terakhir. Ia menatap langit yang gelap. Semoga masa depanku tak segelap itu.