10 - Reunian

1559 Kata
Anin keluar dari kamarnya dengan tampilan lusuh. Ia menggaruk hidungnya yang gatal. Ia melihat Winda yang sudah rapi dengan setelan dress yang ia beli minggu lalu. Winda memoles wajahnya dengan peralatan make up yang ia beli mahal. Bagi Winda, menghabiskan uang untuk benda itu adalah kebutuhan primer. Sebaliknya, bagi Anin, itu hanya menghambur-hamburkan uang. Logika Anin bergejolak. Andai di dunia ini tidak ada benda itu, apakah Kak Winda akan mati? “Baru bangun?” “Hm,..” “Anak gadis bangunnya kayak preman aja. Muka lo udah kayak gak dirawat ribuan tahun An.” “Kakak jadi reunian?” Winda mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari cermin. Kali ini dia sedang memasang bulu mata palsu untuk melengkapi tampilannya yang membahana badai. Rambut dicurly menggunakan catokan mempercantik penampilannya. Bagi Winda, tampilan adalah nomor satu. Kesempurnaan memang milik Tuhan semata, tapi manusia bisa menyempurnakan dirinya dengan segala yang ada di dunia ini.  “Gak insecure?” “Kenapa harus?” “Kakak gak punya pasangan.”ucap Anin polos. Jelas ia menanyakan hal itu karena Winda sering curhat tentang bagaimana menghadapi teman lama jika kondisinya tak sesuai yang diharapkan. Terkadang, reuni yang seharusnya digunakan untuk membahas kisah di masa lalu malah berganti arah. Kegiatan itu bisa jadi ajang perbandingan dan ada saja mental yang tidak siap untuk menerimanya. Dalam kondisi ini, Winda sering tidak percaya diri kalau ditanyakan mengenai pasangan. Bukan karena dia takut jomblo, lebih karena disana ada mantan yang hidup bahagia dengan teman baiknya.  “Hahaha, itu mah udah gue tangani dengan baik.” “Lo udah punya pacar kak?” “Belumlah. Kalau punya udah gue nikahin An.” “Terus siapa?” Belum sempat Winda menjawab, teriakan dari luar terdengar jelas memanggil namanya. Tama Wijaya langsung masuk rumah tanpa permisi. Tama memang sudah biasa keluar masuk rumah itu. Rumah yang baginya seperti rumah kedua. Ia datang dengan kemeja santai dan tampilan yang luar biasa. Ketampanan yang dipadu dengan style anak muda. Dia sudah layak menjadi pengantin laki-laki.  “Baru bangun lo?”tanya nya pada Anin yang melongo. Anin terpesona pada tampilan tidak biasa yang ditunjukkan Tama. Cowok yang dasarnya sudah tampan, ditambah polesan fashion yang membuatnya makin menjadi. Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan semesta alam. “Jadi..” “Dia bakal jadi pasangan gue hari ini.”lanjut Winda sebelum Anin membuat kesimpulan. Anin masih bingung. Pasangan hari ini? Jadi ini rahasia mereka selama ini? “Dibayar berapa lo?”tanya Anin songong. “Ye, siapa yang dibayar?” “Gak mungkin lo mau tanpa alasan. Entar lo dibully disana Tam, gak usah pergi.” “Anin, gak gitu. Dia cuma senyum-senyum aja entar. Biar gue yang ambil alih.” “Tapi kak, Tama tuh udah punya pacar.” “Lah, emang iya?” “Tuh kan, kakak gak dikasih tahu.” “Engga kak. Kita kan cuma pura-pura. Pacar aku gak bakal marah juga kok.” “Gue laporin ya.” “Apaan sih, entar gue sendiri yang bilang sama Bunga. Lagian gue cuma bantuin Kak Winda.” “Stop berdebat. Entar kalau pacarnya Tama marah, gue yang ngejelasin. Ayok Tam.” Winda kembali ke kamarnya hendak mengambil tas dan sepatu yang akan ia pakai. Ia cukup lama beberes dan tentu saja kamarnya sudah sangat berantakan. Ujung-ujungnya, Anin yang akan disuruh mama membereskan.  “Mandi lo, bau banget.”ledek Tama. Anin langsung memukul punggung cowok itu. Ia kesal. Entahlah, ia gak mau Tama pergi sama kakaknya. Ia gak mau Tama kesana. Apalagi Tama tahu, kalau mantan pacarnya seangkatan dengan Kak Winda. For your information, Tama sangat benci pada mantannya itu. Dia adalah salah satu orang yang mendengar ucapan jahat itu. Ucapan jahat yang membuat Anin sedih beberapa saat lamanya. “Kenapa harus kesana sih?” “Gue terlanjur janji sama Kak Winda An.” “Entar belang lo ketahuan, lo dihina-hina sama temannya Kak Winda.” “Emang gue kenapa? Jangan ngadi-ngadi lo ya.” “Hahaha, yaudah bye.”ucapnya dan langsung pergi ke kamar. Ia langsung rebahan dan tak peduli dengan kepergian Tama. Ia kesal tanpa alasan. Ia hanya merasa kalau Tama kesana, mungkin ia akan emosional. Semoga saja cowok itu bisa menahan diri. Tapi ia tak bisa tenang. Bahkan hingga Kak Winda izin pamit, Anin masih merasa khawatir. ***** Hotel sss, berlokasi di daerah Kuningan Jakarta Selatan. Dengan motor honda butut miliknya, Tama dan Winda tiba disana. Winda tak masalah dengan anggapan bahwa ia tak sesukses teman-temannya. Ia hanya tidak mau terlihat jomblo. Sederhana bukan? Mereka langsung naik lift ke lantai 10, sebuah tempat pertemuan yang kerap disewa untuk berbagai acara. Kesan pertama saat tiba disana adalah mewah dan classy. Namun bagi Tama, tempat itu biasa saja. Jika dibandingkan dengan rumah Bunga, tempat itu tidak ada apa-apanya. Dibanding Tama, Winda tampak lebih tak siap. Ia harus menghadapi orang-orang yang sudah lama tak bertemu dengannya. Canggung dan penuh selidik, begitulah nanti mereka satu sama lain. Sebenarnya wajar sih, hanya saja ada beberapa orang yang belum siap untuk hal itu. Mereka sampai dan percayalah, mata selalu tertuju pada orang yang baru datang. Pusat perhatian sementara yang kecanggungannya melebihi batas. Winda menggandeng tangan Tama dengan sigap. Tama berserah dan mengikuti skenario itu. Ia tersenyum pada siapa saja yang ada disana. Untung saja, tak ada yang tahu bahwa Tama adalah tetangga Winda.  “Hey Win, wah, bawa pasangan nih.” “Kok gak pernah update IG tentang dia sih.” “Hey guys, kenalin ini Tama.” Beberapa saat Tama berkenalan dengan mereka. Rasanya Tama ingin ke toilet karena agak khawatir dengan ucapannya yang mungkin bisa jadi sumber masalah.  “Ganteng banget pacar lo. Lo pelet ya?” “g****k banget. Emang masih jaman pelet? Cinta mah gak mengenal tampang. “Sudah berapa lama?” “Baru 6 bulan. Doain ya biar bisa lancar terus.” “Buru deh Win. Yang lain udah pada nikah, udah punya anak.” “Emangnya kompetisi? Gak usah buru-buru juga. Gue aja masih santai.” “Siap-siap aja. Mereka punya cucu, lo entar punya apa?” “Mereka punya cucu, gue punya uang bejibun plus kebahagiaan. Kenapa sih, mengukur kebahagiaan orang pakai prioritas yang lo buat?” Perhelatan akbar ini tak berhenti sampai makanan dihidangkan. Tama tak sabar menikmati makanan itu. Kapan lagi bisa makan gratis. Winda yang tahu kebusukan Tama, mencubit nya. Itu adalah sinyal untuk menjaga imej. Winda sangat tahu sikap konyol Tama yang bisa jadi bumerang. Ia harus menjaga agar cowok itu tetap pada kondisi stay cool. Jangan sampai teman-temannya tahu, betapa konyolnya cowok tampan yang ia bawa itu. Seseorang datang dengan terlambat. Cowok dengan dress code yang cukup mencolok. Perhatian tertuju padanya karena ia membawa cewek yang sangat cantik. Para lelaki disana menyambut cowok itu dengan teriakan. Apalagi melihat cewek yang ia bawa itu. Tama melirik dan mendapati ada Bunga disana. Bunga dan Tama saling tatap-tatapan. Kegilaan apa ini? Tatapan Tama teralih ke cowok yang datang bersama Bunga. Dia adalah Nando, mantan pacar Anin yang b******k. Tatapan mata Tama tak membuat cowok itu terusik. Sedangkan Bunga, tetap menikmati perannya sebagai pacar Nando. “Tam, lo kenapa? Jangan bikin masalah.” “Engga kak,” “Lo pasti kaget gara-gara liat Nando. Udah diem aja.” Winda mengira bahwa kekagetan itu datang dari kehadiran Nando. Nyatanya tidak. Ia jauh lebih kaget saat Nando membawa Bunga kesana. Apa mungkin Bunga memang pacar Nando? Lalu kenapa dia tertarik pada Hasta? Apakah Bunga bukan seperti cewek yang ia kira selama ini?  Acara inti dimulai. Panitia melakukan semacam perayaan kecil dengan pemutaran video tentang kejadian di zaman dulu. Memori lama terlintas kembali. Ternyata sudah sangat lama mereka meninggalkan masa itu. Masa sekolah yang akan terus diingat bahkan sampai dunia menyuruh kita mengucapkan selamat tinggal. Makanan yang disajikan disana sangat beragam. Rasanya yang lezat membuat suasana semakin hangat.  Perhatian Tama tak pernah lepas dari Bunga. Dan tentu saja Bunga sadar akan hal itu. Diperhatikan dari jauh dengan tatapan curiga sangat menyebalkan. Beberapa saat, ketika acara hiburan tiba, Tama mendapat pesan dari Bunga untuk bertemu di balkon. Tama langsung izin dan menemuinya disana. “Bunga, lo sama dia….” “Engga Tam. Gue cuma bantuin dia.” “Lo kenal dia?” “Dia temannya teman gue. Gue dimintai tolong. Sebenarnya gue gak mau, masalahnya teman gue ini benar-benar teman dekat.” “Gue kira lo pembohong akut.” “Ye, lo sendiri ngapain kesini?. Cewek yang tadi pacar lo?” “Nggak. Kita tujuannya sama. Gue juga ngebantuin Kak Winda.” “Ah, menyebalkan. Gue males banget. Gue kira bakal cepat, ternyata lama banget acaranya.” “Pokoknya jangan dekat-dekat sama cowok itu.” “Lo kenal Nando?” “Dia mantannya Anin.” “What the hell. Gila sih, gue gak nyangka.” “Ya begitulah.” “Apa dia pernah ngejahatin Anin? Makanya lo benci sama dia.” “Lebih dari itu.”ucap Tama sedih. Kalau mengingat kejadian tahun lalu, ia tak bisa lupa dengan wajah sedih Anin. Cewek yang tingkat percaya dirinya tinggi, kerap menjadi down karena omongan orang lain. Anin mengalami jatuh bangun untuk self acceptance. “Gue masuk duluan ya, dicariin Kak Winda.”ucapnya sebagai kalimat perpisahan. Tama langsung memasang wajah palsunya untuk menghadapi hari ini. Waktu yang tersisa digunakan untuk meneliti hidup Nando. Cowok itu hidup dengan kesuksesan yang luar biasa. Bahkan ia memberikan pidato di podium. Ia menceritakan bagaimana cara dia bisa sukses sampai hari ini. Pekerjaan yang luar biasa, jabatan, rumah yang dibeli sendiri hingga pacar yang cantiknya bak bidadari. Baginya reuni ini seperti ajang eksistensi diri. Citra yang baik dimata teman-temannya. Ada rasa iri dari orang yang belum memiliki pekerjaan tetap. Mereka hanya bisa menikmati cerita Nando dengan senyuman. Pahit tidaknya senyuman itu, hanya mereka yang tahu.  Setelah Nando, ada lagi orang yang bercerita betapa hidupnya bahagia setelah menikah. Suami yang sukses dan mapan hingga anak yang dikaruniakan Tuhan. Terkadang, orang yang mendengar tak ingin merasa iri. Mereka bahagia menikmati kebahagiaan temannya. Hanya saja, lagi-lagi, perkataan orang disekelilingnya kerap jadi bumerang. Ucapan jahat yang membuat mereka dengan suka rela membandingkan dirinya dengan orang lain. Miris. Sikap yang demikian memang sudah ada sejak mereka lahir ke dunia. Bukannya bersyukur, mereka sibuk memikirkan dirinya jika dibandingkan dengan orang lain. Rasanya tak tenang. Sifat manusia yang ini perlu diubah dan sebaiknya jangan dibiasakan.  Reuni berkesan itu berakhir dengan baik. Beberapa orang menikmati saat-saat membicarakan nostalgia, namun sebagian lagi ingin segera pulang. Disana seperti berada di tempat yang tak mereka inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN