11 - Terungkap

1584 Kata
Ujian sedang berlangsung, harap tenang! Sebuah pesan untuk siapa saja yang masuk ke dalam area sekolah. Selama satu minggu penuh, diadakan ujian akhir sebagai hasil akhir pembelajaran selama satu semester. Walau dengan lelah dan pikiran tak menentu, ujian itu bisa dilaksanakan dengan baik. Hari terakhir masa ujian akan jadi hari yang ditunggu-tunggu. Hiruk pikuk kebahagiaan terdengar. Apalagi beberapa kelas dengan mandiri ingin mengadakan liburan. Termasuk  kelas 11 IPA 1. Bagi mereka, diharapkan untuk stay in class after exam. Mereka akan membahas mengenai liburan yang diadakan setelah pembagian raport.  “Hmm, butuh berapa tas buat entar ya.”seru Trisna sambil berjalan menuju kelasnya. Kelas untuk ujian memang sengaja diacak agar tidak ada kesempatan untuk melakukan kecurangan. “Gue kebanyakan baju sih. Pokoknya kalau mau foto, bajunya harus beda-beda. Biar nanti banyak yang bisa di upload ke IG.”seru Gena. Gena sangat peduli fashion. Walau sederhana, ia bisa mendapat baju fashionable dengan harga yang murah. Ia tak pernah protes tentang merk mahal, tapi ia akan protes ketika warna yang dipadukan tidak sinkron satu sama lain. Cewek itu punya bakat di bidang desainer.  “Kalau gue, cukup bawa k****t aja.”ledek Anin. “Anin, jangan gitu. Kita liburan hanya satu kali. Harus diabadikan dengan baik.”protes Gena. “Lo gak jadi rebonding?”lanjutnya lagi. “Hahaha, serius An? Mau di lurusin rambut lo?”komentar Trisna terkekeh. Anin kesal pada anak itu. Bisa-bisanya dia tertawa disaat Anin sedang bingung. “Jangan diketawain Tris. Lo kira gampang mengambil keputusan?” “Ah elah, gak usah rebonding. Cukup pakai catokan. Rambut lo bisa keriting lagi habis keramas. Masalahnya, lo harus pede dengan tampilan baru.” “Trisna, rambutnya Anin kan keriting ngembang. And you know, tebal banget. Gue gak yakin catokan bisa menanganinya.” “Sialan lo Gen. Ternyata lo jahat juga ya.”ucap Anin kesal. Sebenarnya, pikiran Anin tak lagi tertuju pada rambut. Orang disekelilingnya saja yang mendramatisir keadaan. Dikomentari sedemikian rupa bisa membuatnya jadi overthinking. Mereka tiba di kelas yang kegaduhannya melebihi pasar tradisional. Heboh, berisik, berkeringat dan bising. “Halo guys! Mohon perhatiannya.”seru ketua kelas yang sudah berdiri di depan dengan kewibawaannya. Ia ditemani oleh wakil ketua dan anggota lainnya termasuk Trisna. “Karena tujuan kita adalah gunung, gue harap semuanya prepare hal yang dibutuhkan. Kalian bukan anak kecil lagi kan. Jangan lupa bawa jaket dan obat-obatan kalau sakit. Gue sengaja ngumumin hari ini karena gue gak tahu besok-besok kalian masuk atau engga. Biasanya sih masuknya kalau udah mau bagi raport.”lanjutnya mengungkapkan fakta yang sering terjadi. Tiga hari yang kosong biasanya digunakan untuk tiduran di rumah. Walau tetap masih banyak yang masuk sekolah.  “Ada yang gak datang?”tanyanya sambil memperhatikan seisi kelas. “Bunga bro.  Kayaknya dia langsung pulang tadi.”seru Tama. “Ya sudah, mengenai hari ini, lo kasih tahu sama dia ya Tam. Intinya, gue gak mau ada siswa yang gak tahu informasi ini.” “Kalau begitu, kalian bisa pulang. See you tomorrow.”ucapnya mengakhiri. Semua orang tampak heboh karena akan usai semester ini. Harapan dan doa mereka adalah bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. “Tam, gue duluan ya. Ada acara keluarga.”seru Hasta dan bersiap pergi. “Lo tunangan?” “Gak lah. Ya kali.” “Kenapa buru-buru amat sih.” “Gue dijemput sama bokap. Gue harus ke rumah dulu buat siap-siap. Acara kantor kok.” “Hmm, padahal mau gue ajak nongkrong di warung indomie.” “Besok aja. Lo harus masuk besok ya.”ucapnya sambil berjalan hendak pergi. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena kehadiran Anin. “Langsung balik Has?” “Iya An. gue ada acara. Kalau mau main, berdua aja sama si Tama. See you.”ucapnya sambil pergi. Cowok itu pergi buru-buru. Jelas saja, dia takut dimarahi bapaknya yang otoriter. Tama dan Anin pernah diajak untuk bertemu, tapi mereka menolak karena takut. Melihat fotonya saja sudah bikin merinding. Anin melihat Tama yang menatapnya iseng. Ia terlanjur menyuruh Gena dan Trisna pulang duluan. Mereka mau berburu alat make up untuk dibawa liburan. Manusia aneh yang memikirkan itu, padahal mereka mau bertemu alam yang asri. “Mau kemana An? Balik aja?” “Males balik ke rumah. Gak ada orang.” “Emang tante kemana?” “Arisan sama teman segengnya. Kak Winda pasti lagi di kampus.” “Berenang aja yuk.” “Hah?” “Gue udah bisa berenang.”seru Tama. Sekitar tujuh hari Bunga mengajari Tama berenang. Hasilnya, ia sudah khatam bermacam-macam gaya. Sejak belajar banyak dari Bunga, Tama semakin yakin bahwa masa depannya tidaklah suram. Ya, selagi ia merencanakannya sekarang. Ia masih muda dan masih ada kesempatan. Sebenarnya, kesempatan itu tidak akan pernah habis. Tinggal bagaimana tiap orang yang diberi kesempatan bisa memanfaatkannya dengan baik. “Gue gak percaya.” “Makanya ayo. Gue mau ngajarin lo, biar kalau kecebur, lo gak mati.” “Sialan.” Mereka bergegas untuk pergi ke kolam renang yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Mereka tidak sadar bahwa dari tadi Debby memperhatikan mereka dengan tatapan tajam. Ia tak suka melihat ada senyuman di wajah orang itu. Ia ingin mengubahnya jadi tangisan. “Gimana Deb, udah punya rencana?”tanya teman sebangkunya. “Tentu saja. Lo tenang aja, gue udah mempersiapkan segalanya.”ucapnya sambil tersenyum sinis. ***** Kolam renang itu sepi manusia. Biasanya memang penuh di hari weekday dan weekend saja. Anin langsung menyewa baju renang untuk dipakai. Ia sengaja memilih baju yang paling aman. Baju renang dengan tampilan yang tidak terlalu seksi. Anin itu cewek yang tidak nyaman memamerkan badannya. Kadang ia iri melihat badan orang lain yang bagus ketika mengenakan pakaian mini. Sedang ia tidak percaya diri. Ya, mungkin ini menyangkut kebiasaan.  Ia keluar dari tempat ganti dan langsung menyebur sebelum Tama memperhatikannya. Tama hanya mengenakan boxer dan terlihat percaya diri karena sudah bisa berenang. Melihat dia yang sudah menyebur, ia salah fokus. Rambut yang sudah basah dan wajahnya yang sedikit khawatir. Anehnya, Tama melihat Bunga berpenampilan lebih seksi dari itu, tapi ia tak teralihkan sedikitpun. Ah, ternyata pergi ke tempat itu adalah sumber masalah. “Lo harus belajar pernafasan dulu.”ucapnya lagi. “Gimana caranya. Jangan cuma ngomong. Masuk lo kesini.”ucap Anin tegas. Tama mencoba menarik nafas panjang. Cewek yang akan ia ajari itu sangat cantik. Ia harus fokus, harus! “Sekarang, lo menyelam beberapa menit. Sebisa lo aja.” “Oke. Kalau gue mati, lo tanggung jawab.” “Gak bakal. Udah mulai.” Anin menarik nafas panjang dan melatihnya berkali-kali. Memang tidak mudah, tapi kalau dilakukan berkali-kali, pasti ada hasilnya. Selanjutnya adalah cara mengambang diatas air. Dengan berbagai cara, Tama menuntun Anin agar bisa melakukannya. Setidaknya hari itu dia sudah bisa bergerak di dalam air.  Mereka beristirahat dibangku pinggir kolam renang setelah rasa lelah datang. Rasanya menyenangkan dan menguras energi.  “Thanks Tam, gue jadi lumayan bisa sekarang. Setidaknya gak kayak dulu.” “Lain kali kita latihan lagi An. Biar lo khatam.” Tama beranjak entah kemana. Anin kedinginan sampai ingus keluar kemana-mana. Dinginnya udara membuat tubuhnya bergidik. Tak berapa lama, Tama datang dengan dua cup Pop Mie. Sajian terlezat setelah berenang adalah makan hidangan panas. Dan Pop Mie adalah solusi terbaik. “Ini, biar gak terlalu dingin.” “Makasih lo. By the way, cewek-cewek disana ngelihatin lo tahu.”seru Anin sambil menunjuk kumpulan anak SMP yang sedang tertawa. Sudah pasti mereka terpesona oleh badan atletis milik Tama. Mereka hanya tidak tahu bahwa Tama itu konyol minta ampun. “Sudahlah. Anggap lagi sedekah.” “Anjir. Sedekah badan?” “Yang penting gue gak diperkosa An. Gue lagi beramal sama mereka. Semoga Tuhan mencatatnya.” “Najis.” “Hahaha.” “Kemarin waktu reuni beneran gak ada masalah?”tanya Anin sambil menyeruput mie panas di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat pada hari itu. Winda hanya bilang kalau semuanya baik-baik saja. Walau sebenarnya ia tahu kalau Winda sebenarnya tak suka dengan pertemuan itu. Ia hanya tidak mau jadi bahan omongan di antara teman-temannya. “Aman kok. Mantan lo makin jelek aja.”ledek Tama. “Lo ketemu dia? Ketahuan dong kalau Kak Winda bohong.” “Gue cuma saling liat-liatan. I think, dia gak ingat kalau gue itu teman lo An.” “Oh,,,,,”seru Anin seraya meletakkan cup mienya dilantai. Isinya sudah habis dalam sekejap. Mantan pacar akan selalu ada dalam kenangan. Kadang pahit dan kadang manis. Walau begitu, kenangan yang dilalui bersamanya tak akan pernah berubah.  Sebuah pesan datang dari Hasta. Pesan itu dikirim ke grup w******p yang anggotanya hanya mereka bertiga. Sebuah foto mencengangkan yang membuat cukup kaget. Terutama Anin. Hasta : (sebuah foto Bunga dengan tampilan mewah) Tama, emangnya Bunga anak komandan kepolisian? Kenapa gak pernah cerita? Anin : Emang lo lagi dimana Has? Hasta : Ada acara bokap di Hotel Santika. Dia sampai maksa gue buat datang demi imej. Tapi gue kaget ngeliat ada Bunga disini. Apalagi dia sama atasan bokap gue. Anin melirik ke arah Tama. Nampaknya cowok itu sudah tahu. “Jadi lo udah tahu?”tanyanya dengan nada tinggi. Tama bingung sendiri. Ia sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk dilontarkan. “Yups, sebenarnya gue udah tahu.” “Kenapa gak bilang kita? Jahat banget lo Tam.” “Anin, ini karena keinginan Bunga. Dia gak mau satu sekolah tahu tentang itu.” “Kenapa emang? Gak ada yang salah jadi anak polisi.” “Bukan soal itu. Dia takut banyak yang gak suka sama dia. As you know, polisi itu kerap bersinggungan sama masyarakat.” Benar sih. Apalagi di zaman yang semakin canggih ini, sangat sulit mengubah persepsi yang mendarah daging selama bertahun-tahun. Anin bisa mengerti akan hal itu. Terlahir kaya tak selamanya menyenangkan. Uang yang banyak tak bikin bahagia. Kebahagiaan itu abstrak dan tak bisa diukur. Tama segera membalas pesan dari Hasta. Ia gak mau cowok itu berpikir yang tidak-tidak. Kebohongan memang dosa. Dan tak ada pengecualian untuk itu.  Tama : Has, untuk masalah itu, tolong jangan kasih tahu siapa-siapa dulu. Bunga emang sengaja nutupin. Karena ia gak mau dikenal sebagai anak polisi. Hasta : Okey Tam, gue cuma kaget. Anin mencekoki Tama dengan sejuta pertanyaan. Semuanya tentang Bunga. Bunga yang dikenal anak seorang pengusaha ternyata anak polisi. Bisa dibayangkan air muka satu kelas kalau tahu hal itu. Mereka bisa menjauhi Bunga, dengan alasan takut atau tidak percaya diri. Atau mungkin saja ada yang membullynya. Menganggap bahwa wajar ia cantik karena ia punya privilege yang tidak dimiliki siswa lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN